bc

Dilema Cinta Sheilla

book_age18+
497
FOLLOW
2.6K
READ
alpha
possessive
love after marriage
dominant
drama
bxg
single daddy
suger daddy
city
first love
like
intro-logo
Blurb

Sheilla dikenal memiliki kutukan, bahwa dia tidak akan bisa menikah dengan siapa pun. Para pria takut mendekatinya sebab mereka mengira pasti akan mati seperti yang terjadi kepada pria-pria sebelumnya. Misteri kutukan Sheilla semakin menyebar luas, gadis malang yang hanya tinggal dengan seorang nenek pengidap alzheimer itu cukup sedih. Siapa gadis yang tidak ingin menikah? Harapan Sheilla selalu ada agar dia bisa bertemu dengan sesosok pria yang akan mencintainya setulus hati.

Sampai Sheilla bertemu dengan seorang pria keturunan Korea Selatan bernama Kim Hyun Soo, Sheilla enggan beranggapan lebih. Dia khawatir hal buruk terjadi pada Kim. Namun, lagi-lagi ketakutan Sheilla terjadi, sebuah musibah menimpa Kim dan hampir membuatnya mati tenggelam. Apalagi, Kim mempunyai seorang putra yang menggemaskan dan masih berusia 7 tahun.

Sheilla tidak mau mencelakai Kim dengan kutukan yang melekat padanya, tetapi Kim malah melamarnya padahal mereka hanya mengenal selama satu bulan dengan alasan Sheilla harus menjadi ibu sambung bagi putra semata wayangnya.

chap-preview
Free preview
Kehidupan Kim, dan Pertemuan dengan Sheilla
“Kalau dia besar nanti, tolong jangan kenalkan aku sebagai ibunya. Cukup beri tahu dia kalau aku sangat menyayanginya.” Kim menggelengkan kepala seraya menggenggam erat tangan istrinya. Sementara satu tangan lain menggendong sesosok bayi merah yang baru saja lahir beberapa saat lalu. Karena mengalami pendarahan ketika melahirkan, Anita Yulianti—istri yang dinikahi Kim 3 tahun lalu—menyadari bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Namun, dia merasa beruntung karena Kim selalu setia berada di sampingnya. Sebab bayi ini adalah harapan mereka sejak pertama menikah. “Bagaimana aku bisa melakukan itu, Nita? Dia adalah anakmu. Dia berhak tahu siapa ibunya,” ujar Kim disertai air mata yang tidak berhenti menetes. Wanita asli Indonesia itu menangis tanpa suara. Kemudian membalas genggaman tangan Kim padanya. “Aku tidak mau dia tahu kalau ibunya adalah mantan seorang perempuan malam pinggir jalan. Dia akan malu, dan aku tidak mau membebaninya dengan rasa itu. Bertemu denganmu adalah sebuah keberuntungan, itu sudah lebih dari cukup membuatku bahagia bersamamu.” “Tidak, tolong jangan ucapkan itu lagi. Sudah sering kali kita membahas ini, humh? Itu adalah masa lalu, semua orang berhak bahagia termasuk kamu. Kita juga sudah berjanji akan membesarkan Woo Jin bersama. Apa kau lupa? Coba lihatlah sekali lagi, Nita. Dia begitu mirip denganmu,” ujar Kim. Dia pun mengangkat Woo Jin lebih dekat dengan Anita sehingga wanita itu bisa melihatnya. Anita hanya mampu tersenyum getir. Bayi berjenis kelamin laki-laki itu terusik kecil ketika ciuman lembut Anita mendarat di pipinya. Kim sempat mendapat sentuhan hangat di wajahnya sekali lagi oleh Anita, dia tidak ingin melihat wanita itu tersenyum ... sungguh. Dia hanya ingin mendapat jawaban persetujuan dari pertanyaan tadi. Karena saat itulah kebahagiaan sesungguhnya. “Maafkan aku, Mas.” Air mata Kim kembali mengalir deras, tidak ada lagi sentuhan lembut istrinya dalam sekejap. Dua mata sendu itu tertutup rapat, meninggalkan jejak luka dalam dirinya juga meninggalkan harapan yang dipupuk sejak dulu. “Anita? Anita!” Kim berteriak keras, sangat keras dan berharap Anita kembali membuka matanya. Berharap wanita itu mendengar jerit tangis anaknya yang masih membutuhkan sosok ibu. Pria itu tidak bisa menerima takdir dengan mudah merenggut kebahagiaannya dalam sekali embusan napas. Padahal sudah jauh hari mereka mempersiapkan rencana hidup lebih baik, membangun keluarga kecil dan memulai semua dari nol. Namun, segalanya musnah bersama kepergian Anita. “Appa ... Appa.” Kedua mata Kim mendadak terbuka dan bangkit dari tidur dengan napas terengah-engah, mimpi itu datang lagi. Mengingatkan dia akan kehilangan seseorang paling berarti dalam hidupnya. “Appa, kenapa?” tanya Woo Jin. Kim menoleh ke arah bocah lelaki berusia tujuh tahun di sampingnya. Kedua mata anaknya masih memerah, dan dia menguap sesekali. Jam di dinding pun masih menunjukkan pukul 01.00 dini hari, hanya keheningan malam yang terasa oleh mereka. “Tidak, hanya mimpi buruk. Kenapa kau terbangun? Ini masih jauh dari pagi.” “Bagaimana mau bisa tidur. Suara Appa sangat mengganggu, aku jadi terbangun. Aku mau pindah ke kamarku saja,” ujar Woo Jin seraya membuka selimut dan berniat keluar kamar ayahnya. “Woo Jin!” panggil Kim. “Ya?” “Istirahatlah dengan baik. Besok pagi kita akan mengunjungi makam mama,” kata Kim. Anak bermata sedikit sipit dan berkulit kuning langsat itu mengangguk menyetujui, lalu pergi ke kamarnya tanpa berkata apa-apa lagi. Kim pun duduk di tepian tempat tidur dan membuka sebuah laci di sampingnya. Di sana terdapat foto berukuran kecil yang menggambarkan sosok Anita bersama senyumnya yang manis begitu alami. Betapa Kim sangat merindukan wanita itu dalam hidupnya. “Besok pagi aku akan mengajak Woo Jin, Nita. Dia ingin menyampaikan nilai terbaiknya untukmu,” kata Kim seraya mengusap pelan foto Anita dengan ibu jarinya. *** Sekarang bulan Oktober tahun 2035, tepat hari Sabtu di tanggal 15 ini adalah hari peringatan kepergian Anita yang ke tujuh. Ada banyak cara orang-orang melewati kehidupan, tapi bagi Kim, kehidupan yang dia jalani sekarang hanya untuk membesarkan Woo Jin dan menata hidup baru. Tujuh tahun sudah terlewat tanpa bisa terulang kembali. Semenjak kepergian Anita, Kim memutuskan menetap di Indonesia. Sebelum istrinya meninggal, mereka pernah berjanji akan pulang ke kampung halaman Anita yang berada di sebuah kota kecil yang masih kental dengan suasana asli dari pedesaannya. Kim telah menerima risiko mengambil keputusan ini, salah satunya adalah jauh dari keluarga kandungnya di Korea Selatan. Sebenarnya, dia ingin sekali tinggal di tempat paling dekat dengan makam istrinya. Namun, pria bernama lengkap Kim Hyun Soo dan berusia 33 tahun tersebut memikirkan lagi keadaan Woo Jin. Para tetangga di desa Anita tidak begitu menyukai keberadaan wanita itu, dia dianggap aib bagi nama baik desa Sindang karena pekerjaannya sebagai mantan wanita penghibur. Sampai Kim memutuskan tinggal di kota Maja dan mencari rumah untuk mereka, dia bisa leluasa mengajak sang anak berkunjung ke makam ibunya setiap waktu. Kim juga membuka sebuah toko kosmetik yang menyatu dengan berbagai perlengkapan sekolah. Bangunan sebelahnya, dia membuka toko elektronik. Tepat di lantai dua toko itu, dia dan Woo Jin tidur dan melakukan aktivitas harian. Sebelum pulang sekolah anaknya, Kim seperti biasa menyediakan makan siang. Ada cukup banyak masakan di atas meja, seperti tumis sayuran kol, wortel, jamur dan bakso. Olahan ayam cabai hijau, ada juga gepuk yang dimasak cukup banyak. Sengaja dia membuat itu untuk diantarkan kepada ibu mertuanya sepulang dari makam nanti. “Appa ... Appa! Aku pulang!” Kim menoleh ketika ada panggilan kesayangan dari anaknya terdengar lantang. Dia pun meletakkan mangkuk berisi sayuran di atas meja, kemudian melepas sarung tangannya. “Sudah appa katakan, kalau pulang sekolah jangan selalu teriak. Rumah ini bukan hutan kau tau, huh?” Kim mengacak rambut anaknya gemas. Woo Jin hanya terkekeh kecil, kemudian pandangannya tertuju pada makanan yang telah siap di atas meja. “Appa selalu enggak adil. Kenapa cuma di tanggal 15 Oktober memasak makanan spesial ini? Sekali-kali buatkan aku makanan ini,” kata Woo Jin seraya menunjuk ke arah gepuk yang begitu memikat matanya. “Jangan menyentuh itu, kau belum cuci tangan. Lagi pula kau tidak terlalu suka makanan ini, appa sudah membuatkan yang lebih spesial hanya untukmu.” Kim mengambilkan sebuah piring dengan hidangan tiga buah goreng sosis yang berbentuk hati, di tengahnya terdapat telur dadar dengan irisan bawang daun dan wortel. Bukan makanan mahal memang, tapi Kim tahu anaknya sangat menyukai itu. Dua mata Woo Jin berbinar, senyum lebar menghias wajahnya dalam sesaat. Dia yang duduk di kursi sempat menengadah melihat Kim yang selalu pandai memasak untuknya itu. “Apa ini buatku semua?” “Ya,” jawab Kim seraya menganggukkan kepala. “Yes! Appa ... terima kasih.” “Sama-sama, tapi jangan lupa ganti baju dan taruh tasmu di kamar dulu.” Woo Jin sedikit merengut, tapi tidak membantah permintaan Kim. Dia pun masuk ke kamarnya untuk mengganti pakaian dan menaruh tas pada tempatnya. Dalam keseharian mereka, peraturan di rumah Kim untuk Woo Jin tidak banyak. Cukup menjaga kebersihan dan belajar di waktu malam. Itu sudah membuat Kim senang. Saat menyiapkan piring untuk makan siang anaknya, Kim merasa ada dekapan hangat dari punggung, sepasang lengan putih mulus melingkar sempurna di pinggangnya. Kim sudah menyadari siapa yang melakukan ini. “Lepaskan,” kata Kim bernada datar. Dia tidak menoleh sama sekali kepada wanita yang berada di belakangnya. “Kenapa? Ini bukan pertama kalinya aku memelukmu.” Kim menghela napas pelan, kemudian melepaskan sendiri dekapan wanita tersebut. Dia baru berbalik arah ketika ingin mengelap meja makannya sebelum Woo Jin datang. “Ya, ya, baiklah. Kau tidak suka itu. Aku tahu, tapi—“ Wanita bernama lengkap Han Chae Rin itu kembali meraih tangan Kim. “Bisakah kau menemani ke acara pernikahan sahabatku minggu depan?” “Aku akan mempertimbangkannya kalau kau mampu mengajak Woo Jin,” jawab Kim. “Apa dia harus ikut? Ayolah, kita pergi berdua saja. Biarkan Woo Jin bermain dengan adikku.” “Kalau begitu, ajakanmu kutolak sekarang,” jawab Kim seraya berlalu lagi ke arah meja makan. “Pulanglah, sebentar lagi Woo Jin datang.” “Eh, iya, iya. Aku akan berusaha membujuk Woo Jin! Tapi kau harus menamaniku kalau aku berhasil mengajaknya!” kata Rin meyakinkan. Dia baru tersenyum manis ketika Kim memberi seulas senyum tipisnya. “Sungguh?” tanya Rin lagi. “Ya.” Rin pun mendekat, dia kembali memegang lengan Kim dengan kedua kaki berjinjit demi menyeimbangkan tinggi tubuh pria tersebut. Dia ingin memberi satu kecupan singkat di bibirnya, tapi Kim segera menoleh sampai hanya mendaratkan kecupannya di pipi. “Baiklah, aku pulang dulu. Besok pagi aku datang lagi ke sini,” kata Rin. Setelah Rin pergi, Kim menghela napas pelan. Sebenarnya, Rin adalah wanita baik-baik. Wanita berusia 25 tahun itu adalah anak dari pejabat daerah kota ini, dan telah bersama Kim selama beberapa bulan terakhir. Namun, tampaknya Woo Jin tidak terlalu suka hubungan mereka. Setiap kali Rin datang, ada saja ulah sang anak demi mengusirnya dari rumah, atau bahkan berbuat usil sampai Rin pulang dalam keadaan menangis. Kim sempat berpikir, apa ini adalah keputusan terbaik? Menjalin satu hubungan setelah sekian lama, dia berharap ada seseorang yang bisa menerima keberadaan Woo Jin dan memahami setiap kekurangannya. Entah Rin adalah wanita yang tepat, Kim masih mencari jawaban itu. *** Pukul 13.00 siang, Kim dan Woo Jin mengendarai sebuah mobil menuju ke Desa Sindang. Sebuah desa yang cukup jauh dari rumah tinggal mereka di kota. Butuh sekitar satu jam di perjalanan. Namun, keberangkatan mereka justru membuat Woo Jin bersemangat, sebab dia ingin sekali bertemu neneknya. Hal yang paling disukai Woo Jin adalah ketika dia diajak neneknya pergi ke sawah. Sebab di kota, dia tidak pernah pergi ke tempat-tempat semacam itu. Memang bukan sawah milik sendiri, mertua Kim—Bu Sarinah dan Pak Parman—sering diminta bekerja di sawah milik juragan beras di desanya. Anita adalah anak pertama dari dua bersaudara. Adiknya sudah menikah dan ikut suaminya ke luar kota. Karena keterbatasan langkah kerja, Kim berusaha membantu sedikit demi sedikit keuangan mertuanya. Untuk itu, setiap kali kedatangannya pasti membawa makanan dan uang tambahan. Ketika Kim sampai di sebuah jalan aspal di Desa Sindang, dia lihat sebuah gapura yang menjadi pembatas antara jalan desa dan jalan ke arah pemakaman. Terdapat area persawahan yang membentang luas dari sisi kanan dan kiri. Kim menepikan mobil dan mengajak Woo Jin menyusuri jalan setapak memasuki area perkebunan jati. Suasana hening, hanya terdengar bisikan daun-daun tersapu angin di sekitar mereka ketika memasuki pemakaman. Woo Jin sudah lebih dulu berlari kecil ke arah sebuah makam yang ditumbuhi rumput tipis, nama Anita tercetak jelas di sana. “Bersihkan dulu, nanti kita berdoa.” Kim memberi perintah kepada anaknya. Dia pun berjongkok di samping makam sang istri seraya mencabut rumput-rumput liar yang berada di atasnya. “Appa, di sini enggak ada penjaga makam? Tempat mama jadi banyak rumputnya,” kata Woo Jin sedikit mengeluh. “Ada, tapi tidak selalu dibersihkan. Jangan memasang wajah malas, ini adalah salah satu bentuk bakti kepada mamamu.” “Aku enggak malas!” bantah Woo Jin cepat. Kim hanya tersenyum kecil menanggapinya. Usai rumput itu dibersihkan, mereka pun berdoa. Beberapa menit setelah doa selesai, Woo Jin merogoh ke dalam tas yang dibawa dari rumah, kemudian merobek selembar kertas yang berisikan nilai ujian matematikanya dua hari lalu. “Mama, nilai matematikaku dapat 7, tapi aku janji akan memperbaiki nilaiku lagi dan belajar lebih keras. Jadi, mama jangan marah, ya,” kata Woo Jin. Dia pun meletakkan kertasnya di atas pusara sang mama dibarengi satu ikat bunga mawar. “Mama tidak akan marah. Masih ada hari besok untuk memperbaikinya.” Woo Jin melihat ke arah ayahnya. “Apa mama enggak pernah marah?” “Marah ... ya, kalau kamarmu kotor. Mama pasti marah.” “Tapi mama enggak bisa memarahiku sekarang. Jadi, apa boleh minggu ini aku libur membereskan kamar?” Kedua mata Kim terbulat sempurna. “Apa? Coba katakan sekali lagi ucapan kamu tadi, appa ingin dengar!” katanya seraya ingin meraih tubuh anak itu. Namun, Woo Jin lebih dulu menghindar. “Aku jamin mama enggak akan marah. Mamaku wanita baik, bukan kayak Appa yang suka marah-marah. Iya kan, Ma?” “Woo Jin, anak nakal!” panggil Kim saat anaknya berlari menjauh. Dia pun meninggalkan makam Anita untuk menyusul Woo Jin dengan cepat. “Appa makin tua, ih. Ayo, kejar aku kalau bisa!” Anak itu berteriak, Kim tidak bisa berlari lebih cepat. Mungkin benar, dia memang telah menuju tua. Beberapa tahun lalu masih bisa mengejar larian anaknya, tapi sekarang bernapas saja cukup sulit. “Anak itu ... jangan lari ke jalan besar!” Brak! Belum sempat Kim berhasil menyusul Woo Jin. Dia dikejutkan oleh tingkah seorang nenek tua yang berpapasan dengannya. Sang nenek berbaju cokelat tua dengan kain yang digulung sebagai pengganti rok itu memperhatikan wajah Kim beberapa saat, lalu tiba-tiba memarahi dan memukulnya. “Oh, iyeu nu jadi si Li Young Jae, teh? Dasar jelema nurustunyung siah! Wawanianan ngusir pamajikan ti imah, teu boga rarasaan kitu ari maneh, hah!” [Oh, ini yang jadi si Li Young Jae, tuh? Dasar manusia kurang ajar! Berani-beraninya kamu ngusir istri dari rumah, enggak punya perasaan kamu, hah!] “A-apa? Maksud Nenek?” Kim mengernyit. Sungguh, dia tidak mengerti maksud dari perkataan nenek tersebut. Woo Jin yang berada tidak jauh dari tempat ayahnya pun kembali karena melihat sedikit kericuhan. “Tong sok api-api teu nyaho!” [Jangan pura-pura enggak tahu!] Tidak lama kemudian, datang lagi seorang gadis muda berbaju merah dengan rok panjang berenda cokelat menengahi. Dia memegangi tangan si nenek yang terus menarik-narik baju Kim. “Aduh, Mimi! Kunaon atuh kalah nyarekanan batur?” [Aduh, Mimi! Kenapa malah memarahi orang lain?] Gadis yang berambut hitam panjang dengan bando merah muda itu tampak heran melihat si nenek. Namun, si nenek tetap bersikukuh memarahi Kim di sana. “Ji Eun! Coba tong lembut teuing ka lalaki, teh! Lalaki kawas kieu mah kudu pisan diwarah ameh jadi jelema bener!” kata si nenek. [Ji Eun! Coba nangan terlalu lembut sama lelaki! Lelaki kayak begini harus sekali diajari supaya jadi orang bener!] Li Young Jae? Ji Eun? Isi kepala Kim langsung mengarah pada film drama Korea yang sering tayang setiap hari Senin-Jumat pukul 16.00 sore di channel ikan terbang. Apa mereka berdua menganggapnya pemeran utama film itu karena bermata sipit dan bertubuh jangkung? Kim hanya bisa menebak. Sebab sepertinya cucu si nenek juga sudah tahu pasti keadaan. “Ji Eun?” Gadis itu mengernyit, lalu sedikit melirik ke arah Kim, melihat pria dewasa di hadapannya tidak bereaksi berlebihan, dia pun kembali berbicara kepada neneknya. “Oh, Han Ji Eun! Tah, eta masalahna?” tanya si gadis seolah menemukan titik terang pembicaraan mereka. [Oh, Han Ji Eun! Nah, itu masalahnya?] “Enya. Ari kitu naon?” [Iya, memangnya apa?] “Mi ... Mimi geus salah jelema. Eta mah lain si Li Young Jae atuh. Tingali weh, si Li Young Jae mah kasep, ieu mah jiga gedebong cau kolot. Bari na ge manehna teh tukang tahu anu sok liwat mamawa gorobag tea geuning! Piraku Mimi teu apal?” [Mi ... Mimi sudah salah orang. Itu bukan si Li Young Jae. Lihat saja, si Li Young Jae tuh ganteng. Ini mah, kayak batang pohon pisang tua. Lagi pula dia mah tukang tahu yang biasa lewat bawa gerobak. Masa Mimi lupa?] “Salahnyah?” [Salah?] “Enya, salah!” kata si gadis meyakinkan neneknya. “Ntos, ayeuna mah Mimi geura uih. Ke Ella nyusul.” [Udah, sekarang Mimi cepat pulang. Nanti Ella menyusul.] Gadis itu terus membujuk neneknya hingga mau pergi ke arah jalan besar. Dia yang masih bertahan di hadapan Kim dan Woo Jin tampak salah tingkah. Mungkin baru kali ini melihat orang luar masuk desa. “Aduh, kumaha ieu cara ngomong maafna, nya? Pake bahasa China apa Korea kitu? Atuh da mana bisa!” gumam si gadis seraya menggigit jari melihat ke arah Kim sesekali. [Aduh, ini bagaimana cara mengatakan maafnya, ya? Pakai bahasa China apa Korea gitu? Tapi mana bisa!] Namun, belum sempat dia mengutarakan niatnya. Woo Jin lebih dulu tertawa renyah hingga membuat gadis tersebut mengernyit. “Eh? Kunaon kalah seuri? Nyengseurikeun naon atuh?” [Eh? Kenapa malah tertawa? Menertawakan apa, sih?] “Enggak. Cuma lucu, baru kali ini ada yang berani mengatai Appa tukang tahu dan seperti batang pohon pisang tua,” jawab Woo Jin, tawanya semakin keras. “Hah? Kalian mengerti bahasa sunda?!” Gadis itu menutup mulut dengan telapak tangan, kedua matanya terbulat sempurna melihat tatapan dingin Kim yang membuat dua pipinya memanas karena malu.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.2K
bc

Siap, Mas Bos!

read
9.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
85.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
186.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
12.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook