bc

Panggil Saja Aku Nyai

book_age18+
148
FOLLOW
1.5K
READ
sex
bitch
inspirational
tragedy
brilliant
genius
ambitious
feminism
first love
like
intro-logo
Blurb

Dunia pergundikan di masa penjajahan imperialisme taat menjadi sejarah bagaimana kaca mata pandang para londo-londo memandang inlander sebagai monyet-monyet tak berakal.

Sebutan Nyai sebagai gundik yang ditawan oleh tentara-tentara berkulit putih di tangsi-tangsi, di Perkebunan Deli, dan atau di depan yang lain menjadi sejarah telah mengukir wanita diikat tradisi oleh para kaum pribumi, dan dijadikan gundik oleh londo-londo.

Kisah pergundikan yang lazim pada zamannya. Inilah kisah Larasati, seorang gadis Jawa yang berani jatuh cinta dengan serdadu Belanda—Steve Van Everhart dari zaman kolonial. Duduk dan nikmati, kisah ini dengan saksama dan setulus hati.

Pict Cover by Pexels. Edit by Canva

chap-preview
Free preview
Pandangan Mata
Waktu aku berumur dua belas tahun, aku pun dipulangkan ke rumah. Aku harus masuk ke dalam ‘kotak’ ; aku dikurung di dalam rumah dan sama sekali terputus hubunganku dengan dunia luar, yang tidak boleh kumasuki lagi. Kalau tidak di samping suami, seorang pria yang sama sekali tak kukenal, yang dipilihkan orang tua kami tanpa sepengetahuan kami. Sahabatku seorang Eropa—sebagaimana kudengar di kemudian hari—telah mencoba berbagai daya untuk mengubah pendirian ayah agar menarik keputusannya yang kejam terhadapku, si bocah yang ceria itu, tapi sia-sia usaha mereka—orang tuaku tiada dapat diubah--, dan masuklah aku ke dalam penjaraku. Empat tahun panjang-panjang telah kulewatkan dalam kurungan tembok tebal, tanpa melihat dunia luar. (Surat, Jepara 25 Mei 1899, kepada Estella Zeehandelaar. Dari Kartini) Yogyakarta, 1859. Kami memiliki kewibawaan tersendiri. Seorang wanita yang memiliki darah Jawa, akan senantiasa mempertahankan apa yang telah kita punya. Kesopanan dan etika selalu kami jaga. Dari nenek moyang yang bersahaja. Adat istiadat, keramahtamahan, serta senyuman khas gadis desa ketika pulang dari sumur-sumur saat petang, atau dari sungai-sungai ketika mandi pagi. Menunduk dan tidak melihat sama sekali mata lawan jenisnya. Namun, adat istiadat dari seorang penutur wanita yang selalu kuat menjaga harga dirinya, koyak ketika datangnya londo-londo berkulit putih dan bermata biru. Tak hanya merampas hasil bumi, keperawanan dan juga kebebasan dari seorang wanita inlander dibabat dengan habis. Diambil, dicaci, dihinakan oleh aktivitas pergundikan dari mereka. Namaku Larasati. Seorang gadis berambut sebokong, dengan pinggul ramping dan bibir kecil. Di atasanya ada setitik tahi lalat. Berkulit sawo matang layaknya orang jawa pada umumnya, hanya saja kulitku tak segosong Mas Subekan, yang mengkilap punggungnya saat siang hari dan bisa memantulkan cahaya sinar matahari. Mas Subekan adalah kakak laki-lakiku. Aku bukanlah anak dari seorang putri masyhur. Tidak juga anak yang terlahir dari seorang priyayi. Apalagi dari keluarga keraton yang memiliki darah bangsawan. Hanya gadis desa yang bermukim di gubuk reot, dengan bertiang bongkotan dan beratap genteng bolong-bolong. Meskipun demikian, Ibuku adalah alumni dari salah satu pondok di Demak. Kemampuannya dalam membaca Al Quran dan menghafal beberapa kitab pegon kuno, membuat nama Ibuku cukup dikenal di desa ini sebagai pemimpin tahlil. Pun juga dengan Bapak yang seorang pembuat kitab-kitab kuno. Kemahirannya dalam menggerakkan tangannya di atas kertas dan sebuah tinta membuatnya dikenal sebagai penulis ulang kitab-kitab kuno dari ulama-ulma masyhur. Sore itu aku bersama dua teman yang lain baru pulang dari langgar—tempat kami mengajar ngaji. Iya, aku seorang guru ngaji kitab iqra di dusun kami, pun dengan kedua temanku yang lain. Udara malam itu agak panas. Akan pergantian musim, dari yang musim penghujan menuju musim kemarau. Bintang bertaburan, rembulan bulat bercahaya terang. Anak-anak desa sepulang dari mengaji terlihat bahagia dengan permainan obak delik mereka. Anak perempuan memilih untuk memainkan permainan cublek-cublek suweng. Hutan bambu yang biasanya nampak sunyi, saat ini terasa terisi oleh kehadiran mereka yang riang menyambut bulan purnama. “Kamu tau si Fatonah?” suara nyaring dari Jumani membuat kepalaku terdongak ingin mendengar lebih lanjut. Langkah kami tak terlalu kencang, juga tidak terlalu pelan. Sedang-sedang saja dan cukup pas untuk membuat obrolan seru. “Fatonah anaknya Pakdhe Bashiran itu kan?” timpal Siti. Aku hanya diam. Aku tau pembicaraan mereka tidak akan lebih dari penggunjingan kepada seorang bernama Fatonah yang beberapa hari lalu dijodohkan kepada salah seorang londo. “Iya, yang sekarang jadi gundiknya londo,” timpal Jumani dengan nada semangatnya. “Sudah, apa yang dikatakan oleh Jumani jangan didengar,” geregetku. Aku tidak suka seseorang yang mengatakan kata gundik. Bagiku kata itu terlalu kasar untuk perempuan. “Memangnya kenapa?” tanya si Siti kembali dengan rautnya yang bingung. Terlihat sekali jika dirinya ketinggalan informasi. Siti adalah anak dari seorang terpelajar. Nasibnya lebih baik dari kami. Dirinya menempuh pendidikan di kabupaten selama beberapa bulan dalam sewindu. “Iya jelaslah jadi gunjingan para tetangga. Londo-londo itu sudah seharusnya diperangi, bukan malah kita menjadi teman mereka. Sudah keperawanan hilang, harga diri sebagai wanita Jawa juga ikut terjual. Tidak lama lagi Fatonah yang katanya bisa menghafal Al Quran itu akan menjadi Nyai, gundik, ishh pokoknya kotorlah. Amit-amit jabang bayi,” Jumani berkata dengan nadanya yang seolah-olah merendahkan Fatonah yang dulu adalah teman kami. Aku harus angkat bicara kali ini. Bukan maksudku aku memihak kepada Fatonah atau londo-londo. Melainkan aku lebih ingin menjadi penengah diantara permasalahan yang ada ini. Kasihan Siti yang baru saja pulang dari belajar, sudah disuguhi dengan cerita-cerita miris sepereti itu. Siti orang terpelajar dan seyogyanya dirinya bisa memilih mana yang benar. “Hush, kamu bilang apa to. Jangan bilang yang aneh-aneh. Kamu sudah tau kan kalau Fatonah itu dijodohkan. Dirinya tidak mau. Terpaksa. Jadi jangan menyebar fitnah,” tukasku. “Tetap saja Sati, yang sudah berada di pangkuan londo, ya tetap gundik. Lhawong mereka sudah seperti dijual, diperbudak, dan jadi pelampiasan nafsu.” “Semua laki-laki yang menikahi kita akan seperti itu. Laki-laki akan memaksa kita berarti memperbudak kita bukan. Dikurung di dalam rumah, tidak boleh melakukan apapun kecuali masak, macak, manak. Sadarlah, kita ini wanita, tidak bisa apa-apa. Tidak kasihan kamu kepada Fatonah di sana. Setidaknya jika tidak bisa berempati, jangan membuat orang lain membenci Fatonah yang sudah sakit.” Aku tidak bisa menyimpan amarah yang ada, kulampiaskan lewat kata-kata. Kami wanita, ketika jatuh di tangan pribumi akan dibelenggu dengan tradisi. Sedang ketika jatuh di tangan londo, akan disekap dan ditelanjangi di tangsi-tangsi. Semuanya sama. Laki-laki selalu menganggap wanita begitu. Siti dan Jumani saling pandang. Agaknya mereka sedikit tersindir dengan ucapanku tadi. Aku lalu memutuskan jalan terlebih dahulu dari mereka. Setidaknya aku bisa menghindari dari fitnah yang mereka buat. “Larasati, jangan pulang sendirian, biasanya londo akan berbaris di malam hari!” pekik mereka. Aku tidak menggubris dan berjalan dengan cepat. Jalanku menghadap ke tanah. Ditakutkan akan ada ular yang menyeberang. Musim sumuk seperti ini banyak ular yang keluar. Jeduggg… Aku menabrak sebuah benda yang cukup keras. Keningku rasanya sakit. Kitab Iqra yang ada di tanganku jatuh ke tanah, membuat aku langsung buru-buru mengambilnya. Sebelum aku bangun, kulihat seperti ada bayangan seseorang. Seseorang dengan bayangan setinggi pohon pisang. Tangannya yang kekar terasa seperti mengelus rambutku dengan lembut. Baru kusadari kerudung yang aku kenakan bergeser turun karena kejadian tadi. “Astagfirullah,” pekikku tatkala melihat seorang bermata biru berada di depanku ikut berjongkok. Tubuhnya jakung tetap terlihat lebih tinggi dua kali lipat daripadaku. Mempunyai berewok tipis berwarna merah kekuningan, dan hidung semancung jajanan procot saat ada orang tingkepan. Kerlingan senyum tipis membuatku harus menunduk dengan cepat. Dia bukan dari kaum kami. Dirinya adalah seorang londo yang sangat kami benci. Sekalipun senyumnya manis, dan kulit putihnya selalu bersinar. Bagi kami tetap seorang londo tak ubahnya orang b*****t dan biadab. Merekalah yang membuat kami harus menyisihkan pajak enam puluh persen penghasilan panen. Aku buru-buru untuk bangun, aku berjalan dengan sangat cepat. Jarik yang aku kenakan aku cincing ke atas. Baju yang aku kenakan ku pegang erat bagian atasnya. Biasanya para londo selalu melirik bagian atas kami, dan yang aku takutkan saat ini adalah si londo itu tadi melihat sesuatu dariku. Mataku mengekor, terdengar suara sepatu nyaring bergesekan dengan tanah. Ekor mataku melirik ke bawah dan mendapati bayangan kekar besar itu seakan mengikuti ke mana saja arah langkahku yang sedikit berlari. Aku semakin takut, hingga pada akhirnya, kerudung yang aku kenakan ditarik olehnya. Percuma saja aku lari, kaki kecilku tidak akan pernah bisa menghindar darinya yang mempunyai kaki panjang hamper dua kali lipat dari kakiku. “b******k!” teriakku di depan wajah londo tidak tahu diri. Tangan kananku mencoba untuk mengambil kerudungku yang berada di tangan kirinya. Aku tidak bisa mengambilnya, sekalipun sudah berjinjit. Barangkali aku sudah berjinjit, hanya sampai pada dadanya. Aku terlanjur marah dan kecewa. Genderuwo dari mbarongan lebih baik daripada seorang londo tanpa sopan kepada wanita ini. “Boleh I tahu nama yey, mooi meisje?” Aku yang akan beranjak karena sudah kecewa, memberhentikan nafasku sejenak ketika dirinya memanggilku dengan sebutan demikian. Aku tau apa yang diucapkannya. Meski aku tidak sekolah, Masku pernah mengatakannya itu padaku. Kalau tidak salah arti dari mooi meisje adalah perempuan cantik. Pipiku terbakar seketika, tidak bisa berpaling dari netranya yang bulat dan berwarna biru. Tatapannya garang, namun terasa ada kehangatan saat dilihat seperti ini. Alis yang berwarna pirang dinaikkan sebelah. Malah membuat aku bingung. Jantungku tak ubahnya seperti saat sehabis lari tunggang langgang setelah dikejar oleh pemilik tebu saat aku menyolongnya dari kebun. “Siapa nama yey?” tanya londo itu kepadaku kembali. Aku menyadarkan diriku sendiri yang melamun. Pada akhirnya aku menunduk dan terkaget. “Larasati,” jawabku tak sadar menyebut namaku di depan londo yang tak kukenal itu. Ohhh, aku saat ini harus menutup mulutku sendiri sembari merutuki kebodohanku. Menyebutkan sebuah nama kepada seorang londo adalah ancaman terburuk. “Bedankt,” ujarnya mengucapkan terima kasih. Kerudungku diberikan dengan cuma-cuma. Aku langsung mengambilnya dengan cepat. Setelahnya aku lari tunggang langgang. Sandal yang aku kenakan kutinggal di tempat. Jarik yang kugunakan lari hampir saja melorot. Akhirnya sampai di depan rumah. Ibu dan Bapak melihatku dengan tatapan khawatir.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.1K
bc

My Secret Little Wife

read
92.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.3K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook