bc

UNSPOKEN : Park Jimin Story

book_age12+
0
FOLLOW
1K
READ
tragedy
bxg
campus
highschool
enimies to lovers
like
intro-logo
Blurb

Dia bergeming kendati suara di sekitarnya begitu nyaring. Dia terdiam kendati orang-orang memanggil namanya dalam teriakan. Dia membisu karena suaranya tak lagi terdengar oleh rungu. Dia kini sendiri, karena mereka telah pergi.

chap-preview
Free preview
01 - Second Meeting
Suara langkah kaki cepat terdengar menuruni tangga. Seorang anak laki-laki berseragam SMP berlari ke arah meja makan dengan menggendong tas berwarna merah maroon. Dia mengecup pipi sang ibu yang sudah duduk dan sedang mengambilkan nasi ke mangkuknya. "Morning," sapanya lalu duduk di kursi berhadapan dengan ibunya. Si ibu tersenyum melihat putranya yang tiap hari tampak ceria. "Ayah belum pulang?" tanya anak itu karena tak mendapati kehadiran ayahnya di rumah. Wanita keturunan Jepang itu menggeleng. "Jadwal dinasnya masih satu hari lagi," jawabnya sambil menaruh semangkuk nasi dan beberapa lauk di hadapan sang putra. "Ah, Shoya" panggil Misaki pada sang putra seolah baru ingat sesuatu untuk dikatakan. "Hari ini jadwalmu latihan piano. Ibu harap nanti kau bisa pulang tepat waktu." Lee Shoya tampak menekuk wajahnya. Namun buru-buru dia ubah ekspresinya kembali ceria dan mengangguk paham. Usai sarapan, Shoya berangkat ke sekolah diantar oleh sang supir. Anak berusia empat belas tahun itu kini berada di tahun kedua SMP. "Terima kasih, Paman Jang" ucapnya pada pria paruh baya yang telah menjadi supirnya selama bertahun-tahun. Anak itu menatap gedung sekolahnya yang megah bertuliskan Doshin JHS dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia memejam sebentar, lalu menarik napas dalam sebelum melangkahkan kakinya masuk ke dalam gerbang. Langkahnya ia bawa menaiki tangga ke lantai dua. Saking luasnya sekolah itu, Shoya merasa seperti olahraga tiap pagi hanya untuk mencapai ke ruang kelasnya. Ruangan kelas 2-4 menjadi tempatnya belajar selama setahun ke depan. Dia masuk dengan kepala menunduk. Tujuannya langsung pada tempat duduk di baris paling belakang dan berselang satu tempat dari jendela. Dia terus menunduk, tak ingin menarik perhatian orang-orang. Ketika bel masuk berbunyi, Shoya sedikit bernapas lega karena kelas segera dimulai sehingga dia tak perlu menghindari teman-teman di kelasnya. Pelajaran dimulai dan Shoya dengan semangat diam-diam mengeluarkan sebuah pensil berwarna merah muda dari kotak pensilnya. Dia melirik ke sekitar, memastikan tak ada yang memperhatikannya. Dengan senyum cerah, Shoya mulai mendengarkan penjelasan sang guru dan menambahkan catatan penting di bukunya. Tanpa dia sadari, sosok yang duduk di sebelah kirinya, tepat di samping jendela, sejak tadi memperhatikan Shoya dalam diam. . . . Jam makan siang baru dimulai. Shoya keluar dari kelas membawa kantong plastik berisi beberapa snack yang biasa ia beli saat berangkat ke sekolah. Dia malas jika harus makan di kantin sekolah karena terlalu banyak orang. Langkahnya dengan semangat ia bawa ke taman belakang sekolah. Itu salah satu tempat yang sepi yang menjadi favoritnya. Anak itu duduk di kursi panjang di pinggir taman yang mengarah langsung ke lapangan baseball. Jika dia menghabiskan waktu sorenya sepulang sekolah di sana, dia bisa melihat tim baseball berlatih di lapangan itu. Susu kotak stroberi dengan bungkus berwarna merah muda menjadi sasaran Shoya yang pertama. Usai meminum s**u favoritnya, ia mengeluarkan roti isi coklat dari dalam kantong plastik yang ia bawa. "Kenapa kau makan di sini sendirian?" Suara itu mengagetkan Shoya hingga tanpa sengaja menjatuhkan rotinya yang belum sempat ia buka. Si pemilik suara mendekat dan mengambil roti itu. Shoya tampak kehilangan kata. Pandangannya sibuk menjelajah ke arah lain dengan rasa gugup yang mulai menyerang. "Ini," ujar orang yang baru datang itu, memberikan kembali roti milik Shoya. Tepat saat itu pandangan mereka bertemu. Begitu melihat wajah si pemilik suara, Shoya sedikit bernapas lega karena menemukan wajah yang ia kenal. "Terima kasih," ujarnya pelan. Si pemilik suara, Park Jimin, mengernyit karena perubahan ekspresi dan sikap Shoya. Dia bisa melihat jelas bagaimana Shoya tampak kaget dan gugup ketika dia datang. Lalu saat mereka bertemu pandang, anak itu tampak lebih tenang. "Bukankah kau putra Paman Yoonso?" tanya Shoya canggung karena terjebak di keheningan yang tak ia inginkan. Jimin mengangguk, lalu duduk di samping Shoya tanpa diminta. Membuat anak itu sedikit menggeser tubuhnya menjauhi Jimin. "Kita bertemu di ulang tahunmu bulan lalu." "Aku ingat." "Kenapa kau makan sendirian di sini?" tanya Jimin kembali pada pertanyaan awal. "Aku bawa bekal," jawab Shoya seadanya. Kendati Jimin tak terlalu asing baginya, Shoya tetap merasa tak nyaman untuk mengobrol bersamanya. Jimin menatap bekal yang dimaksud Shoya dengan kernyitan di dahi. "Kau menyebut itu bekal?" Shoya yang bingung dengan pertanyaan itu hanya mengangguk pelan. "Kalau begitu aku boleh makan di sini juga?" Merasa tak bisa menolak, Shoya hanya mengangguk pasrah. Jimin mulai membuka bekal yang ia bawa. Mata Shoya berbinar ketika dia ikut melihat isinya. Bekal yang ditata rapih itu menarik perhatiannya. "Imut sekali," cetusnya tanpa sadar, membuat Jimin menatapnya heran. Lalu tertawa pelan. "Kau mau?" tawarnya. Shoya menatap Jimin dengan tatapan seolah bertanya apakah ia sungguh boleh mencicipi bekalnya. Tatapan itu hanya mendapat anggukan dari Jimin. Lalu tanpa ragu Shoya mengambil sebuah sosis yang dibentuk mirip gurita dengan sumpit Jimin. Dia tersenyum senang ketika mulai mengunyah makanan di mulutnya. "Enak!" serunya membuat Jimin tertawa. "Kau selalu membawa bekal ke sekolah?" Jimin menggeleng setelah melahap sepotong telur gulung. "Hari ini adikku minta dibuatkan bekal dan ibuku sekalian membuatkan untukku." "Haruskah aku minta Ibu membuatkan bento besok?" tanya Shoya pada dirinya sendiri. "Itu lebih baik dari pada sepotong roti kecil itu," sahut Jimin menunjuk ke arah roti di genggaman Shoya yang sudah berkurang satu gigitan. "Porsi makanku kecil. Roti ini bisa membuatku kenyang sampai nanti pulang." "Pantas saja badanmu pendek. Mungkin saja kau kekurangan gizi," ejek Jimin yang langsung mendapat pukulan di lengannya. Anak itu mengaduh sambil mengusap bekas pukulan dari Shoya. Bukannya marah, Jimin justru tertawa tak percaya. "Kau bisa memukul juga ternyata." "Tentu saja. Itu karena kau mengejekku," sahut Shoya tak terima. "Tidak, bukan itu. Kukira kau pendiam dan sulit diajak bicara. Tapi sepertinya aku salah." Shoya seperti tertangkap basah. Dia membenarkan posisi duduknya dan berdehem pelan. "Tidak juga," sahutnya yang tak tahu harus menjawab apa. Jimin hanya tersenyum. "Bawa bekalmu besok. Kita makan siang bersama di sini lagi." Senyum cerah terbit di wajah Shoya dan anak itu hanya mengangguk dengan semangat. . . . Terhitung sudah satu minggu sejak pertemuan Shoya dan Jimin di taman belakang sekolah. Sejak itu pula mereka selalu makan siang bersama di sana. Hari ini mereka tak membawa bekal dan berakhir membeli makanan di kantin sekolah. Usai makan siang, mereka kembali ke kelas karena pelajaran selanjutnya adalah olahraga. Ketika sedang memasukkan bukunya ke dalam tas, tak sengaja tangan Shoya menyenggol kotak pensil yang tak tertutup hingga isinya bertebaran di lantai. Dengan panik ia buru-buru mengambil barang-barang miliknya. Jimin ikut bergerak membantu. Dia mengambil pensil berwarna pink dan penghapus bergambar kelinci dari lantai. Dia amati dua benda itu sedangkan Shoya masih belum menyadarinya karena sibuk mengambil beberapa benda yang tercecer di lantai. "Kau suka warna pink?" Pertanyaan itu sontak membuat tubuh Shoya memaku. Jantungnya berdetak semakin cepat. Telapak tangannya mendadak berkeringat. Sebelum menjawab atau menoleh pada Jimin, dia sempatkan untuk menatap ke sekitar. Memastikan kalau teman-temannya tak ada yang mendengar. Lalu dia buru-buru merebut dua benda itu dari tangan Jimin dan memasukkannya ke dalam tas dengan asal. "I-ini bukan punyaku." "Sungguh?" tanya Jimin tak percaya. "Aku sering melihatmu menggunakan pensil itu saat pelajaran berlangsung. Tapi jika sedang bersamaku atau orang lain kau tak pernah menggunakannya." "Kau salah lihat. Aku tak pernah menggunakannya," elak Shoya menghindari bertemu tatap dengan Jimin. Sedangkan Jimin bisa melihat dengan jelas kegugupan yang dialami Shoya. Dia sendiri agak bingung kenapa Shoya seperti ketakutan hanya karena dia menanyakan tentang barang miliknya. "Kenapa kau menyembunyikannya?" tanya Jimin yang kalah dengan rasa penasarannya. "Aku tak menyembunyikannya," elak Shoya menatap Jimin dengan agak kesal karena anak itu tak juga menyudahi pembicaraan yang tak ia suka. "Sungguh? Kalau begitu keluarkan dari tasmu dan biarkan aku meminjamnya." "Kubilang aku tak menyembunyikannya!" teriak Shoya karena sudah kepalang kesal. Seolah baru tersadar dari kemarahan, dia edarkan pandangannya ke seisi kelas. Dan sekarang semua teman sekelasnya menatap Shoya dengan tatapan bertanya. Anak itu menggeram kesal dan memasukkan semua bukunya ke dalam tas, kemudian berlalu dari kelas. Dia tak mempedulikan panggilan Jimin ataupun bisik-bisik semua orang. Shoya melangkah cepat menuju gerbang sekolah. Sepanjang jalan ia terus menggerutu dengan kesal. "Apa-apaan dengan Park Jimin? Tidakkah dia tahu kalau aku tak suka ditanyai seperti itu? Harusnya dia sudah mengerti dari responku. Dan kenapa dia sangat ingin tahu tentang kesukaanku? Apakah dia berniat menertawakanku kalau dia sudah tahu?" Shoya menggeram kesal dan mengacak rambutnya kasar. "Tapi tak seharusnya aku berteriak seperti tadi," sesalnya menghentakkan kakinya dengan kesal lalu kembali berjalan. . . . Makan malam keluarga Park kali ini dihadiri oleh anggota lengkap. Yoonso, Hyerin dan kedua putranya, Jimin dan Jungkook. "Ayah," panggil Jimin di sela kegiatan makan mereka. Sang ayah hanya menyahut dengan gumaman. Menunggu putranya melanjutkan. "Apa Ayah tahu Lee Shoya?" Yoonso tampak diam sebentar sambil mengingat nama itu. "Putra Presdir Lee?" tanyanya saat tahu siapa yang dimaksud oleh Jimin. Putra dari atasan sekaligus seniornya ketika di universitas. Jimin mengangguk. "Bolehkah aku ke rumahnya besok?" tanyanya melirik sang ayah dengan tatapan ragu. Yoonso yang mendengar pertanyaan itu agak terkejut. Dia letakkan sumpitnya di atas meja dan fokus menatap sang putra. "Kau berteman dengan Shoya?" Jimin tampak bingung memikirkan jawabannya. "Aku tak yakin apakah bisa disebut teman. Tapi selama seminggu ini kami selalu makan siang bersama dan mengobrol." "Jadi kau selalu minta dibuatkan bekal karena kau makan siang bersama Shoya?" Hyerin ikut masuk dalam percakapan. Sedangkan Jungkook masih lanjut makan dan mendengarkan. Jimin mengangguk. "Tapi... aku membuatnya marah hari ini," ujar Jimin menghela napas kasar. Tepat sebelum sang ayah buka suara untuk menanyakan alasannya, Jimin buru-buru menyela. "Karena itu aku ingin ke rumahnya besok untuk minta maaf. Bolehkah?" Dia sengaja tak membiarkan ayahnya bertanya penyebab Shoya marah karena tak ingin sang ayah maupun keluarganya tahu tentang hal yang Shoya sembunyikan. Yoonso tersenyum lembut. "Ayah senang kau berteman dengan Shoya. Dan Ayah harap kalian bisa berhubungan baik karena menurut Presdir Lee, Shoya sangat pendiam jika berada di luar rumah apalagi sekolah. Dan dia sulit mendapatkan teman." Jimin hanya mengangguk paham. "Besok mau Ayah antar?" Jimin menggeleng. "Aku naik taksi saja." "Baiklah, besok Ayah catatkan alamatnya" sahut Yoonso lalu beralih menatap sang istri. "Haruskah kita bawakan oleh-oleh untuk Presdir Lee dan keluarganya?" Hyerin mengangguk setuju. "Nanti aku pesankan kue untuk dibawa Jimin besok." . . . Park Jimin duduk di ruang tamu super luas milik Lee Sejin. Sejak tadi dia terus mengagumi rumah Shoya yang lebih layak disebut istana. Bahkan sejak dia melewati gerbang, kekagumannya belum juga sirna. "Silakan diminum, Tuan Jimin" ujar Bibi Nam, kepala pelayan di rumah Presdir Lee. "Panggil Jimin saja, Bi. Tak perlu terlalu formal," sahut Jimin cepat, merasa tak enak. Bibi Nam tersenyum. "Baiklah. Silakan tunggu Tuan Muda Shoya dan nikmati hidangannya." Jimin mengangguk dan balas tersenyum. Lalu dia meraih segelas jus jeruk dan meneguknya. Dia memang haus sekaligus gugup. Takut jika Shoya masih marah dan tak mau menemuinya. Saat hendak mengambil biskuit coklat yang juga disajikan di hadapannya, Jimin mendengar suara langkah kaki dari arah tangga. Dia urungkan niatnya untuk mencicipi biskuit yang tampak menggiurkan itu. Dia tegakkan duduknya saat sosok Shoya muncul dari tangga dan berjalan ke arahnya. Keduanya masih diam bahkan saat Shoya sudah duduk di sofa berhadapan dengan Jimin. Merasa jengah dengan suasana canggung itu, akhirnya Jimin buka suara. Memang sudah seharusnya, sebab dia yang berinisiatif datang ke sana. "Hai, apa kabar?" Basa-basinya mendapat tatapan aneh dari Shoya. Lalu anak itu justru terkekeh pelan. Shoya menarik napas panjang sebelum buka suara. "Kalau kau datang ke sini untuk memuaskan rasa penasaranmu, lebih baik kau pulang saja. Karena aku tak akan menjawabnya." "Tidak, tidak!" sahut Jimin cepat. "Aku datang karena ingin minta maaf. Maaf karena sudah membuatmu merasa tak nyaman dan marah," ujarnya tulus. "Maaf karena aku tak peka dan terlalu ingin tahu tentang sesuatu yang bukan urusanku." Shoya diam sebentar, lalu mengangguk pelan. "Aku juga minta maaf karena sudah berteriak padamu." "Tidak. Kau pantas berteriak padaku. Kau bahkan pantas jika ingin memukulku karena aku memang salah," ujar Jimin berlebihan. "Benarkah? Kalau begitu biarkan aku memukulmu," ujar Shoya bergerak mendekati Jimin yang sedikit kaget karena Shoya menanggapi ocehannya dengan serius. Dia memejamkan mata karena takut Shoya sungguh akan memukulnya. Namun yang ia rasakan hanya rambutnya yang diacak kasar dan tawa Shoya yang menggema di ruang tamu rumahnya. "Dasar bodoh," ejek Shoya masih tertawa lebar melihat raut ketakutan Jimin. Tak terima, Jimin melempar bantal sofa dan terjadilah pergulatan penuh tawa.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Her Triplet Alphas

read
7.0M
bc

The Heartless Alpha

read
1.5M
bc

My Professor Is My Alpha Mate

read
459.8K
bc

The Guardian Wolf and her Alpha Mate

read
491.2K
bc

The Perfect Luna

read
4.0M
bc

The Billionaire CEO's Runaway Wife

read
597.5K
bc

Their Bullied and Broken Mate

read
461.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook