bc

KEMBALI KHAN

book_age16+
122
FOLLOW
1K
READ
others
dark
drama
twisted
lighthearted
serious
kicking
scary
like
intro-logo
Blurb

Mimpi adalah selalu tentang harapan dan harapan selalu tentang kehidupan. Salman pria asal sebuah desa terpencil di Nepal, yang percaya bahwa mimpi selalu bisa diwujudkan jika dia mau dan berani memperjuangkannya. Dari seorang anak petani miskin yang bahkan tidak pernah memiliki sebuah telepon genggam berkeinginan menjadi seorang dokter bedah terkenal di Nepal.

Mengorbankan banyak hati, pikiran dan harga diri. Dengan segala ketidak mungkinan dan sedikit orang yang percaya bahwa dia akan bisa melaluinya.

Nyatanya dalam perjalanan akan kebenaran Tuhan selalu memberikan keajaiban dan perpanjangan tangan dalam wujud yang di inginkan. Tia, wanita misterius yang menjadi dewi penolong bagi Salman dalam setiap kesulitannya. Usia mereka yang terpaut lima belas tahun menjadi penghalang terbesar bagi Tia dan Salman untuk memiliki hubungan.

Bagaimana akhirnya ketulusan Tia dan cinta Salman di uji? Akankah Salman berhasil menjadi dokter bedah? Bagaimana Salman menerima manifestasi cinta Tia dalam bentuk Alinea? Pria itu dikenal dengan Salman Khan.

chap-preview
Free preview
Prolog
Hancur sudah hatinya. Wanita yang telah di cintainya semenjak SMP itu akhirnya memilih pria lain. Mungkin ketika mereka masih remaja ingusan, cinta adalah dewa bagi mereka. Namun ketika mereka berhadapan dengan realita dewasa ternyata tetap saja akhirnya harta yang memilih tempatnya. Salman menatap sawah itu seperti melihat harapan dalam dirinya. Terlalu luas namun selalu saja ada yang berguguran. Warna hijau terhampar namun tidak pernah cukup indah untuk dinikmati sebagian mata. Tak terasa bulir – bulir air mata mengalir di sudut matanya. Berkilauan tertimpa sinar matahari sore yang berwarna jingga. Di kejauhan sayup terdengar musik pesta dengan bayangan orang – orang bahagia dan tertawa di dalamnya. Dan cintanya juga berbahagia disana dengan pilihan hidupnya tanpa peduli bahwa ada hati lain yang sedang menangis terluka di tepian desa diantara sawah dan kicauan burung senja. Seringnya dia bertanya sebetulnya miskin itu salah siapa. Dia tidak pernah memilih untuk terlahir di keluarga yang mana, seperti juga cinta tidak memilih dimana berlabuh pada akhirnya. Dia adalah cinta pertama yag di pujanya. Dan dia juga luka pertama yang di rasakannya. Hatinya terluka dan tidak tahu kemana harus mencari obat penawarnya. Tepukan dari arah belakang bahu mengejutkannya, “Sudahlah Salman, jika dia meninggalkanmu karena pilihan lain mungkin selama ini dia memang tidak pernah mencintaimu.” “Lalu kenapa dia menghabiskan waktu denganku bertahun–tahun untuk merajut cinta jika ternyata akhirnya dia tidak siap menerima kenyataan diriku. Bukankah aku tidak pernah menutupi apapun darinya?” “Itulah realita dewasa. Ketika ada saja alasan untuk memilih antara cinta dan kehormatan.” “Aku kecewa ayah. Aku kecewa karena aku terlalu percaya bahwa cinta seindah itu” “Semua orang begitu. Apalagi untuk cinta pertama.” “Dan terakhir.” “Tidak nak, jangan katakan itu. Ayah percaya kau akan menemukan cinta baru yang akan menerimamu.” “Semua wanita sama saja, mereka hanya peduli pada harta. Tidak akan ada yang memilihku.” “Tidak Salman, lihatlah ibumu. Betapa dia selalu setia padaku bahkan dalam kemiskinanku.” “Ibu bukan wanita, dia seorang dewi.” “Dia manusia Salman. Dan dalam kemiskinan kita, dia tidak pernah mengeluh untuk memberikan aku anak – anak. Memberikan kamu dan saudara - saudaramu untuk hidup ayah.” “Aku terlanjur kecewa dengan Miranha. Dia menyingkirkanku dan mengabaikan hatiku bagai benda tak berharga.” “Karena Miranha tidak tahu betapa berharga dirimu.” “Karena Miranha hanya ingin harta. Itu saja.” “Salman cobalah lebih memakai pikiran. Miranha anak kepala desa. Dia terbiasa hidup mewah dan dimanja. Wajar kalau akhirnya dia merasa takut untuk hidup denganmu sebagai putra petani miskin.” “Tapi kenapa secepat itu ayah? Aku baru tiga hari lalu melamarnya dan hari ini lihatlah pesta pernikahan itu. Pesta pernikahan terbesar yang pernah digelar di Desa Ittahari.” “Kita tidak benar – benar tahu apa yang sebenanya terjadi Salman. Dan kamu tidak perlu memutar balik untuk sekedar mencari tahu kebenarannya.” Salman melihat ayahnya menghela nafas dan kemudian melepaskan. Seolah dengan nafas itu ayahnya juga sedang mencoba mengendalikan rasa emosi dalam dirinya. “Salman, kita akan berfokus pada hidup kita sekarang. Ayah sudah memutuskan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik bagi keluarga kita.” Salman menatap ayahnya dengan wajah kebingungan. Mencoba menerka–nerka apa yang sedang ayahnya rencanakan. Salman menunggu ayahnya menjelaskan apa maksudnya. “Ayah akan berangkat ke Arab minggu ini. Paman Faisal menawarkan ayah untuk bekerja disana di sebuah perkebunan kurma.” “Tapi ayah, ayah akan meninggalkan kami semua. Ayah tidak pernah meninggalkan desa ini seumur hidup ayah.” “Sebetulnya sudah lama paman Faisal menawarkan ini dan baru kali ini ayah memikirkan masak – masak untuk menerimanya.” “Kenapa?” “Ayah ingin memiliki uang lebih dari cukup agar kamu dan adik – adikmu, Nitish, Mehta dan Usman bisa memiliki pendidikan yang baik.” “Lalu siapa yang akan menjaga kami?” Tuan Khan tersenyum merangkul bahu putra sulungnya “Kamu, kamu adalah putra tertua di keluarga kita. Sekarang usiamu hampir dua puluh tiga tahun. Kamu sudah cukup dewasa untuk mengambil alih tanggung jawab ayah menjaga Ibu dan adik – adikmu.” Salman melihat matahari yang kian merendah, meninggalkan siluet kuning jingga jauh diantara hamparan hijau tanaman pada yang mulai dewasa. “Iya ayah.” “Ayah berjanji kurang dari satu tahun kamu akan bisa masuk ke universitas untuk pendidikan yang lebih baik. Yang akan menjadi bekal masa depanmu. Tidak akan ada lagi yang akan menolak Salmanku hanya karena harta.” Buliran air mata yang semula telah berhenti akhirnya kembali jatuh membasahi pipi. Salman belum pernah berpisah dari ayahya. Ayahnya selalu menjadi contoh bagi Salman bagaimana seharusnya seorang pria menghadapi kehidupan. “Tidak, tidak nak. Jangan air mata lagi. Air matamu terlalu berharga untuk kau jatuhkan hanya untuk seorang Miranha.” “Ahh … tidak ayah, air mata ini bukan untuk Miranha. Air mata ini karena aku begitu bahagia ayah menyayangi dan percaya padaku.” Khan memukul lembut lengan putranya “Apa? Dua puluh tiga tahun kau jadi putra ayah dan baru hari ini kau tahu ayah menyayangimu.” Salman tertawa sambil mencoba merevisi kata – katanya “Ha ... ha ... ha ... bukan begitu maksudnya ayah. Aduh ayah membuatku serba salah.” “Ha ... ha ... ha ... sudah–sudah ayo kita pulang. Matahari hampir tenggelam. Kau sudah duduk disini sejak habis makan siang. Ibumu pasti sudah berkeliling kampung mencarimu sekarang.” Khan merangkul putranya untuk berjalan hati–hati ditengah hamparan sawah diantara rumput dan tanah basah. Diam–diam Khan menyesal mengapa tidak sejak semula dia pergi keluar negeri. Jika saja dia cukup berani pada waktu itu, tentu sakit hati Salman atas penolakan Miranha hari ini tidak akan pernah terjadi. Cukup terlambat bagi Salman untuk memiliki pendidikan di universitas namun Khan akan memperjuangkan bagaimana Salman bisa mendapatkannya. Salman harus berdiri untuk dipandang. Salman tidak boleh direndahkan seperti mereka selalu melihat Khan sebelah mata. Nitish berlari dari halaman rumah merangkul Salman. “Kak, dari mana saja kau? Ibu menangis seharian karena tidak bisa menemukanmu dimana – mana.” “Kenapa?” “Ibu mengira kau akan bunuh diri karena pesta pernikahan Miranha.” Salman menengok pada sang ayah dan sebuah anggukan didapatnya disana. Salman menurunkan tangan Nitish dan berjalan ke dalam rumah. “Ayah, bisakah ayah memberi aku sedikit uang? Aku ingin membeli permen. Aku sudah menemani ibu menangis seharian ini.” “Ha … ha ... ha ...!” Khan tertawa mendengar rengekan putri bungsunya. Meski usia Nitish sudah dua belas tahun namun gurat – gurat kemanjaan tetap ada dalam dirinya. Seperti ketika dia menggandeng tangan ayahnya untuk sedikit uang di sore itu. Khan memberikan beberapa koin mata uang Nepal untuk Nitish yang dengan segera berlari menghilang dari hadapannya. “Ibu, Aku disini.” Salman berlutut di kaki ranjang sambil memeluk kaki Ibunya. Ibunya yang semula memejamkan mata pun terbangun. Tanpa kata dan hanya air mata yang tumpah, dia memeluk putra kesayangannya. “Ibu, tenanglah aku tidak apa–apa.” “Tenanglah Laksmi, Salman baik–baik saja.” Khan yang sejak tadi berdiri di pintu mengawasi semua kejadian itu mencoba menenangkan. “Bagaimana kau bisa berkata seperti itu? Kita hidup di Nepal, desa kecil ini telah semuanya mendengar bahwa putra kita di tolak karena kemiskinan. Dan sekarang lihatlah wanita itu, dia begitu bahagia menggelar pesta besar. Aku bisa merasakan kesedihan putraku.” “Dia pria dewasa Laksmi. Salman bukan anak kecil yang tidak tahu cara mengendalikan dirinya.” Seolah tidak mendengar perkataan suaminya, Laksmi kembali memeluk putranya dan mengusap kepalanya. Seharian ini Laksmi memikirkan kemana Salman pergi, mungkinlah dia bunuh diri. Dan pikirkan itu telah membuatnya menangis tanpa henti

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Di Balik Topeng Pria Miskin

read
860.5K
bc

Aku Pewaris Harta Melimpah

read
153.4K
bc

Breaking the Headline

read
23.2K
bc

Aku Pewaris Keluarga Hartawan

read
145.9K
bc

Menantu Dewa Naga

read
177.0K
bc

Si Kembar Mencari Ayah

read
28.3K
bc

KEMBALINYA RATU MAFIA

read
11.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook