bc

GORESAN LUKA LAMA

book_age18+
844
FOLLOW
4.9K
READ
family
HE
drama
mystery
like
intro-logo
Blurb

Sampai kapan semua berlalu, jika luka terus tertoreh. Hanya diri sendiri yang bisa menyembuhkan.

Siapkan hati untuk membaca. Jangan lupa follow, vote dan vote the ticket untuk dukung aku ya.

....................

Bukan salah Radjini kalau dirinya menikah dengan Agha. Akibat Radmila—kakaknya—melarikan diri, ia terpaksa mennjadi istri pengganti. Namun, keadaan itu justru menciptakan polemik.

Tiga tahun berselang Radjini kembali ke kotanya dengan keadaan kejiwaan yang tidak stabil satu-persatu orang dari masa lalunya muncul. Goresan luka lama kembali terbuka. Pedih, berdarah tapi tak terlihat, begitu membekas. Namun tekad kuatnya untuk sembuh dan menemukan buah hati yang entah ada di mana. Membuat Radjini harus berhadapan dengan semua penyebab lukanya. Sampai sang antagonis sesungguhnya muncul, sanggupkah Radjini bertahan menghadapi sosok itu dan mendapatkan kebahagiaan dan keadilan hidup seperti yang selalu diimpikan?

Agha sang suami yang bertekad untuk menceraikan sang istri dan membalas dendam semua sakit hati atas dampak kepergian Radjini. Kembali mengurungkan niatnya saat menyadari ada yang salah dengan kepribadian istrinya yang sekarang. Sementara untuk Agha sekaranglah ia harus mempertanggungjawabkan pilihannya dalam mempersunting sang istri. Menekan ego untuk membalas dendam atau berusaha mempertahankan pernikahan dengan Radjini ditengah gempuran orang-orang yang berusaha memisahkan mereka.

chap-preview
Free preview
ISTRI PENGGANTI
Tiga tahun sebelumnya. "Aku pulang dulu, jangan tidur terlalu malam," ujar Devan begitu helm terlepas dari kepala Radjini. Gadis cantik setengah bule dengan rambut coklat gelap itu hanya mengangguk. Sejujurnya ia pun sudah mengantuk setelah makan malam bersama dengan Devan dan dilanjut dengan melihat pertunjukan musik di Pendopo Swarga-Foodcourt yang bergabung dengan panggung-untuk musisi muda mencari saweran. Radjini segera bergegas masuk ke kamar kosnya dan membersihkan diri sebelum terlelap. Suara gebrakan disertai teriakan memekakkan telinga dan segera saja membuat Radjini yang sudah tertidur lelap hampir meloncat dari kasur tipisnya. Masih dengan menyesuaikan pandangan ia mengerjapkan mata berkali-kali memastikan jika pintu kosnya lah yang sedang di gebrak. Tampaknya siapapun dibalik itu sangat tidak sabaran. "Tunggu," ujarnya dengan suara bergetar. Rasa was-was, juga kekagetan membuat suaranya bergetar. Begitu pintu terbuka, rasanya kali ini ia akan menangis. Pesuruh ayahnya sudah berdiri di depannya dengan raut wajah khawatir dan memelas. "Jangan bilang-" "Ya," jawab Sabto yang memotong perkataan Radjini. "Tetapi bagaimana bisa? Mbak tega banget sama Ini, Pak. Mereka semua jahat sama Ini." "Maaf Nduk, bapak nggak bisa bantu. Nyawa keluarga bapak taruhannya." Sungguh Sabto merasa bersalah karena ia yang membocorkan di mana Radjini tinggal. Gadis belia itu hanya kembali menutup pintu berganti pakaian dan mengikuti ke mana Sabto membawanya. Masa depannya sudah ditentukan dan kali ini ia tak bisa memilih. * Ruang tamu keluarga Prawiro seperti habis diterjang badai topan. Beberapa guci setinggi satu sampai dua meter sudah tak berbentuk lagi. Sementara beberapa wanita baik dari pihak keluarga Prawiro dan juga Danayaksa menepi saling berpelukan membuat kelompok masing-masing dengan derai air mata berlinang. Sementara pelaku perusakan berdiri di tengah ruangan dengan dipegangi 4 pria dewasa yang sangat kuwalahan dengan kelakuannya. Ia mengamuk sampai rumah calon mertuanya ini porak poranda. "Mana Radjini?! Jika dia tidak muncul dalam lima menit. Aku bakar semuanya!" "Aku di sini," jawab Radjini di ambang pintu yang terbuka lebar. Radjini sudah tahu apa yang terjadi. Kakaknya pergi meninggalkan calon suaminya dengan tetangga kos Radjini. Bagaimana Radjini bisa tahu, itu semua karena Radmila memberitahunya saat kepergok berada di kamar sebelah. Seharusnya ia segera pindah dari kos itu, andaikan mencari kos murah sangat mudah. Tentunya saat ini ia tidak akan dijadikan kambing hitam atau tertuduh oleh pria tampan dengan tatapan mata membunuh itu. "Keluargamu sudah menginjak harga diri keluarga Danuyaksa. Maka dari itu, kamu harus menikah denganku. Sebagai istri pengganti." "Tapi-" "Tidak ada tapi, Jini. Atau kalian semua menerima akibatnya." Mau menjerit dan meminta tolong sampai urat suara putus pun tak ada yang akan membantunya. Anggota keluarga yang lain sibuk memikirkan nasib mereka sendiri. Mereka banyak berhutang budi kepada keluarga Danuyaksa. "Apa aku boleh mengajukan syarat?" "Apa?" "Kita bercerai jika aku bisa membuat Kakak kembali kepadamu." Pria di depannya hanya menatapnya tajam tanpa menjawab dan takdir pun memiliki jawabnya sendiri atas nasib Radjini. Akankah semua berakhir bahagia seperti yang diimpikannya. 'Manusia lahir sendiri, berjuang sendiri, matipun sendiri' Radjini lupa jika setiap manusia adalah makhluk sosial yang tentu saja membutuhkan uluran tangan orang lain. Hanya saja sejauh apapun ia bertahan. Mentalnya yang lebih dulu tumbang! Masa kini. Maling ... maling! Ketangkap kamu dasar orang gila! Pencuri kamu! Teriakan warga menggema di jam sebelas malam ini. Sukanti dan Marwan sang suami menghentikan sepeda motornya dan mendekati kerumunan. Lampu jalanan lumayan terang sehingga mereka bisa melihat sosok yang sedang diberi bogem mentah dan pukulan dari sebilah kayu serta gagang sapu. Seorang wanita muda meringkuk seperti janin hanya bisa merintih dengan suara tangis seraya mendekap sesuatu di dadanya. "Orang gila kok, maling. Jangan-jangan dia nggak gila," ujar salah satu ibu-ibu yang berdiri bersandar tiang listrik. Sukanti dan Marwan mendekat karena tergerak hatinya merasa iba, apalagi mendengar kata gila. Orang gila tentu kejiwaannya terganggu bagaimana ia bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya jika memang itu yang terjadi. Pasti ada sesuatu yang terjadi hingga sosok itu bisa melakukan hal yang demikian. Sukanti dan Marwan memiliki anak yang berkebutuhan khusus di rumah sehingga lebih bisa berempati dengan keadaan mereka yang demikian. "Sudah cukup. Apa kalian mau memukulnya sampai mati!" sergah Marwan seraya melerai para warga yang berjumlah sekitar sepuluh orang. "Satu perempuan dikeroyok segini banyak orang. Keterlaluan kalian," ujarnya lagi setelah warga sedikit membuat jarak. "Dia 'kan gila Pak RT. Kami takut dia kabur dan ngamuk," ujar pria yang berdiri di atas kepala sosok wanita yang masih setia meringkuk. Bahkan pria itu sudah menjambak rambut sang wanita hingga ia masih tak berhenti merintih. "Kamu pikir sendiri, badan kurus keringnya itu apa bisa melawanmu, kalau kamu genggam rambutnya seperti itu. Bisa-bisa rambut sama kulit kepalanya lepas karena perbuatanmu." "Bau banget dia Pak RT. Lihat lehernya saja ada eksimnya hii...." "Makanya lepas. Kalian ini sungguh keterlaluan." Pria itu lantas berdiri setelah sebelumnya melepaskan cengkramannya di rambut wanita gila itu. Radjini yang meringkuk mendekap makanan di dadanya semakin bergetar sekujur tubuhnya bukan kesakitan karena pukulan tetapi suara-suara teriakan dari lawan jenis itu yang membuatnya menjadi demikian ketakutan. Tubuhnya terasa membeku, diam seperti batu tak bisa bergerak hanya menggigil seperti orang sedang demam. "Tidak ... tidak ... aku tidak boleh sakit. Nanti pasti anakku akan diambil mereka," gumamnya lirih. "Nak, di mana yang sakit?" tanya pria itu yang Radjini tak tahu Namanya tapi membuat ketakutannya semakin menjadi. Mata Radjini bergerak liar mendongak menatap sekitarnya. Ia merasa lega bahwa rambutnya yang ia pikir sudah terlepas dari kulit kepala kini sebagian sudah menutupi wajah tirus dan pucatnya. Sebelah tangannya mengusap kulit kepala yang berdenyut nyeri seraya bangkit dan beringsut menjauhi para pria yang masih berdiri waspada. "Jangan takut. Ada bapak," suara lembut itu kembali terdengar menghasut. Radjini membuang muka dan memunggungi suara itu. "Pergi," desisnya dengan suara parau karena tenggorokannya yang kering menahan dahaga yang sejak kemarin tak terkena air setetes pun. "Kalau kami pergi nanti mereka akan sakiti kamu lagi." Ada suara lain. Suara wanita yang membujuk. Sedikit berbeda tetapi Radjini tahu bahwa mereka hanya ingin membuatnya lengah dan mereka pasti akan mengambil anaknya. "Jangan ambil anakku," ujarnya sedikit lebih keras seraya menggeleng-geleng. Ia sangat berharap mereka mengerti dan pergi. "Tidak ada yang ingin mengambil anakmu. Kami hanya ingin membantu." "Tidak, tidak ada orang baik. Semua, semua hanya mau mengambil milikku dan membawanya pergi. Pergi jauh dan membuangku." Hening, tidak terdengar suara apapun lagi sampai terdengar suara Langkah orang berlari. "Maaf semuanya dia nggak mencuri. Ternyata boneka anak saya jatuh di jalan. Hanya saja kebetulan sama dengan milik orang gila itu," suara seorang wanita sarat penyesalan terdengar. Radjini hanya melirik sekilas pada boneka teletubis dengan warna merah sama dengan miliknya yang berada di dekapan seorang gadis kecil. Ia sedikit panik dan segera melirik pada buntalan di d**a. Masih ada di sana terbungkus dengan kain jarik kecil dalam gendongan. Radjini mengusap buntalan tersebut dan bernapas lega. "Lihat kalian salah menuduh. Hanya karena boneka lusuh sudah main hakim sendiri!" gertak Marwan. "Maaf Pak Marwan kami hanya spontanitas. Saya langsung berteriak maling begitu anak saya menangis melihat bonekanya berada di gendongan wanita gila itu." "Lalu yang digendong anakmu itu boneka apa?" sergah Sukanti. "Ya ini Bu, seperti yang dikatakan istri saya tadi ternyata jatuh. Beda boneka." "Lain kali cari dulu sebelum nuduh. Nih udah babak belur begini gimana coba. Mau tanggung jawab kalau ada apa-apa," seloroh Sukanti lagi. Melihat situasi semakin tidak kondusif akhirnya Marwan meremas bahu sang istri dan berkata, "Ya sudah-sudah. Bubar semuanya. Dia biar kami yang urus. Bagaimanapun keadaannya dia juga manusia, berempatilah." Radjini yang awalnya hanya diam menyaksikan mereka saling bicara kembali beringsut mendekati stroller miliknya yang terletak tak jauh dari tempat ia dikeroyok tadi begitu melihat si Bapak dengan suara lembut itu berbalik badan hendak menuju ke arahnya. Radjini tidak mau mereka dekati, seraya menahan nyeri di badan dan udara dingin yang menusuk merambat di kulit dari robekan pakaiannya yang terbuka bercampur perih yang menggigit. "Kamu mau ke mana? Ayo ikut kami." Radjini yang kini bisa melihat dengan jelas wajah wanita yang membujuknya hanya berdiam di tempat. Wajah itu berbeda dengan wajah wanita yang sudah mengambil anaknya. Tangannya tanpa sadar kembali mendekap erat buntalan di d**a. "Tenang kami tidak akan mengambil anakmu," bujuknya lagi. "Kamu mau makan?" tanya wanita itu yang pasti mendengar suara gemuruh dari perutnya. Ia melirik pada bungkusan makanan miliknya yang sudah tak berbentuk. Radjini mengangguk malu. "Ah rupanya kamu bisa malu juga. Ayo makan di rumah dan kita obati lukamu." Tbc

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.4K
bc

My Secret Little Wife

read
95.5K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.3K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook