bc

Sweet Winter

book_age18+
60
FOLLOW
1K
READ
dark
love-triangle
mafia
drama
tragedy
sweet
campus
first love
crime
cruel
like
intro-logo
Blurb

Bagaiamana jadinya ketika dua anak yang sama-sama mengalami trauma mental akibat peristiwa kelam yang sama, kini kembali dipertemukan ketika sudah dewasa? Terlebih keduanya saling jatuh cinta satu sama lain, tanpa tahu kalau ternyata dalang di balik penyebab rasa trauma itu adalah salah satu orang terpenting dalam hidup mereka. Lantas apa yang akan mereka lakukan? Bertahan, atau berpisah?

Bagi Michelle, Winter adalah pria yang manis dibalik raut dinginnya. Bagi Winter, Michelle adalah gadis yang sanggup menenangkan jiwanya yang selama ini selalu gundah. Dengan didasari dua hal itu, akhirnya mereka bersatu menjalin sebuah hubungan yang terasa baru dalam hidup mereka.

Awalnya semua baik-baik saja. Namun ketika sebuah fakta besar terungkap, akankah mereka sanggup mempertahankan hubungan yang terasa menyakitkan bagi keduanya?

“Mencintaimu terasa begitu memuakkan bagiku. Kini aku tidak tahu harus tetap mencintaimu atau membencimu.” —Michelle Olivia Brume.

“Kau boleh membenciku kapanpun kau mau. Aku cukup sadar diri kalau aku terlalu menjijikan untuk menjadi sosok yang mencintai atau dicintai oleh dirimu.” —Winter Jeff Auxton

chap-preview
Free preview
Bab 1 - Di Kala Badai
Di sebuah rumah besar bak mansion, seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun tengah merengek pada ayahnya. Pasalnya kurang dari satu jam lagi ia berulang tahun, tapi ayahnya malah lupa membelikan kado untuknya. Tentu saja anak itu jadi cemberut sedih. Padahal ia sudah berusaha keras menahan kantuknya hanya demi menunggu kepulangan sang ayah yang katanya akan membawakan kado sebayak sepuluh buah, ditambah dengan kado pra natal yang akan dibukanya bersama dengan kado-kado ulang tahunnya. “Ayah pembohong! Kenapa Ayah melupakan kado-kadoku?!” Anak itu berseru pada ayahnya. Membuat beliau menunduk penuh sesal, ia lantas menyejajari posisi wajahnya dengan wajah putranya. “Ah, Ayah sungguh minta maaf. Kau tahu betul menjelang natal ada banyak pekerjaan yang harus Ayah selesaikan,” elak sang ayah—Billy Auxton. Namun putranya malah semakin cemberut. Ia membuang muka ke arah lain, tidak mau menatap sang ayah. “Winter, dengarkan Ayah.” Billy kembali berucap. Kali ini ia memegang bahu putranya, matanya menatap dalam pada manik hazel kepunyaannya. “Kau tahu mengapa Ayah menamaimu Winter?” Putranya—Winter Jeff Auxton, akhirnya mau menatap kembali padanya. “Karena aku lahir saat musim salju?” sahut Winter. “Itu salah satunya. Lalu alasan yang lain?” Winter tampak berpikir sejenak. Tapi kemudian ia menggeleng, tidak tahu jawabannya. “Tentu saja karena Ayah berharap agar kau tumbuh dengan memiliki hati seputih salju, juga sejuk seperti musim dingin.” Billy memberi tahu. “Kalau begitu, harusnya kau menjadi anak yang pengertian dan mau memaafkan kesalahan ayahmu ini. Masa kau tidak mau memaafkan Ayah?” Winter tertunduk, merasa kalau ia telah menjadi seorang anak yang buruk bagi Ayahnya. Tapi bagaimanapun hatinya masih menginginkan kado-kadonya. Ia ingin menjadi anak yang baik dengan tidak marah lagi pada ayahnya, tapi ia masih ingin merajuk supaya keinginannya dikabulkan. “Lalu apa itu berarti aku harus merelakan kado-kadoku yang Ayah janjikan? Padahal aku sudah tidak sabar menunggu hari ini tiba,” ucapnya dengan nada memelas. “Andai saja Ibu masih ada, dia pasti tidak akan melupakan hari penting ini, juga kado-kadoku.” Kini Billy jadi merasa bersalah. Ia pun mendengus halus. “Ya sudah, bagaimana kalau sekarang saja Ayah pergi membeli kado-kadomu? Menjelang natal pasti ada banyak toko mainan yang masih buka di jam segini.” Mendengar itu, tentu saja Winter langsung berbinar senang. “Sungguh?! Kalau begitu aku mau ikut! Aku akan memilih sendiri kado-kadoku, juga kado pra natal yang akan aku buka sebelum hari natal. Ah! Sekalian saja kita membeli kado untuk natal juga, Ayah!” Billy tertawa kecil mendengar antusiasme putranya. “Wah, banyak sekali permintaanmu, ya. Baiklah, akan Ayah kabulkan hitung-hitung Ayah ingin membayar kesalahan Ayah.” “Kalau begitu aku akan mengambil mantelku du—” Suara dering telepon dari ponsel Billy membuat Winter menghentikan perkataannya. Billy pun mengisyaratkan putranya untuk diam dulu selagi ia menerima panggilan. “Ada apa lagi sekarang?” Nada bicara Billy terdengar tidak senang saat ia berbicara dengan seseorang yang menghubunginya. Winter hanya memerhatikan ayahnya dalam kebingungan, tidak mengerti kenapa wajah Ayahnya jadi tampak suram seperti itu. “...” “Apa kau tidak punya orang lain yang bisa kau ajak? Kau tahu bukan kalau sebentar lagi putraku akan berulang ta—sungguh? Baiklah, baiklah, aku segera menyusul. Pastikan mereka tetap dalam jangkauan pandanganmu. Jangan ceroboh!” Setelah mengatakan itu, Billy mematikan sambungan teleponnya. Ia lantas menatap Winter, sekali lagi ia memegang bahu putranya. “Ada apa?” Winter bertanya polos. Billy menatap putranya sendu, seakan merasa bersalah. Ia lantas menjelaskan, “Sayangnya ada pekerjaan mendadak yang harus Ayah kerjakan sekarang juga. Ayah janji ini tidak akan lama. Jadi kau tunggu di rumah saja, ya? Dua atau tiga jam lagi Ayah akan pulang membawa banyak kado untukmu. Bagaimana?” Mendengar itu, tentu saja wajah ceria dan antusiasme Winter yang sebelumnya langsung meluntur seketika. Ia kecewa, padahal tadi ia sudah senang sekali akan berbelanja banyak kado bersama ayahnya. Tapi sekarang ia malah tidak boleh ikut. “Hei, ayolah ... jangan sedih seperti itu, jagoan.” Billy berusaha menghibur. “Lagi pula bukannya akan lebih seru kalau kau membuka kado yang tidak kau tahu sama sekali apa isinya? Kau akan menebak-nebak, lalu boom! Kau akan terkejut ketika melihat isinya. Habis itu kita akan bermain bersama sampai pagi. Kau tidak mau, huh?” Winter sedikit tertarik ketika membayangkan ia akan begadang semalaman bersama ayahnya. Tapi tetap saja, ia ingin sekali ikut pergi ke toko mainan. Sudah lama sekali ia tidak berbelanja bersama Billy. Ayahnya itu terlalu sibuk dengan urusan pekerjaannya yang entah apa itu. “Tidak bolehkah aku ikut saja bersama Ayah lalu kita pergi ke toko mainan bersama? Aku berjanji akan menjadi anak baik, Ayah. Kumohon izinkan aku ikut ....” Winter memohon. “Sayangnya tidak bisa, Nak. Lagi pula di luar sedang badai salju. Ayah tidak mau membiarkanmu sakit hanya karena kecerobohan Ayah.” “Aku akan memakai mantelku! Juga syal, yang tebal!” Billy tersenyum seraya bangkit berdiri. Ia memakai jubah mantel hitamnya, ia juga mengenakan topi koboi hitam. “Tidak boleh, tidak bisa. Itu keputusan akhir Ayah. Jadi jangan kau bantah lagi, oke? Ayah tahu kau anak pintar.” Setelah mengucapkan itu Billy berjalan menuju ruang kerjanya untuk mengambil sesuatu sebelum pergi. Meninggalkan Winter dengan wajah kecewanya lantaran tidak jadi pergi ke toko mainan bersama sang ayah. “Kau masuklah ke kamarmu,” pinta Billy sebelum benar-benar masuk ke ruang kerjanya. “Sudah larut, kau tidurlah dulu. Nanti akan Ayah bangunkan kalau Ayah sudah kembali.” Winter pun hanya bisa mendengus pasrah, lantas berjalan ke arah tangga menuju kamarnya di lantai atas. Tapi kemudian, sebersit pikiran nakal melintas di kepalanya. Mendadak ia tersenyum sumringah. “Baiklah, Ayah, aku akan tidur!” Winter berteriak, sengaja agar Billy bisa mendengarnya dari dalam ruang kerjanya. “Ayah hati-hati di jalan, ya. Ingat, jangan lupakan lagi kado-kadoku!” “Tentu saja, Ayah pastikan kalau Ayah tidak akan lupa!” balas Billy ikut berteriak. Sementara itu, alih-alih berjalan naik ke atas menuju kamarnya, Winter malah berjalan diam-diam ke arah garasi, lantas masuk ke dalam bagasi mobil Ayahnya. Ya, ia memutuskan untuk mengikuti kemana Billy pergi sampai keinginannya untuk pergi ke toko mainan terwujud. “Maafkan aku sudah berbohong padamu, Ayah,” gumamnya pelan di dalam bagasi. “Aku berjanji akan menjadi anak yang baik selama perjalanan ini.” *** Udara dingin terasa begitu menusuk sampai ke tulang. Itu akibat badai salju yang tengah menerjang seluruh penjuru kota New York sejak dua jam lalu. Namun ada seorang pria berpakaian serba hitam yang tak elak dengan salju yang mengguyurnya. Sebaiknya, ia malah tampak tersenyum miring di balik kaca mobil pengeruk salju yang dikendarainya. Matanya menutup sebelah, mengintip pada teropong yang menampakkan pemandangan sepasang cahaya yang samar-samar terlihat di balik kabut dingin. Mobil. Ya, itu adalah sebuah mobil yang nekat melintasi jalan di tengah tumpukan salju sejauh mata memandang. Sendirian. Ah, ralat, sepertinya pengendara itu tidak sendirian di dalam sana. Saat jangkauan pandang teropong di perbesar menembus kaca mobil di depan sana, saat itulah sang pria pemantau menangkap ada seorang anak perempuan yang tengah tertidur lelap di kursi belakang. Penemuan itu pun berhasil membuatnya tersenyum lebar seketika. Pria yang mengenakan pakaian serba hitam super tertutup itu turun dari mobil pengeruk salju yang tadi dikendarainya, lantas berjalan ke perempatan jalan. Di tangannya ia membawa sebuah plang bertuliskan : PENGALIHAN JALAN. TERDAPAT TUMPUKAN SALJU DI JALAN INI. Sekilas, ia menatap penuh maksud pada tiang petunjuk arah yang tertancap di atas rumput. Tangannya kemudian bergerak menyentuh panahnya, lantas membelokkannya ke kiri—tepatnya menunjuk ke arah di mana ia berasal tadi. Ia juga menancapkan plang yang di bawanya ke tengah-tengah jalan yang mengarah ke pusat kota. Sekarang, siapa pun orang yang melewati perempatan kecil ini untuk menuju ke pusat kota, dia pasti akan tersesat, dan terjebak masuk ke kawasan pabrik terbengkalai tempat di mana ia akan melancarkan aksinya. Setelah mengatur ‘pengalihan jalan’, ia kembali bergerak dengan mobil pengeruk saljunya, meratakan jalan sampai titik di mana ia akan melakukan ‘sebuah pertunjukan’. Setelah sampai di tujuannya, ia mengambil ponselnya untuk menelepon seorang ‘teman’. “Ada apa lagi sekarang?” Itulah respon pertama yang diberikan oleh sang ‘teman’ ketika menjawab panggilannya. Pria itu pun menjawab, “Kau harus kesini, Billy. Aku menemukan harta karun.” Di seberang sana, Billy terdengar tidak senang. “Apa kau tidak punya orang lain yang bisa kau ajak? Kau tahu bukan kalau sebentar lagi putraku akan berulang ta—” “Anak perempuan.” Pria itu memotong, tak peduli dengan Billy yang sedang marah-marah. “Berusia sekitar lima sampai tujuh tahun, sangat cantik. Bukankah kau sedang mencari yang seperti itu untuk pelanggan istimewa kita?” “Sungguh? Baiklah, baiklah, aku segera menyusul. Pastikan mereka tetap dalam jangkauan pandangmu. Jangan ceroboh!” “Kau tidak perlu khawatir. Aku sudah menyiapkan jebakannya dengan sangat baik.” Pip! Sambungan dimatikan dari seberang setelah ia mengucapkan itu. Sekarang, waktunya ia menyiapkan acara kejutannya. *** Pukul 11.15 malam. Antony James Brume, pria paruh baya berdarah Amerika-Eropa itu tengah kelimpungan di tengah perjalanan jauhnya dari Kota Dallas menuju New York. Bagaimana tidak, dua jam lalu saat ia baru saja selesai dengan konser pianonya di Teater Majestic, cuaca masih cerah-cerah saja. Tapi di tengah perjalanan tiba-tiba badai salju mengguyur dengan begitu hebatnya, membuat perjalanan mulusnya seketika berubah jadi perjalanan mencekam. Terlebih ada putri kecilnya—Michelle Olivia Brume—yang turut ikut bersamanya dalam perjalanan. Salahnya sih yang tidak memperhatikan ramalan cuaca dengan baik. Salahnya juga yang turut membawa Michelle dalam perjalanan konsernya. Habis mau bagaimana, ibu Michelle yang seorang model juga sedang sibuk pemotretan di L.A. Menjelang natal ada banyak sekali pekerjaan yang harus dijalani. Kalau mau menyewa pengasuh atau menitipkan Michelle ke penitipan anak pun, baik Antony maupun istrinya tidak mau mengambil resiko. Akhir-akhir ini sedang marak sekali kasus penculikan anak tak terpecahkan. Mereka tentu jadi sangat awas dalam menjaga sang buah hati. Lagi pula, alasan lain Antony mengajak putrinya, itu karena dia memang menyukai pertunjukan teater. Kemana pun Antony pergi konser, Michelle pasti selalu ingin ikut. Tapi kalau tahu situasinya akan jadi begini, Antony tentu tak akan mengajak Michelle. Harusnya ia menginap saja di hotel dari pada nekat pulang ke New York. Lihat sekarang, putri kecilnya yang sedang terlelap di kursi belakang tampak menggigil kedinginan, padahal pemanas dalam mobil sudah dinyalakan. Sungguh, kini Antony begitu cemas terhadap putrinya. Ia ingin cepat-cepat sampai rumah, tapi badai salju justru semakin menghambat laju mobilnya. Seiring dengan berjalannya waktu, badai belum juga mereda. Kini jalanan sudah ditumpuki oleh salju, semakin sulit untuk dilalui. Sambil terus mengemudi perlahan, Antony mencoba menghubungi bantuan. Namun ponselnya tak kunjung mendapatkan sinyal. Alhasil ia hanya pasrah saja dan berusaha sekeras mungkin agar ia bisa mengamankan posisinya terlebih dahulu. Dalam kondisi seperti ini, banyak sekali jalan yang di tutup. Hal itu tentu membuat perjalanan jadi semakin sulit. Antony harus memutar kesana kemari, bahkan harus melewati gang sempit hanya demi mendapat akses alternatif menuju pusat kota. Saat tiba di salah satu perempatan jalan yang sudah sangat dekat dengan pusat kota, Antony harusnya belok ke kanan. Tapi ternyata ada sebuah plang yang menutupi jalan, memberikan instruksi kalau jalan itu sedang tidak dapat dilalui lantaran terdapat salju yang sudah terlalu menumpuk. Antony pun menghentikan mobilnya sejenak. Ia melihat petunjuk jalan, ada sebuah panah bertuliskan : ALTERNATIF MENUJU PUSAT KOTA, yang menunjuk ke seberang jalan dari posisi mobil Antony terparkir. Ia belum pernah melalui jalan itu sebelumnya. Tapi setelah melihat kondisi jalannya yang sudah tampak rata, Antony pun tersenyum cerah. Syukurlah, berarti ada mobil pengeruk salju di depan sana. Pasti benar petugas mengalihkan jalan ke jalan di depan sana. Tanpa ragu lagi, Antony segera memacu mobilnya. Setelah delapan ratus meter mobil Antony melaju pelan, Antony mulai menemukan pemandangan aneh di sekitarnya. Ini seperti kawasan pabrik terbengkalai. Ia jadi ragu, apakah benar ada ujung jalan di depan sana? Tapi di tengah keraguannya, samar-samar Antony melihat ada mobil pengeruk salju yang terparkir di depan sana. Ia juga melihat ada seseorang berdiri dan melambaikan tangan padanya. Ah, itu pasti petugas pengeruk salju. Syukurlah, setidaknya Antony tidak sendirian, pikirnya. Antony menghentikan laju mobilnya ketika ia sudah menyejajari posisinya dengan pria yang tadi melambaikan tangan padanya. Antony juga membuka kaca mobilnya, ia hendak berbicara dengan orang itu. “Selamat malam, apakah benar jalan ini mengarah ke pusat kota?” Antony bertanya. Pria itu, yang berpakaian serba hitam super tertutup, alih-alih menjawab pertanyaan Antony dia malah menurunkan syal yang semula menutupi hidung dan mulutnya lantas menyeringai pada Antony. “Kau salah, Tuan,” jawabnya, lalu .... Bug! Sebuah tongkat besi mendarat di kepala Antony, membuatnya seketika pingsan dengan darah yang mengucur deras di belakang kepalanya. Sementara itu di belakang kursi kemudi, Michelle terbangun dari tidurnya. “Daddy, apa yang terja—Daddy!!!” Michelle memekik histeris ketika melihat kondisi ayahnya yang sudah tersungkur tak sadarkan diri. “Halo anak manis,” ucap pria berpakaian serba hitam itu seraya menghampiri Michelle. Ia memecahkan kaca pintu belakang, membuka kunci, lantas meraih kenop pintunya dan menyeringai pada gadis kecil di hadapannya. Sementara Michelle hanya bisa mundur ketakutan, tetapi tidak bisa lari kemana-mana. “Wah, kau memang gadis yang sangat cantik.” Sang penyerang kembali menyeringai. Dengan gerakan sigap, ia meraih tubuh Michelle dan menyeretnya keluar dengan paksa. “Kemarilah anak manis. Sepertinya akan menarik kalau kita bermain sedikit.” Michelle semakin ketakutan. Ia berteriak histeris. “Lepaskan! Lepaskan aku!!! Daddy! Daddy, tolong aku!!!” Michelle menangis dalam gendongan sang penyerang. Ia menatap ayahnya, tetapi tentu saja Antony tak bergeming. Entah dia sudah mati atau belum, Michelle tidak tahu. Tapi yang jelas, pemandangan ayahnya yang bersimbah darah semakin membuatnya histeris bukan main. “Silakan berteriak sepuasmu, anak manis. Tidak ada orang yang akan mendengarmu kecuali aku. Hahaha.” Kini Michelle hanya bisa terus menangis ketakutan ketika ia dibawa masuk ke dalam salah satu gedung pabrik. Entah mau diapakan. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
91.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.2K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.0K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook