Wet Down

1092 Words
Agatha terduduk lesu ketika melihat tanda tangannya sendiri sudah tercantum dengan tinta hitam diatas kertas terkutuk itu. Ia bisa mendengar ketengangan yang tadi begitu kental segera meleleh dan beberapa napas lega tak sengaja keluar dari mulut-mulut orang kotor ini. Agatha tertegun lagi ketika melihat pria yang duduk diujung lain meja panjang itu. Isaac. Dia pun tertegun melihat sekelilingnya. Mungkin dia pun jijik? Seperti Agatha. Tapi pria itu segera tersenyum lagi dan meminta pesuruhnya untuk menjemput Agatha dari ujung meja sana. Gadis itu dibawa dalam keheningan. Tidak ada yang menolak. Tidak ada yang menariknya untuk tinggal. Seakan semua orang disana; bawahan ayahnya dan ayahnya. Semuanya ikhlas dengan kepergian Agatha yang bak kematian dingin itu. Baru kali itu ayahnya melihat anaknya. Agatha. Gadis kecilnya yang ceria dan amat disayanginya itu berada pada titik terlemahnya. Dan semua itu karena kesalahannya. Sekarang gadis kecilnya itu, yang selalu diperlakukan bak putri kerajaan malah diseret keluar seperti seekor kambing. Dan dia hanya bisa membeku di tempat duduknya sekarang. Benar-benar hancur karena anaknya baru saja direnggut darinya. Isaac menggenggam tangan Agatha dan menempatkan gadis itu di sisi kanannya. Ia tersenyum sejenak pada Agatha lalu mulai bercakap-cakap menggunakan bahasa Rusia dan berjalan dengan pesuruh-pesuruhnya. Agatha mendengarkan dengan seksama percakapan mereka. Ia merasa sedikit lega karena tidak pernah bolos kelas bahasa asing. "Berikan ayahnya apa yang ia mau," kata Isaac. "Aku akan pulang dulu, mengantarkan perempuan ini." "Apa tidak minta Pak Bill saja yang mengantar?" "Tidak. Aku juga ada urusan di rumah." Pesuruh-pesuruh Isaac pergi dalam diam dan meninggalkan Agatha dan Isaac berjalan berdampingan ke parkiran bawah tanah. Gadis itu tak kuasa untuk sesekali menatap wajah pria itu diam-diam. Terkadang bertanya pada dirinya sendiri soal apa saja yang akan Isaac suruh untuk Agatha lakukan. Mungkin ia akan mengurus bersih-bersih. Mencuci atau mungkin memasak. Tapi memang ada kemungkinan lain yang dibuangnya jauh dari pikirannya, dengan harapan hal itu tidak terjadi. Isaac menuntun Agatha ke mobil yang terparkir agak jauh dari pintu menuju gedung. Mobil Audi hitam. Kelihatan mahal bahkan untuk Agatha yang selalu dimanjakan dengan barang-barang mewah oleh ayahnya. Pria itu membukakan pintu depan untuk Agatha. Menunggunya untuk masuk. Agatha awalnya diam membeku menatap pria itu. Ia menangis dan gemetaran. Isaac menatap Agatha tanpa bergeming untuk melakukan apapun. "Hapus air matamu." Katanya. Agatha segera menyeka air mata yang jatuh di pipinya dengan kasar. Ia masuk dan Isaac menutup pintu. Lalu berjalan menyeberang lalu masuk ke mobil dan duduk di belakang kemudi. "Kau mau apakan aku?" Cicit Agatha. Isaac menoleh kepadanya sekilas lalu kembali menghadap kedepan dan menghidupkan mesin mobil. "Bukankah sudah jelas?" Tanya Isaac sambil tersenyum miring. Agatha bisa merasakan kakinya lemas ketika pertanyaan dan wajah itu muncul. Seakan semua pikiran yan tadi ditepisnya jauh-jauh itu kembali mengerubungi kepalanya yang sudah penuh dengan pikiran-pikiran berat. Isaac menyetir dengan ugal-ugalan dan menyelip kesana kemari. Pria itu kelihatan biasa saja, tapi suara denging di telinga Agatha mendadak muncul karena rasa takut dan gugup yang ia rasakan. Mereka berbelok ke kiri ketika berada di ujung keramaian kota, di pinggiran yang dipenuhi pepohonan tinggi. Pria itu masuk ke jalan sepi diantara pohon-pohon tinggi itu. Lalu Agatha melihatnya. Sebuah rumah besar dengan hiasan-hiasannya di bukit kecil di ujung hutan itu. Tuan Isaac ini tinggal di tempat ini, pikir Agatha. Pintu gerbang yang menjulang tinggi terbuka dan mobil yang Agatha tumpangi melesat kedalam dan segera diparkirkan di garasi di kanan rumah. Isaac kembali menarik Agatha untuk keluar dan menuntunnya untuk ikut masuk. Dan Agatha tidak punya firasat untuk kabur karena hanya akan sia-sia saja sebenarnya. Mereka masuk kedalam rumah itu dan naik ke tangga megah di lobi rumah. Gadis itu bisa merasakan jantungnya berdetak tidak karuan selagi mereka berjalan menyusuri koridor rumah yang ia harap tidak ada habisnya. Isaac berbelok di ujung koridor dan membuka dua pintu besar di hadapannya untuk memperlihatkan kamar besar yang sangat mewah bahkan untuk seseorang seperti Agatha. Semua kekayaan pria ini, sejauh yang ia lihat, berada jauh sekali diatas kekayaan yang dimiliki keluarganya. Isaac melonggarkan dasinya sambil menghela ke udara lalu duduk di sofa di antara dua jendela besar. "Kau sedang apa? Masuk." Katanya melihat Agatha yang menciut di pintu masuk. Ia tidak punya pilihan lain. Agatha berhenti di hadapan Isaac, terdiam. Bagaimana ini? Apa dia menunggu perintah selanjutnya? Atau duduk saja di sebelahnya? Isaac meneliti Agatha dengan kedua mata tajamnya lalu memiringkan kepalanya. "Buka bajumu." "A.. Apa?" "Strip down." Agatha menyesapi kata-kata itu dan mencabik-cabik dirinya sendiri di dalam hati. Agatha kembali melihat Isaac dan semakin lama pria itu semakin kelihatan tidak senang. Perlahan Agatha membuka pakaiannya satu persatu. Jadi ini maksud kata 'apapun' di kontrak itu ya. Pikir Agatha. Bukan memasak atau mencuci rupanya. Sial. Sial. Sial. Umpat Agatha. Gadis itu bisa merasakan harga dirinya ikut rontok ketika satu persatu bajunya tanggal. Agatha melepaskan kaitan bra serta menurunkan celana dalamnya dengan hati-hati. Semuanya ia lakukan sambil diamati oleh pria sialan di hadapannya itu. Ia malu. Sangat malu. Ia berhenti ketika sudah sepenuhnya menanggalkan semua helaian kain di tubuhnya. Isaac terdiam menatap tubuh Agatha. Pria itu meraih laci di meja kecil di sebelah sofa dan melemparkan sehelai kain ke arah Agatha. "Pakai itu." Perintahnya. Sial, apa-apaan lagi ini. Agatha meraih kain itu. Kalau tidak salah sebutannya lingerie? Agatha mengingat-ingat percakapan teman-temannya ketika istirahat. Gadis itu melepaskan satu-satunya pengait di belakang dan mulai mencoba untuk memasukkan badannya ke dalam pakaian yang bukan seperti pakaian itu. Tidak ada yang tertutupi. Tentu saja. Agatha balik menatap Isaac. Ia bingung harus melakukan apalagi selain menginjak-injak harga dirinya sendiri sekarang karena sudah tidak ada gunanya lagi memiliki hal itu sekarang. Kedua tangannya masih refleks menutup bagian d**a dan bagian bawahnya. Isaac berdecak, "Singkirkan tanganmu." Perintahnya lagi. Perut Agatha lagi-lagi serasa diaduk-aduk. Perlahan ia menurunkan tangannya dan berusaha untuk tidak merasa malu. "Mendekat." Perintah Isaac. Ia melepas jas hitamnya dan melemparnya di sudut lain di kamar itu. Agatha menurut dan mendekat, takut Isaac akan menghujamnya lagi dengan tatapan dingin dan sinisnya itu. Agatha berdiri tepat di hadapan Isaac dan merasakan cengkeraman di tangan kanannya dan rabaan di bagian selangkangannya. Isaac tersenyum miring, sambil mengadah kepada Agatha yang mulai bereaksi hanya karena rabaan-rabaan kecil. "Kau sudah sangat basah." Isaac menyibakkan lengan kemejanya. Agatha bisa melihat tato yang melintang dari pergelangan tangan kanan sampai lengan atasnya. Mungkin tato itu melintang jauh lebih dalam ketimbang apa yang dilihat Agatha. Pria itu juga melepas beberapa kancing atas kemejanya. Ada sedikit tato yang mengintip dari leher hingga d**a bidang pria itu. Ia mengumpat situasinya, pria ini, ayahnya, ibunya, semua orang yang menjerumuskannya ke lumpur dosa ini, dan mungkin juga dirinya yang menjijikan ini. *** Jangan lupa vote-nya ya!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD