Life Must Go On

1035 Words
Sampailah mereka di pedalaman hutan Kalimantan. Di sini, di tempat inilah mereka harus saling bahu-membahu menjaga negara ini dari tangan orang orang jahat. Seperti penebang liar atau semacamnya. Butuh waktu empat jam dari tenda utama sampai tempat ini. Karena itu mereka dibekali HT, sebagai alat komunikasi penghubung mereka dengan yang lainnya. Kali ini Pierre dan Fawaz kedapatan menjadi satu tim yang ditugaskan menjaga daerah utara. Sementara sekitar tiga kilometer dari sini ada tim lainnya yang sudah dipecah ke berbagai bagian. Seraya menghapus buliran peluh Fawaz mulai menaruh barang-barangnya di barak yang dibuat sementara. Karena sebelumnya tempat ini seolah belum terjamah oleh manusia mana pun. Ia melihat sekelilingnya dengan takjub. Daerah yang perhutanan yang begitu asri dan alami, seakan memanjakan matanya. Ia bersyukur diberikan kesempatan menatap keindahan yang alam ciptakan tanpa campur tangan manusia. Bibirnya bergumam, "Ma Syaa Allah." Penuh rasa haru. Tangannya menyentuh pepohonan yang entah sudah berapa lama berada di sana tanpa ada satu pun orang yang tahu. Dilihat seberapa besarnya akar yang menjulang dari dalam tanah. "Mas ... Mas Fawaz," panggil Pierre. Baru saja sampai di sini, ia langsung berinisatif memasak air panas. Sekadar menyeduh kopi hangat. Karena udara yang lembab, menciptakan rasa dingin seakan mampu menusuk sampai tulangnya. "Minum kopi dulu yuk, Mas," ucap Pierre seraya memberikan Fawaz gelas kopi plastik. Ia tak akan lupa mendahulukan Fawaz, senior yang juga sudah dianggapnya sebagai abang kandungnya sendiri. Dan dalam adab, menghormati yang lebih tua adalah suatu keharusan. Fawaz menerima kopi yang diberikan Pierre seraya tersenyum. Keduanya terlihat diam sejenak sekadar merasakan indahnya pemandangan alami yang disajikan di depan mata mereka. Lantas Fawaz menyeruput kopi yang mulai hangat sedikit demi sedikit. "Heum ... kopi buatanmu enak, Pier," godanya. Membuat Pierre terkekeh. "Apa, sih?" Ia menyenggol lengan Fawaz yang di sebelahnya. "Aku bicara sebenarnya. Kopi buatanmu sangat mirip dengan kopi buatan Ayla," gumam Fawaz kembali. Pierre semakin tertawa geli. Yah, pastilah. Ia kan hanya menuangkan kopi sachetan ke dalam gelas plastik. Tentunya takarannya juga sudah sesuai. *** Setelah agak siang dan hilang lelahnya. Fawaz terlihat memberikan intruksi untuk Pierre. Lelaki itu hanya memberikan bagian-bagian yang mudah untuk Pierre sementara bagian yang sulit dan terjal akan menjadi daerah penjagaannya. "Mas, gak salah Mas. Tapi di sana kan masih banyak babi hutan," pekik Pierre takut. Rasanya membayangkan hewan besar itu saja sudah mampu membuat buluk kuduknya merinding. Fawaz tersenyum. Ia mengerti ketakutan yang dirasakan Pierre dan bukan berarti ia tidak takut, hanya saja ia memilih pasrah. Karena jika memang belum saatnya, walau badai sekali pun ia tidak akan gugur begitu saja. "Kau tenang saja, ada Allah yang selalu menjagaku. Lagipula anak-anakku menanti kepulanganku. Jadi aku harus baik-baik saja kan?" Fawaz malah menanggapi kekhawatiran Pierre dengan candaan. Sekitar tiga hari mereka sudah terpisah. Daerah penjagaan yang cukup luas yang membuat Fawaz dan Pierre jadi jarang bertemu. Tiba-tiba saja Pierre merasa bosan. Tak ada hiburan serta tak tembusnya jaringan membuat ia serasa mati kutu. Pierre berniat menghampiri Fawaz sekedar mengobrol santai bersama abang angkatnya itu. Saat di jalan Pierre dibuat kaget setengah mati saat seekor babi hutan berada di depan Fawaz. Dan kini lelaki itu terlihat sedang waspada dengan serangan babi itu, Fawaz terlihat memasang kuda-kudanya dengan pisau belati di tangannya. Ia tahu.., dirinya harus siap sedia persenjataan kapan pun itu. Fawaz melirik ke arah Pierre. Ia menyadari keberadaan Pierre yang jadi semakin membeku. Fawaz pun khawatir babi itu merubah mangsanya menjadi Pierre. Sementara Pierre tidak terlihat membawa senjata apapun. Fawaz terus melirik ke arah Pierre yang masih tergugu. Ia seolah terpaku dengan apa yang ia lihat kini. Meski jantungnya terus berpacu begitu cepatnya. Peluh membasahi dahi dan menjalar ke sela pipi. Ia begitu takut terjadi apa-apa dengan sahabatnya itu. Bayangan semua perkataan Fawaz sewaktu mereka di mobil entah mengapa terus teriang, seakan menari dalam memorinya. Semakin banyak ketakutan yang berkecamuk, semakin kerdil hati Pierre. Ia juga merasa tak akan menang seandainya menghadapi babi hutan itu. Fawaz memberikan isyarat agar Pierre pergi dari sana. Berkali-kali laki-laki itu menggeleng agar Pierre tidak mendekat, tetapi rasa takut Pierre seakan mengunci akal sehatnya. Ia justru maju selangkah. Kregkk! Suara daun kering yang terinjak langkah Pierre menjadi sinyal bagi babi hutan itu. Dan saat Pierre menengok kembali sudah ada satu babi lainnya yang ikut mengepung Fawaz seakan membentuk lingkaran penjagaan agar Fawaz tidak pergi. "Husshh ... hussh!" Fawaz berusaha sangat keras agar babi-babi itu pergi darinya. Pisau belati kecil yang tak mungkin banyak membantu itu sekarang begitu Fawaz andalkan. Ia masih ingin selamat, berkumpul kembali bersama anak dan istrinya. Bohong kalau ketakutan yang sama juga tidak meliputinya. Malah mungkin, ketakutan Fawaz jauh lebih besar ketimbang Pierre. Hal lumrah, semakin banyak orang-orang terkasih. Maka, perasaan takut mati kadang menjadi jauh lebih besar. "Pierre ... lari!" teriak Fawaz kuat. Spontan kedua babi itu berlari semakin mendekati Fawaz. Sebab merasa terancam. Pierre pun berlari seperti orang kesetanan. Ia tidak tahu apa yang sebaiknya ia lakukan berkali-kali nalurinya mengatakan untuk membantu Fawaz. Tapi kenapa justru ia berlari tunggang langgang. Tiba-tiba ia sangat membenci dirinya sendiri. Pierre merasa bodoh, payah bahkan pengecut. Tangis penyesalan meraung membasahi wajahnya yang bercampur peluh. Kakinya lemas seakan tak bertulang membuat Pierre jatuh terperosok ke dalam jurang kecil yang ada di sana. Punggungnya menghentak tanah yang sudah mengeras berlanjut suara pekik kesakitan ke luar dari bibirnya. Cepat ia bangun. Pierre sadar, dirinya tidak bisa selamanya bersembunyi dari kenyataan. Sebagai seorang pria ia harus berani. Pierre mengenggam akar pohon yang menjuntai, sebagai tali pegangan untuk ia sampai ke atas. Tangannya yang beset dan kemerahan tidak lagi ia hiraukan. Ia menemukan satu caranya untuk menyelamatkan Fawaz, yaitu dengan memanggil bala bantuan dari pusat. Pikiran itu baru saja muncul setelah ia mencoba menarik nafas dalam. 'Mas Fawaz bertahanlah, aku di sini juga sedang berusaha' batinnya. Rahangnya mengeras mencoba menaiki tubuhnya yang besar. Cuma mengandalkan akar tipis nyatanya bukan perkara mudah. Ia kembali terkenang mata dingin dari kawanan babi itu. Pierre bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana nasib sahabatnya sekarang, tepatnya ia tidak ingin membayangkan satu kejadian buruk pun terjadi pada Fawaz. Pierre kembali terjatuh. Ia mencoba menarik nafas sekali lagi sebelum dirinya berusaha kembali naik. Pierre memilih duduk bersandar sebentar. Tangannya yang kebas bergoyang karena bergetar takut. Ia sangat amat tidak siap ditinggal seperti ini oleh sahabatnya. Terlebih tidak siap menjelaskan semuanya kepada keluarga Fawaz.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD