Bersama Pria Normal

1256 Words
Aura terbangun dari tidurnya. Matanya yang terasa berat, mencoba mencari-cari letak jam dinding di kamar itu. “Ah, sudah jam 4,” gumamnya. Ia pun tersadar, kalau sejak tadi malam ia telah sah menjadi istri dari Adam. “Sebenarnya, aku merasa bahagia bisa menjadi istri dari laki-laki yang selama ini idolakan,” batinnya saat melihat Adam yang tertidur di lantai beralaskan matras yang lembut. “Yah, walau aku tahu kalau sebenarnya dia tidak bisa mencintai aku,” fikirnya. Sesaat kemudian, terdengar suara tangisan Ezra. Aura pun celingukan. Awalnya, ia ingin mengabaikan suara anak itu. Tapi kemudian, naluri keibuannya mendesaknya untuk beranjak melihat anak itu. Ia pun keluar dari dalam kamar. Tok tok tok. Aura mengetuk pintu kamar Bu Zulaikha. Tidak menunggu sampai semenit, mertuanya pun membukakan pintu kamarnya. “Aura? Kamu sudah bangun? Atau kamu terganggu yah dengan suara tangis Ezra?” ujar wanita paruh baya itu. “Nggak kok, Bu. Aku lebih dulu terbangun sebelum mendengar tangisan Ezra,” sahutnya. “Memangnya Ezra kenapa, Bu?” tanya Aura. “Itu sering terjadi. Maklumlah, seorang anak pasti juga merasa kehilangan ibunya, di saat anak se-kecil Ezra masih butuh pelukan hangat seorang ibu, tapi dia sudah menjadi piatu,” ujar Bu Zulaikha dengan sedih. “Boleh aku gendong?” tanya Aura meminta bocah kecil itu dari tangan mertuanya. “Kamu mau menggendongnya?” tanya Bu Zulaikah berbasa-basi. “Aku sudah janji akan berusaha, Bu,” ujar Aura tersenyum sembari menerima Ezra untuk berpindah ke tangannya. Bocah yang belum genap setahun itu pun menatap wajah Aura. Seperti ingin menolak tangan baru untuk menopang tubuhnya. Namun, wajah polos tanpa dosa itu mulai mengurangi suaranya meski mata yang bersih itu masih terus menatap orang baru di rumah itu. “Sayang? Kok nangis? Sama Bunda aja, yah? Cup cup cup,” ujar Aura menimang Ezra. “Bunda? Hm, panggilan yang cukup bagus,” komentar Bu Zulaikha. “Tuh mulai diem,” ujarnya pada sang cucu yang masih kebingungan. Baik Aura dan Bu Zulaikha pun tersenyum melihat Ezra yang mulai terdiam. “Ibu masih mau tidur?” tanya Aura. “Nggak lagi. Sudah tanggung. Sebentar lagi juga sudah mau subuh. Biar ibu siapin sarapan saja,” ujar mertuanya. “Tapi, Bu? Bukannya itu pekerjaanku?” tanya Aura. “Tidak apa-apa. Kalau ibu masih sanggup, dan Ezra juga mau sama kamu, Ibu akan bantu kamu beberes urusan rumah tangga. Apa lagi ibu tahu kalau kamu itu tidak tahu banyak tentang Adam. Nanti salah-salah, kamu yang disemprot sama dia,” ujar Bu Zulaikha. “Ibu, nggak apa-apa kalau aku memang tidak tahu banyak tentang Adam? Eh, maksud aku, dalam banyak cerita yang aku tahu, ibu mertua itu pasti menyerahkan urusan anaknya pada istrinya,” jelas Aura. Bu Zulaikha menatap polos wajah Aura yang mengucapkan kalimat itu. “Yah, kamu benar. Tidak banyak mertua yang peduli pada urusan anaknya setelah menikah. Mungkin ibu juga salah satu dari gambaran mertua yang kamu maksud. Tapi, melihat kamu yang kebingungan seperti ini, sebagai sesama wanita, ibu tidak akan membiarkanmu menyelesaikan semuanya. Karena mulai hari ini, kamu akan terbiasa dengan pekerjaan yang mungkin tidak pernah kemu kerjaan sewaktu gadis dulu. Apa lagi dengan Adam yang hanya kamu kenal sebentar. Plus dengan Ezra yang bukan anak kandung kamu sendiri. Jadi, biarkan ibu memandumu,” tukas Bu Zulaika. “Kalimat ibu mertuanya memang cukup membuat Aura berfikir keras. Untungnya, Aura mengerti maksud wanita itu. Keduanya pun saling tersenyum. Saat Bu Zulaikha sedang menyiapkan sarapan, Ezra di tangan Aura pun kembali terlelap. Seiring dengan suara Azan subuh di mesjid. “Bu, Ezra-nya sudah tidur lagi. Aku letakin di mana?” tanya Aura. “Oh, udah tidur lagi? Kamu taruh aja di kamar. Ada keranjangnya di sana!” ujar Bu Zulaikha. “Di kamar ibu?” Aura memastikan. “Iya. Kenapa? Kamu takut ke kamar ibu?” “Eh, bukan gitu sih, Bu . Cuma...,” Aura tidak melanjutkan kalimatnya. “Ah, ibu mengerti. Ayo!” ajaknya. Bu Zulaikah pun mengajak Aura menuju kamar itu. Secepat kilat matanya menelusuri ruangan kamar yag terbilang tidak terlalu rapi. “Kamar ibu memang jarang terlihat bersih. Karena ibu akan bermain dengan Ezra di sini. Dan setelah itu, karena kelelahan, ibu tidak sempat membersihkannya,” jelas ibunya Adam seperti memahami fikiran menantunya. “Aku bisa rasakan betapa repotnya ibu mengurus seorang bayi tanpa ibunya,” ujar Aura dengan tatapan teduh. Apa lagi saat melihat sebuah kain yang terikat di pinggir keranjang baby. “Pasti ibu sering terbangun tengah malam untuk Ezra, yah?” sambungnya enebak. “Mau bagaimana lagi, Nak. Keluarga Ismi juga meminta Ezra. Tapi ibu tidak rela kalau Adam kehilangan anaknya setelah kehilangan istrinya,” jelas Bu Zulaikha. “Ah, sudahlah. Mumpung Ezra sudah tidur lagi, sebaiknya kita sholat subuh dulu!” ujarnya. *** Langit mulai beranjak terang ketika jam melewati pukul 6. Adam yang tidur di salah satu sisi tempat tidur itu pun terbangun, dan malihat di sisi lainnya Aura tertidur dengan mukenah yang masih membalut tubuhnya. “Kenapa dia malah ketiduran di situ?” gumamnya. Tidak ingin membangunkan, Adam justru beranjak keluar kamar. Ia melihat ibunya sedang duduk menikmati secangkir teh dan roti. Ezra belum bangun, Bu?” sapanya pada sang ibu. “Eh, kamu sudah bangun, Nak?” sahut Bu Zulaikha. “Tadi sebelum subuh udah bangun. Biasalah mengangis. Tapi untungnya Aura bangun dan mendiamkannya. Ibu fikir Aura terganggu karena tangisnya,” jelas Bu Zulaikha. “Oh, pantesan perempuan itu masih tertidur pakai mukenah,” lirih suara Adam. “Aura tertidur lagi setelah subuh?” “Mungkin,” sahut Adam cuek menuju belakang rumahnya. “Anak itu pasti masih ngantuk,” fikir Bu Zulaikha. Sementara itu, Aura terbangun dari tidurnya. Dan langsung melipat mukenah yang dia gunakan. Mencoba untuk melepaskan pakaiannya. Namun saat itu juga bertepatan Adam masuk. “Ehhhhggg?” Aura memekik pelan. Seketika keduanya berpandangan. Suasana menjadi kaku. Aura kembali mengenakan pakaian yang hampir terbuka. Terlihat wajah itu memerah. “Bisa kamu keluar sebentar?” pintanya dengan nada pelan. Tanpa menyahut, bahkan seperti musuh, Adam pun segera keluar. Setelah memastikan, Aura pun menghembuskan nafasnya dengan lega. “Astaga, bodoh bodoh bodoh! Kenapa aku mengatakan itu? Bagaimana kalau dia tersinggung? Bagaimana kalau dia, adduuuuh..., aku ini ‘kan istrinya,” Aura merutuki dirinya sendiri. Segera ia bergegas menuju kamar mandi. Mengingat kondisi yang ia tidak tahu harus bagaimana, Aura pun hanya mandi selayang. “Bu Zulaikha benar. Aku pasti akan dihadapkan dengan banyak hal yang tidak biasa aku lakukan sewaktu gadis. Ini mandi saja harus mandi bebek,” gumamnya. Sesaat kemudian ia pun kembali ke kamar dengan balutan handuk di tubuhnya. Kreek Suara pintu terbuka. Untuk ke dua kalinya, pasangan suami istri itu saling pandang. Kali ini Aura memegangi handuknya dan menutup bagian atas tubuhnya yang terbuka dengan kedua tangannya. “Tidak, aku tidak mungkin menyuruhnya keluar lagi. Ini ‘kan kamarnya. Aku ‘kan juga istrinya?” batin Aura menggerutu. Sama halnya dengan Adam yang sepertinya tidak berusaha untuk keluar lagi. Justru masuk ke dalam kamar. “Jangan berusaha untuk menggodaku. Karena bagaimana pun, aku ini pria normal,” ucap Adam mengejutkan Aura. “Siapa juga yang menggoda. Aku kebetulan baru selesai mandi,” sahutnya sedikit keberatan. “Harusnya kamu tutup pintu dan menguncinya. Atau kamu mandi saat aku belum ada di rumah,” jelas Adam masih belum menatapnya. “Bagaimana aku bisa tahu kamu kapan ada di rumah. Bukannya kita akan pergi dan pulang bekerja sama-sama?” sahut Aura. Adam berbalik dan berhadapan dengan Aura yang tubuhnya masih dibalut dengan handuk. Sontak gadis itu terkejut. Jantungnya mendadak berdetak kencang dan darahnya serasa berhenti mengalir saat Adam menatapnya dengan dekat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD