Ilham

1265 Words
Delina masih menunggu angkot lewat dan berhenti di depannya, sudah hampir 30 menit menunggu di trotoar belum ada tanda-tanda angkot kosong. Di jam sekolah biasanya semua angkot kebanyakan penuh, karena semua anak sekolah harus berangkat di waktu yang berbarengan. Kalau seperti ini terus bisa-bisa kesiangan, pikir Delina. Sedang termenung menunggu angkot yang kosong, tiba-tiba sebuah BMW hitam mengkilap berhenti di depannya, dengan refleks Delina bergeser agar tidak menghalangi orang yang akan turun dari dalamnya. Tapi mobil itu malah ikut maju seperti mengikuti. Tak lama kaca depan mobil terbuka. “Lin, kemana? Sekolah?” tanya seseorang dari dalam. Delina tidak yakin orang yang di dalam mobil itu berbicara padanya, ia pun kemudian menengok ke belakang, siapa tahu ada orang di belakangnya. Ternyata di belakang Delina hanya ada pohon besar, tidak ada siapa pun. “Maaf, siapa ya?” Delina merundukan badan, berusaha mencari tahu siapa orang yang ada di dalam mobil itu, kebetulan mobil di depannya ini adalah tipe mobil sport dengan dak pendek. Orang di dalam mobil membuka kacamata hitam yang dipakainya, seketika Delina pun mengenali, itu adalah Ilham. Delina kenal Ilham, karena ia lumayan sering main ke rumah, tapi tidak pernah pakai mobil sekeren ini, biasanya ia pakai motor matic, atau bahkan dibonceng Rico. Lagi pula, kalaupun pakai mobil, mana bisa tahu, gang sempit di rumahnya tidak bisa masuk mobil. Apa lagi mobil mahal, tergores sedikit saja, bisa panjang urusannya. “Eh, A Ilham, kirain siapa?” “Kirain siapa atuh? Dikira Lee Min Ho ya?! Ayo, masuk… masuk!” tiba-tiba pintu mobil terbuka sendiri ke arah atas, benar-benar mirip mobil-mobil artis. “Gak apa-apa, A. Aku naik angkot saja,” kata Delina malu-malu. “Udah cepet masuk, itu macet di belakang!” perintah Ilham. Seperti tak punya pilihan lain, dengan ragu-ragu Delina melangkah masuk, di dalam mobil itu hanya ada dua bangku, interior mewah di dalamnya langsung membuatnya merinding. Entah tombol apa yang ditekan, mobil itu tiba-tiba menutup sendiri. Seketika saja melaju menyusuri jalanan Kota Bandung yang sudah mulai ramai di pagi hari. Jalan di kota Bandung dilihat dari kaca depan sebuah mobil mewah menjadi tampak semakin anggun, karena terlalu takjub, Delina hanya diam dan sibuk memperhatikan pepohonan yang seolah bergerak. Mungkin ini adalah pertama kali dalam hidupnya menaiki mobil mewah. Jangankan mobil mewah, naik mobil biasa-biasa saja Delina belum pernah. “Kamu kenapa, Lin, diam saja?” tanya Ilham membuka pembicaraan. “Ngga… gak apa-apa, A… cuma kaget, eh, maksudnya bingung… aduh, mau ngomong apa ya… gitu lah pokoknya,” Delina tampak kikuk. “Maaf jadi mengagetkan ya. Kamu biasa jaga angkot di sana?” tanya Ilham. “Gak apa-apa, A. Iya, A… aku biasa jaga angkot di sana, gak tahu kenapa hari ini angkotnya pada penuh.” “Wah kebetulan dong, sudah takdir kayaknya, soalnya aku sering lewat situ jarang lihat kamu,” “Masa sih, A? kalau lihat juga mending lewatin aja. Gak penting ini,” Delina tertawa pelan. “Ah, kamu, kok gitu sih. Jangan-jangan Kamu kalau ketemu aku langsung di lewat gitu aja ya?” balas Ilham sambil tertawa. Suasana canggung kembali masuk di antara mereka. “Sekolah kamu jauh amat, Lin?” Ilham memecah kebekuan. Lalu membelokkan mobilnya di tikungan depan. Ilham sepertinya sudah tahu lokasi sekolah Delina dari bet lokasi yang tertempel di lengan bajunya. “Jauh ya, maaf jadi merepotkan,” Delina merasa tidak enak. “Bukan… bukan itu… hanya bercanda, tapi serius sekolah kamu emang jauh, Lin,” Ilham tertawa. “Maklum lah, A, derita otak pas-pasan, udah syukur ada sekolah yang mau terima juga, walaupun jauh,” Delina ikut tertawa. “Jangan gitu, dong, Lin, kamu itu kan sekolah di situ udah mengalahkan berapa ratus orang coba,” Tiba-tiba saja mobil menepi, tak terasa sudah sampai di sekolah Delina. Perjalanan pakai mobil sport jadi terasa begitu singkat, padahal kalau naik angkot rasanya seperti perjalanan ke luar kota, belum macet lah, belum angkot ngetem lah, ah, banyak acara. Mobil berhenti, kali ini Ilham ke luar, dan membukakan pintu tepat di mana Delina duduk. “Aduh, maaf jadi benar-benar merepotkan, makasih ya, A!” Delina merasakan perasaan tidak enak sekaligus tersanjung secara bersamaan. “Sama-sama, gak perlu di jemput, kan?” Ilham bercanda. “Gak usah, A… Gak usah,” Wajah Delina seketika memerah, ia gugup dan kikuk. “Iya… iya… lagian aku ada kuliah sampai sore hari ini,” kata Ilham. Setelah mobil putar arah, dan melaju dengan cepat meninggalkan Delina di depan gerbang sekolah, seketika Mimi dan Darel muncul. “Cie… cie… mimpi apa ya kita semalam, lihat Delina diantar mobil sport,” ejek teman-temannya, gelak tawa pun pecah. “Ah, kalian suka begitu deh,” Delina malu. “Siapa tuh?” tanya Mimi ingin tahu. “Teman Kakak, Mi,” “Ah, teman Kakak… apa teman Kakak,” Darel menambahkan. “Serius, teman Kakak, ya ampun, harus gimana ngejelasinnya sih?” Delina, Mimi, dan Darel adalah sahabat sejak duduk di kelas satu. Jangan kaget jika formasi geng Delina, seperti trio kwek kwek. Darel itu pria kemayu, tapi serius, dia tidak ngondek seperti banci. Dia bukan tidak mau gabung dengan teman sesama gander, hanya saja anak laki-laki di kelasnya jarang ada yang nyambung jika main bersama Darel. Anak laki-laki mengajak Darel main bola, alih-alih terjun ke lapangan, yang terjadi dia malah langganan jadi tukang ambil bola kalau tiba-tiba bola out. Anak laki-laki menawarkan stik drum untuk diajak gabung latihan Pensi, Darel lebih senang jadi penonton di bawah panggung sambil teriak-teriak. Tapi sejujurnya, Darel itu baik. Bahkan jadi semacam alarm, yang suka beri tahu jika ada laki-laki bermaksud jahat mendekati teman-temannya, karena dia itu sejatinya laki-laki dan tahu apa keinginan dan kebiasaan laki-laki. *** Sesampainya di rumah sehabis pulang sekolah, jam dinding menunjukan pukul setengah tiga, matahri bersinar terik. Terlihat Rico sedang asyik memperbaiki motor di teras rumah, setelah Delina mengucapkan salam, Rico menoleh. “Eh, kamu, ada PR gak?” tanya Rico sambil mengotak-atik mesin motor. “Baru datang, udah tanya PR,” jawab Delina ketus. Karena lelah Delina langsung membantingkan tubuhnya di atas kursi. Dan hendak mencomot kue di atas piring yang tersedia di depannya. “Jangan sentuh!” teriak Rico galak. “Iya… iya… pelit amat,” respon Delina. “ ….” “Gak kerja, A?” tanya Delina. “Ini apa, emang ini lagi diem? Ini lagi kerja, Lin,” jawab Rico. “Bukan, maksudnya gak berangkat ke studio?” tanya Delina lagi. Rico bekerja di sebuah studio musik di kawasan Braga. Ia bertugas menjadi operator. Bandnya juga kadang-kadang latihan di sana. “Oh, nggak, motornya mogok,” “Omong-omong, A Rico kok gak cerita punya teman tajir melintir,” “Hah…?!” Rico kaget, lalu menaruh obeng yang dipegangnya. “Tadi pagi aku di antar mobil sport, ngakunya teman A Rico,” kata Delina. “Kamu gak demam kan, Lin?” tangan Rico yang penuh oli memegang kening Delina. “Ih, apaan sih? Tolong itu tangan minggir!” kata Delina sambil mengelap sisa oli yang menempel dengan tisu. “Siapa?” “A Ilham….” “Kok bisa, Lin? Jangan-jangan kalian janjian ya? Ma, ini nih Delina udah belajar kencan!” teriak Rico. “Diem… diem… ih, berisik!” sekarang giliran Delina yang menutup mulut Rico dengan tangannya. Tiba-tiba suara HP Delina berbunyi, sebuah notifikasi aplikasi chatting muncul, Rico yang penasaran ikut-ikutan mengintip, namun berhasil ditutupi oleh tangan Delina. Setelah membaca notifikasi dari HP nya, Delina langsung menyambar tas sekolah yang tergeletak di kursi, dan masuk ke dalam rumah. “Cie… satu notifikasi pesan dari A Ilham,” teriak Rico mengejek, tapi tidak digubris oleh Delina. Delina masuk ke dalam rumah, tanpa menggubris sedikitpun ucapan Rico.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD