Mimi dan Darel

1337 Words
Delina menyimpan tasnya di atas meja belajar, masih menggunakan seragam sekolah ia merebahkan tubuhnya yang lelah di atas tempat tidur, ditangannya menggenggam ponsel. Ada sebuah pesan, bukan dari Ilham, tapi dari Mimi. “Lin, sabtu ada acara ulang tahun Febi, kamu bisa datang gak? Kalau bisa aku jemput ya. Balas plz.” “Belum tahu, Mi. Sabtu aku harus bantu-bantu Emak jaga warung,” balas Delina. “Sehari aja libur jaga warung gak bisa?” “Kayaknya sih nggak, Mi. Justru sabtu biasanya warung lagi rame-ramenya. Emang acaranya jam berapa?” “Sore sih,” balas Mimi. “Oh, gak tahu kalau sore, tar aku tanya Mama dulu ya, nanti aku kabari lagi,” balas Delina lagi. kemudian menyimpan HPnya di atas meja belajar, tak sengaja matanya melirik ke arah jendela, yang langsung menghadap jalan. Seketika pandangannya langsung terpana melihat dari jendela ada sebuah motor parkir di depan gerbang rumahnya. “Ya Ampun, bukannya itu A Ilham ya? Kok tiba-tiba aku jadi deg-degan gini ya,” bisik Delina dalam hati. Buru-buru ia menutup jendela kamar, kemudian membuka lemari pakaian untuk mencari baju rumah. Sambil berganti pakaian sekolah, Delina berpikir. “Si A Ilham tumben datang ke sini siang-siang biasanya kan malam,” Delina berbicara pada dirinya sendiri. “Tunggu... tunggu... apa gara-gara tadi kita berangkat bareng, terus mau bilang ‘besok berangkat bareng lagi ya, Lin'?” “Nggak... nggak mungkin, ngapain juga dia ngajak aku berangkat bareng lagi, ge-er banget,” bisiknya sambil berasumsi. Lalu Delina berbaring di atas kasur sambil menutup mukanya dengan bantal. “Hmm... Tapi mobil A Ilham keren juga, kalau diajak bareng lagi aku mau sih... he... he...” “Haduh, kamu mikir apa sih, Lin?!” masih berbicara pada diri sendiri.  Delina kaget, tiba-tiba terdengar suara pintu kamarnya diketuk. “Siapa?” “Aku lah, emang kamu ngarepnya siapa?” teriak Rico dari luar. “Mau ngapain? Lagi sibuk!” balas Delina lagi. “Sok sibuk banget sih. Ini ada Si Ilham, mau ketemu gak?” Mendengar kata “Ilham" sontak Delina panik, buru-buru ia turun dari ranjang, dan lari ke arah pintu lalu menguncinya. Delina salah tingkah. “Bilangin ke A Ilham aku lagi bikin PR!” “Ah, alasan. Sejak kapan kamu bikin PR jam segini? Biasanya juga udah magrib,” “Serius ini, tuh lihat aku lagi nulis... “ “Mana kelihatan, pintunya aja di tutup. Benar nih, gak bisa ketemu Ilham?” “Iya... “ kata Delina. Setelah itu suara Rico pun tak terdengar lagi. Rico kembali ke teras rumah, terlihat Ilham sedang duduk santai sambil menikmati es teh manis buatan Linda, hari ini udara memang sangat panas. Jarang-jarang Ilham berkunjung siang hari begini, kebetulan dosen tidak ada, dan setelah menghubungi Rico ternyata ia tidak berangkat kerja karena motornya mogok, langsung saja mereka membuat janji bertemu. “Ham, tambah lagi?” tanya Rico dari arah pintu. “Nggak... makasih, Ric, masih ada,” jawab Ilham sambil menunjukkan gelas es teh manis yang tinggal setengah lagi. “Gak sibuk?” Rico menepuk pundak Ilham lalu duduk di kursi sebelahnya. “Dosen gak ada, di kampus juga sepi, langsung cabut sini. Eh, pulang dulu deng ke rumah bentar balikin mobil ke garasi.” “Oh, lu bawa mobil? Pantesan Si Delina tadi cerita katanya pagi pas berangkat sekolah dianterin mobil sport,” “ha... ha... dasar,” “Gue udah feeling sih, itu pasti elu. Tingkah adik gue malu-maluin gak, Ham?” Rico tertawa. “Ah, biasa aja, cuma sebelumnya emang bikin macet jalan, disuruh masuk susah banget. Takut gue culik kali ya?” “Dasar bocah SMA, gak bisa liat cowok ganteng dikit pake mobil sport, langsung salting (salah tingkah),” “Biasa aja kali. Ngomong-ngomong, anaknya mana sekarang? Kemaren-kemaren ribut banget minta coklat, nih udah gue bawain lagi, di rumah udah pada bosen, daripada gak ada yang makan,” Ilham menyodorkan beberapa batang coklat. “Ada, lagi bikin PR. Eh, lu terlalu memanjakan Si Delina, Ham. Tar dia kebiasaan terus cinta sama lu bahaya,” “Emang dia bisa cinta sama gue cuma gara-gara dikasih coklat ya? Ya udah besok-besok gue bawa satu kardus deh,” gelak tawa pun pecah. *** Selepas Isya Sam pulang dari pasar, tubuhnya di penuhi peluh bercampur aroma yang tak karuan. Tanda lelah tersirat nyata di wajahnya. Sambil mengibas-ngibaskan handuk di depan mukanya, ia memanggil Linda. “Ma, air dong!” kata Sam. Linda yang mendengar teriakan suaminya buru-buru ke luar dari warung, lalu berbelok ke dapur dan mengambilkan segelas air bening. “Eh, suamiku udah pulang,” sapa Linda genit. Sambil menyerahkan gelas air yang dibawanya. “Inget umur! makasih airnya, Ma!” Sam tersenyum. Lalu meneguk air itu hingga habis. “Tambah lagi?” “Nggak, cukup. Anak-anak di mana? Sepi banget?” tanya Sam. “Barusan Rico ke luar sama Ilham, kalau Delina lagi di kamarnya, gak tahu lagi ngapain, kedengarannya sih tadi ribut-ribut sama Si Rico bilangnya lagi bikin PR,” “Oh,” “Tadi pasar rame, Pah?” Linda mengambil posisi duduk. “Ya iya lah, kapan sih pasar induk sepi,” jawab Sam. Ia merogoh saku celana dan mengeluarkan gulungan uang yang diikat karet gelang berwarna merah dari dalamnya. “Nih, cuma dapat segitu,” kata Sam, sambil menyerahkan gulungan uang tadi. “Alhamdulillah...” wajah Linda berseri-seri. Buru-buru ia melepas karetnya dan membentangkan setiap lembar sambil dihitung. Semuanya ada 175 ribu. “Hari ini pasar emang betulan ramai ya, Pah,” komentar Linda usai menghitung penghasilan suaminya. Biasanya pulang nguli Sam hanya bisa membawa pulang penghasilan bersih 30 hingga 75 ribu rupiah di hari-hari normal. Itu sudah dipotong makan siang dan bayar jatah preman. Tumben sekali hari ini berhasil mengumpulkan uang di atas 100 ribu, oleh karena itu Linda tampak sangat semringah. “Tadi siang tukang daging minta bantu angkut kulkas, temannya Ko Acong. Dia kasih 50 ribu,” Sam menjelaskan. “Oh gitu,” “Sisihkan buat bayar buku Si Delina!” kata Sam. Disusul anggukan Linda. Setelah ngobrol-ngobrol sebentar mereka kemudian masuk ke dalam rumah. Sam bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, sedangkan Linda kembali ke warung untuk merapikan beberapa barang-barang dan menutup warungnya. Sementara itu Delina masih mengurung diri di dalam kamar, dia hanya ke luar sesekali untuk ambil makanan dan Shalat. Bukan tanpa alasan, Delina sengaja menghindari bertemu Ilham. Karena malu. Tring.. tring... suara ponsel berbunyi. “Lin, kamu diundang sama Febi ke ulang tahunnya, bisa datang gak?” sebuah pesan dari Darel. “Iya udah tahu, tadi siang dikasih tahu Mimi. Tapi aku masih belum pasti, belum bilang sama Mama,” balas Delina. “Pastiin aja, tar aku jemput ya!” “Hu uh, Mimi juga bilangnya mau jemput ke sini. Bareng aja,” “Oh, jadi kamu bisa?” “Kata siapa? Maksudnya kalian bareng berangkatnya,” “Oh, kirain bisa. Ya sudah, nanti kabari aku ya kalau jadi,” “Siap....” Kemudian Delina mengetik pesan pada Mimi, ia hendak menanyakan, apakah hari Sabtu Mimi jadi menjemputnya di rumah. Jika jawabannya "ya", selanjutnya ia akan bilang, kalau diizinkan pergi oleh Sang Ibu, mereka akan pergi berdua plus Darel. “Jadi ke rumah gak Sabtu?” saat pesan akan dikirim, Mama mengetuk pintu kamar. Delina pun buru-buru menekan tombol send dan berjalan meninggalkan meja belajar untuk membukakan pintu. “Apa, Ma?” Delina sudah berada di ambang pintu. “Kamu sakit, Lin?” tanya Linda khawatir. Ia datang sambil membawakan segelas kental manis hangat dan makan malam. “Nggak kok, Ma. Emang wajah aku terlihat pucat ya?” Delina menengok ke cermin gantung yang berada tepat bersebelahan dengan pintu. Cermin itu sengaja di pasang di sana, agar mudah melihat penampilan saat akan berangkat sekolah. “Soalnya dari tadi kamu diam terus di kamar, gak biasa-biasanya,” kata Linda lagi. “Oh, iya, Ma... he... he...” “Aku banyak PR hari ini,” sambung Delina. “Ya sudah, makan dulu!” Delina mengambil s**u dan sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya yang dibawakan Sang Ibu, kemudian membawanya ke meja makan di sebelah dapur, dan memakannya dengan lahap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD