PART 2 - PEMAKAMAN SALMA

1273 Words
TERSESAT RINDU. PART 2 -  PEMAKAMAN SALMA POV  Safa Aira. Pemakaman Salma berjalan dengan lancar. Bahkan aku masih melihat bagaimana Ibu kandung Salma masih menangis dipelukan suaminya. Siapapun pasti berduka bila menyaksikan putri satu-satunya nan cantik jelita harus meregang nyawa karena kecelakaan. Pasti banyak harapan dan impian yang tersemat pada kedua orang tua  Salma untuk putrinya. Namun, semua kandas karena perginya Salma menuju kepangkuan sang pencipta. Bahkan dari jauh dapat kusaksikan tubuh Ibu Salma ambruk saat jasad Salma masuk ke liang lahat. Dari jauh pula aku menyaksikan semua urutan pemakaman Salma bersama lelaki yang satu bulan lalu menjabat tangan Ayahku di depan pak penghulu. Kami memang dilarang untuk mendekati area pemakaman Salma. Sebenarnya hanya suamiku yang mendapat larangan itu. Sebagai istri yang baik dan berbakti, aku harus tetap berada disamping suamiku bukan? Sekalipun ingin sekali aku memberikan penghormatan terakhir untuk Salma, wanita yang teramat dicintai dan mencintai suamiku. Bukan hal yang mudah untukku bisa berdiri di sini. Karena apa yang aku lakukan semata hanya ingin menunjukkan pada mereka disana jika aku masih istri yang baik, yang akan menemani suami dalam kondisi apapun, sekalipun kondisi itu membuat citra aku tetap tak baik dimata siapapun. Menikah namun tidak memiliki tempat sama sekali di hati suamiku. Miris bukan? Bahkan aku harus menahan diri melihat suamiku beberapa kali bersikukuh mendatangi makam Salma. “Bawa suamimu pergi dari sini, jika ia masih sayang nyawanya!” Bentakan yang kudapat dari Ayah Salma, membuatku harus beberapa kali membujuk suamiku untuk tidak mendekati makam Salma. Bahkan hingga penziarah pergi, makam itu tetap dijaga oleh orang-orang berjas hitam. Seolah mengultimatum sampai kapanpun suamiku tetap dilarang mendekati tempat peristirahatan terakhir Salma. Sungguh kisah cinta yang tak sampai versi modern. Entah seperti apa hubungan suamiku dengan Salma. Mengingat bagaimana interaksiku selama sebulan menjadi istrinya, aku yakin cinta mereka tidak terpisahkan. Aku orang ketiga diantara mereka yang harus hadir untuk memisahkan cinta terlarang mereka. Nyatanya aku bukan saja gagal menjadi istrinya, aku juga gagal menyelamatkan hatiku. Kembali aku mengingat bagaimana pertemuan kami untuk yang pertama kali. Pertemuan yang kemudian aku sesali. Sebulan yang lalu ketika aku baru saja lulus sekolah lanjutan atas dan belum memulai kuliah, secara tak terduga aku dikenalkan oleh kedua orang tuaku pada sahabatnya. Yah kami memang di jodohkan. Namun ketika melihat bagaimana gagah nan tampannya lelaki yang dijodohkan padaku, tak salah bukan jika aku tertarik saat pertama kali melihatnya. “Putriku ini baru saja lulus SMA tahun ini.” Ibu tersenyum pada wanita sebayanya yang duduk di sebrang sofa. Aku baru saja meletakkan setoples makanan diatas meja, lalu tersenyum pada tamu Ayah dan Ibu. Aku duduk di apit kedua orang tuaku, sementara di depan kami duduk wanita sahabat ibuku dan putranya, yang kuketahui bernama Azka Erlangga. Mata kami bertemu sesaat, karena jujur aku agak malu ditatap seintens itu oleh seorang lelaki yang baru aku kenal. Jangan tanya bagaimana hati aku saat itu. Debaran dalam d**a kurasakan makin kencang dan tanganku mulai berkeringat. “Safa, kedatangan Ibu dan putra ibu kemari bermaksud untuk melamarmu.” Wanita yang menjadi sahabat Ibu ketika sekolah dulu memulai pembicaraan. “Kamu bersedia kan, nak?” tanyanya. Aku gak tahu harus menjawab apa. Pipiku entah mengapa menjadi panas, saat kembali menatap lelaki yang duduk disebelahnya. “Bagaimana Aira? Kamu setuju?” Kurasakan belaian ibu di lenganku. Nama lengkapku Safa Aira. Untuk mereka yang mengenalku sejak kecil, Aira adalah nama panggilanku. Ketika kuangkat wajah untuk  memandang Ibu, kulihat ibuku tersenyum bahagia. “”Lia, kurasa putriku setuju.” “Ibu,” tegurku dengan wajah sangat amat malu. Bagaimana bisa ibu memutuskan jika aku menyetujui perjodohan ini. Dengan malu-malu dan sedikit gugup, kucoba melirik lagi ke arah lelaki bernama Azka itu, dan kulihat ia mengulum senyum. Ya Tuhan, apa itu berarti ia juga menyukaiku? Pesta pernikahan kamipun berlangsung sangat meriah dan itu terjadi di kota ini, Jakarta. Hanya orang-orang tertentu yang di undang orang tuaku, mengingat kami berasal dari desa terpecil. Kebanyakan tamu yang hadir justru relasi kerja Azka. Dibalik kekaguman pada sosok suamiku, kadang aku bertanya dalam hati. Lelaki yang menurutku sempurna ini, tak mungkin rasanya jika sulit menemukan wanita untuk dijadikan istri. Mengapa ia harus jauh-jauh mencari istri ke pelosok desa sepertiku? Apa karena kedua ibu kami bersahabat. Dipesta pernikahan itu, aku bertemu Salma. Wanita cantik yang berstatus sepupu suamiku. Ternyata Almarhum Ayah Azka merupakan kakak dari Ayahnya Salma. “Selamat datang dikeluarga kami,” Salma memeluk tubuhku erat kala itu. Pertama kali melihatnya aku yang sebagai wanita saja pangling. Wajahnya mulus bak porselain, tubuhnya tinggi dengan kaki yang jenjang. Namun tidak pernah sekalipun aku melihatnya datang  bersama lelaki manapun saat berkunjung ke rumahku. Mengingat bagaimana Salma sering berkunjung ke rumah dan menghabiskan waktu bersama suamiku, tak pernah kuduga jika mereka menjalin kasih. Aku memang sering mendapati keduanya tersenyum berdua atau bicara serius di ruang kerja Azka. Aku tak pernah curiga jika mereka menjalin kasih. Harusnya aku curiga, ketika setelah menikah Azka tidak meminta haknya sebagai seorang suami terhadap istri pada umumnya. “Aku ingin kita saling mengenal dulu Safa.” Saat itu aku amat sangat bahagia mendapat suami yang pengertian sekali.Yang mau menghormati seorang wanita, dan tidak egois. Namun setelah di pikir-pikir, aku justru merasa di bodohi mentah-mentah olehnya. Bagaimana mungkin ia mampu menyentuhku, jika ada wanita lain dalam pikirannya. Safa Aira,  malang sekali nasibmu. Mungkin ini balasan dari Tuhan. Yah, aku bahkan rela meninggalkan seorang lelaki yang selama ini menemaniku, Alam. Alam  teman mainku ketika kecil dan kakak kelasku. Bagaimana kulihat sendu diwajahnya saat mengetahui jika aku dipinang seorang pemuda kaya raya dari kota. “Semoga kamu bahagia,” ucap Alam pada suatu malam, ketika kami pulang dari kampung sebelah menghadiri pesta pernikahan salah satu teman kami. “Maaf kak,” ucapku sambil memandangnya sendu. Aku tahu dia begitu menyayangiku. Bahkan kami sudah dekat sejak SMP. Kami harus sembunyi-sembunyi menjalin kasih karena Ayahku tidak menyetujui hubungan kami. “Ayah gak mau putri Ayah sembarangan dekat dengan seorang lelaki. Dia harus gagah, tampan juga memiliki kedudukan. Ayah ingin hidup putri ayah satu-satunya bahagia.” Mendengar perkataan Ayah, tampaknya Kak Alam tidak memenuhi kriteria. Pekerjaanya saja baru menjadi guru honorer, belum lagi ia bukan dari keluarga kaya raya seperti keinginan ayah. Wajar jika seorang Ayah menginginkan kebahagiaan putrinya, namun materi bukanlah jaminan. Terlebih apa yang aku alami ini. *** Kuaduk perlahan gelas yang sudah kuisi dengan teh manis hangat. Kucari bungkusan obat yang kemarin direkomendasikan Dokter untuk mengatasi nyeri. Tak lupa semangkok bubur hangat yang sudah kumasak sejak pagi. See. Aku istri yang baik bukan? Semua sudah siap di nampan. Kuhela napas panjang sebelum melangkah kedalam kamar. Sampai di sana, kulihat suamiku sudah duduk bersandar di atas ranjang. Sepertinya ia sudah mandi. Mata suamiku mengikuti setiap gerakanku sejak masuk ke dalam kamar. Sejak kembali dari rumah sakit, sejak aku tahu dia mempunyai hubungan dengan Salma, aku memilih pisah kamar. Aku tak mau jika setelah Salma meninggal, suamiku menjadikan aku pengganti. Aku hanya ingin menjadi seorang istri yang dicintai suaminya, bukan seorang pengganti. Kuletakkan nampan yang tadi kubawa dari dapur diatas nacase samping ranjang. “Sarapan dulu, lalu minum obatnya.” Kukeluarkan beberapa butir obat yang harus ia minum pagi ini. Kuletakkan di atas piring kecil.  Teh manis sudah, bubur sudah, dan obat sudah tersedia pula. Selesai tugasku hari ini. Lalu tanpa menoleh ke arahnya, aku segera beranjak keluar. “Safa tunggu.”  Kudengar suara suamiku memanggil pelan. Aku menghentikan pergerakan demi berkata. “Panggil aku jika kamu sudah selesai. Setelah itu baru kita bicara.” Lalu aku keluar kamar tanpa menoleh lagi. Memangnya apa yang harus aku perbuat sekarang? Mendampinginya? Rasanya tidak perlu. Aku harus memberinya ruang untuk mengobati rasa kehilangannya atas cinta hatinya bukan?    PEN NAME : HERNI RAFAEL. Judul : TERSESAT RINDU. LINK : https://m.dreame.com/novel/Br97UKH4+/KVPNtq7tQ80w==.html  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD