PART 3 - TALAK

1471 Words
TERSESAT RINDU. PART 3 - TALAK POV Safa Aira. Aku  menguatkan hatiku. Meredam semua emosi yang selama seminggu ini kutahan. Aku hanya manusia biasa yang tak akan sanggup melihat kenyataan, jika orang yang kucintai justru mencintai wanita lain. Rumah tangga apa yang akan kulalui nanti. Meskipun wanita yang dicintai suamiku sudah tiada, aku tak akan sudi menemaninya melewati kesedihan dan meratapi kehilangan itu. Lebih baik aku mengambil keputusan itu. “Talak aku,” pintaku lirih. Kulihat Azka langsung menatapku. Aku yakin tubuhnya menegang. Mungkin tak percaya aku sanggup mengucap kata itu. Tak salahkah permintaan aku ini? “Safa, aku ....” Aku berusaha menghalau riak dimataku dengan mengerjapkan mataku. Aku tidak akan memperlihatkan kesedihanku padanya. Aku tidak akan menunjukkan jika aku lemah. Tidak, aku harus menunjukkan bahwa seorang Azka tidak berpengaruh apapun pada diriku,  pada hidupku. Walau sebenarnya aku sendiri ragu. “Aku menyerah,” bisikku “Tapi ….” “Talak aku sekarang juga. Aku akan segera kembali ke rumah orang tuaku.” Sekilas kulihat raut wajahnya yang sulit aku artikan. Bahkan aku tak berani untuk membalas tatapannya itu. Maaf Azka, aku tak ingin dijadikan cadangan. **** Terlalu muluk jika awalnya Aku menginginkan Azka menahan langkahku. Paling tidak Azka mempertimbangkan permintaanku. Yah aku hanya mencoba, ingin tahu seperti apa jika aku meminta perpisahan. Namun, kembali aku harus merasakan patahan makin besar dalam dadaku, mengingat lelaki itu bahkan tak berpikir dua kali untuk mengucap talak. Aku mendudukkan tubuhku diatas ranjang didalam kamar yang sudah seminggu ini ku isi seorang diri. Bukan kamar utama yang dulu aku tinggali berdua bersama suamiku. Ini kamar tamu yang sengaja  dipersiapkan untuk tamu yang datang kerumah ini dan menginap. Sakit yang mendera dadaku makin bertambah, mengingat kini aku sudah berubah status menjadi janda. Dengan lantang Azka mengucapkan kata talak, disaksikan asisten rumah tangganya. Setelahnya Aku langsung keluar kamar.  Aku tak akan sanggup menahan  laju air mata ini. Mengapa perih rasanya, padahal kami baru saling mengenal. Mungkin karena Aku salah karena  sudah menggantungkan harapan besar. Tapi suatu hal yang wajar bukan jika seorang istri berharap suaminya  akan selalu menemani hari-harinya sampai kelak takdir memisahkan mereka dengan kematian. Membayangkan wajah kedua orang tuaku jika melihat putri kebanggaannya menyandang status janda,  suatu masalah baru dan makin membuat aku dilema. Tapi, aku tetap harus pulang ke rumah orang tuaku kan? Karena tidak ada tempat lagi yang bisa kukunjungi selain ke rumah orang tuaku. “Neng Safa,” panggilan dari Bi Danti menyadarkanku dari lamunan. Dialah yang menjadi saksi ketika kata talak itu terucap. Aku segera menghapus pipiku yang sudah basah. Aku segera mengeluarkan tas yang sudah aku siapkan. “Neng mau pergi sekarang?” Aku segera menoleh dan tersenyum. “Iya bi,” jawabku pelan. Untuk apa aku berlama – lama di rumah ini.  Hanya akan membuat aku sulit untuk melangkah nantinya. Kehadiranku selama ini hanya sebagai pemanis ruangan. Aku memang sedih namun aku tidak mau memperlihatkannya  dihadapan orang lain. ** Setelah membuat keputusan, maka hasilnya harus diterima oleh seorang gadis bernama Safa Aira. Dia memang bisa di sebut gadis. Karena ketika ia datang dan pergi dari rumah ini, Safa Aira belum tersentuh. Aira memandang ke belakang sebentar, sebelum masuk ke dalam mobil yang membawanya kembali ke rumah  orang tuanya. Miris. Baru genap sebulan pesta pernikahan yang super mewah, dia harus kembali ke rumah orang tuanya dengan status janda. Sungguh bukan cita-cita dalam hidupnya. Dulu ia suka berandai dan berhayal, bisa menikah dengan lelaki yang benar mencintainya, mempunyai keturunan, menghabiskan hidup berdua bersama keluarga, hingga melihat buah hatinya hadir satu persatu. Merasakan repotnya mengurus mereka. Mungkin dua laki-laki dan dua perempuan. Merasakan riuhnya rumah yang ia huni dengan gelak tawa mereka. Hingga kemudian ia menua bersama sang suami. Namun, ternyata itu hanyalah angan semata. Aira tersenyum sedih, berulang kali harus mengerjapkan matanya yang mulai ber embun. Apa  yang harus ia katakan pada orang tuanya, terlebih pada  Ayahnya yang kemarin merasakan kebanggaan tiada tara memiliki menantu seperti Azka Erlangga. Pemuda tampan dan kaya raya. Satu paket menantu yang di idamkan Ayahnya. Kini bahkan ia kembali tanpa ditemani suaminya. Kembali ke rumah orang tuanya. Dengan status yang baru. Janda. Ia sudah berusaha menerima semuanya. Keinginan kedua orang tuanya yang ia pikir memang yang terbaik untuk hidupnya. Semua orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk buah hatinya. Bahkan jauh di dasar lubuk hatinya, ia sudah bisa menerima sosok itu. Sosok  pemuda yang ia kira akan menemaninya hingga akhir hayat. Lelaki yang menjabat tangan ayahnya saat Ijab Kabul berlangsung bulan lalu. Aira menyadari ada yang beda di hatinya setelah merasakan satu bulan tinggal satu atap dengan Azka. Ia sudah mencintai lelaki itu, mencintai suaminya yang baru tadi pagi menjatuhkan talak kepadanya. *** Perjalanan yang memakan waktu dua jam, hingga akhirnya Aira sampai didepan rumah kedua orang tuanya. Bahkan supir yang di utus Azka untuk mengantarnya sudah berpamitan langsung pulang ke jakarta. Aira membuka gerbang rumahnya perlahan. Rumah yang belum  genap sebulan ia tinggalkan. “Aira?” Seorang wanita berhijab sar’i menghampiri. Tatapannya menyelidik, bahkan beberapa kali menatap jalanan depan rumah sekedar memastikan jika putrinya datang seorang diri. “Kamu datang sendiri? Suamimu mana?” Bahkan kini ia ganti menatap sang putri juga tas yang ia yakini berisi pakaian. Karena saat Aira ingin pindah, ia yang memberikan tas itu, ia juga yang merapikannya ke dalam tas. Jadi ia yakin isi tas itu semua pakaian putrinya. Tapi untuk apa semua pakaian dibawa kemari jika hanya ingin menengok kedua orang tuanya? Mendengar pertanyaan sang Ibu membuat Aira tersenyum getir. Melihat raut wajah putrinya, Yuni yakin ada yang tidak beres. “Aira?” tanyanya lagi sambil mengusap wajah sang putri. Aira memeluk tubuh ibunya dan menangis. “Maafkan Aira bu,” isaknya. Karena sudah gagal menjadi anak yang berbakti. Bahkan Aira yakin kepulangannya hanya akan menjadi perbicangan warga sekitar. Apalagi mereka tahu Ayah Aira terpandang didesa ini dan begitu membanggakan sosok menantunya itu. Bahkan pernikahan mereka digelar mewah di Jakarta dan hanya beberapa warga yang di undang. Yang hanya memenuhi syarat. Itu jawaban Ayahnya saat Aira bertanya mengapa hanya sedikit warga yang diberi undangan. “Kita masuk ya, bicara di dalam.” Yuni membimbing putrinya masuk ke dalam rumah. Ia juga membantu membawakan tas putrinya. Segudang pertanyaan ada dalam benaknya, bagaimana bisa putrinya pulang tanpa didampingi suami? Apakah mereka bertengkar? Pertengkaran apa yang memicu hingga membuat putrinya kembali dalam waktu dekat ini. Pak Burhan yang baru keluar kamar mengeryit heran. “Aira? Kamu datang nak? Mana suamimu?” Pertanyaan yang sama mengenai suaminya. Setelah menyalami ayahnya, Aira duduk di sofa ruang tengah. “Maafkan Aira yah. Maaf.” Aira menunduk sambil memilin jemarinya. Burhan menatap istrinya, namun ia terheran melihat mata istrinya ikutan berlinang. “Ada apa Aira?” tanya Burhan tak penasaran. “Aira sudah ditalak Mas Azka, Ayah.” Dengan bibir gemetar Aira mengeluarkan alasan kepulangannya. “Apa? Kamu ditalak? Tapi mengapa? Pernikahan kalian bahkan belum lama, baru satu bulan!” Burhan berdiri dengan emosi.  “Maaf Ayah, tapi Aira gak bisa melanjutkan lagi pernikahan ini.” “Apa dia ringan tangan?” Burhan mengangkat wajah putrinya, demi memastikan tidak ada noda lebam diwajah putrinya. Dia tidak akan tinggal diam jika menantunya ringan tangan. Dia tidak akan biarkan siapapun menyakiti putrinya. Aira menggeleng dengan terisak. “Ayah akan temui lelaki itu!” bentak Burhan “Jangan Ayah.” Aira bahkan bersimpuh memeluk kaki ayahnya. “Jangan temui Mas Azka. Kami sudah berpisah secara agama. Disaksikan asisten rumah tangganya, Mas Azka sudah menjatuhkan talak. Tolong Yah jangan perpanjang masalah ini. Aira sudah ikhlas dan menerima.” Aira bahkan membiarkan air matanya kembali menetes membasahi celana panjang Ayahnya. “Tapi lelaki itu tidak bisa seenaknya!  Paling tidak dia harus menemui ayah ketika memulangkan kamu!” teriak Burhan tidak terima mendapat perlakuan seperti ini. Ia yakin Azka bisa membahagiakan putrinya, itu yang terpatri dalam benaknya kala melihat Azka untuk pertama kalinya. Aira tetap kukuh memeluk kaki Burhan, ayahnya. Ia tahu seperti apa Ayahnya jika sedang emosi. Sementara Burhan harus menahan emosi yang menyeruak hadir, bahkan melupakan jika ia sudah tak lagi muda, yang harus bisa mengontrol emosi.  Itu yang membuat Burhan tiba-tiba memegang dadanya, menahan sakit. “Ya Allah, Ayah kenapa?” Yuni segera menghampiri suaminya. Ia takut penyakit jantung suaminya kembali kumat. Aira yang semula menunduk, tersentak dan langsung mengangkat wajahnya. Melihat raut wajah Ayahnya yang menahan sakit di d**a, ia segera bangkit dari posisi bersimpuhnya. “Ayah!” Cengkraman Burhan makin menguat pada dadanya, ia memegang dadanya yang makin terasa sakit. “Ayah, ayah kenapa,” isak Aira sambil membantu Ibunya mendudukkan ayahnya disofa. Burhan memandang ke arah istri dan putrinya sebentar sebelum kembali bernapas dan menutup matanya. “Ayah! Ayah bangun yah, Ayah!” Teriakan dan jeritan siang itu terdengar dari kedua wanita beda generasi. Sekuat apapun mereka memanggil dan mengguncang tubuh Burhan, nyatanya Burhan sudah menutup mata untuk selamanya.      PEN NAME : HERNI RAFAEL.  Judul : TERSESAT RINDU. Link : https://m.dreame.com/novel/Br97UKH4+/KVPNtq7tQ80w==.html                    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD