Menerima kabar

1933 Words
Daren duduk termenung di balkon kamar sambil menatap langit yang sudah gelap. Sebelum itu, Daren sudah menyiapkan surat lamaran untuk besok. Ia sudah tidak mau menundanya lagi dan ingin segera mendapat pekerjaan. Rasa ingin membahagiakan Kayra begitu besar. Hanya saja Daren masih belum bisa memenuhi semua itu. Kedua orang tua Daren telah tiada dikarenakan kecelakaan dua puluh tahun silam hingga merenggut nyawa keduanya tapi tidak dengan Daren. Ia bisa selamat dan tinggal bersama Juna hari itu. Saat itu, ketika Daren ulang tahun yang ke 10, Yoga dan Rumi mengajaknya ke suatu tempat untuk berlibur. Itung-itung itu sebagai hadiah ulang tahun untuk Daren, anak pertamanya. Daren memiliki adik bernama Daisy, umurnya masih 3 tahun pada saat itu. Mobil yang dikendarai Yoga pada waktu itu masuk ke dalam jurang karena mengalami rem blong, sehingga Yoga tidak bisa menghentikan mobil itu dengan mudah. Kecelakaan naas itu membuat mobilnya meledak dan kedua orang tua Daren beserta adiknya ada di sana. Ketiganya terbakar. Namun, tidak dengan Daren. Pada saat itu Daren berhasil keluar sebab ia duduk di kursi belakang dan Daren melompat dari arah jendela pintu. Yoga dan Rumi tidak terselamatkan, sementara adiknya bernama Daisy sampai sekarang tidak ada kabar. Daren yakin jika Daisy masih hidup. Namun, hingga sekarang Daren belum bertemu, apalagi pada saat itu Daisy masih kecil. Sangat sulit mengenali wajah adiknya yang lucu itu. Pada saat itu, Daren dibawa oleh Juna dan tinggal bersama pria tua di perkampungan terpencil. Sejak Juna meninggal, Daren pun mulai hidup mandiri dan dia bekerja jauh dari tempat lahirnya. Tring, tring!! Tetiba lamunan Daren buyar saat ponselnya berbunyi. Ia lantas masuk kamar, sebentar melihat istrinya yang sudah tertidur pulas. Sementara ponselnya terus berbunyi dan berbunyi lagi. Panggilan itu seakan tak henti. Daren mengerutkan kening, masalahnya ia tidak tahu siapa yang menghubunginya malam-malam begini? Karena penasaran, Daren pun segera mengangkatnya. "Selamat malam, apa benar ini dengan saudara Daren putra dari Bapak Yoga dan Ibu Rumi?" "Iya, saya sendiri. Maaf, Anda siapa? Anda mengenali ayah ibuku?" tanya Daren berjalan menjauhi istrinya sebab ia tak mau mengganggu tidur Kayra. "Tentu saja, syukurlah akhirnya saya menemukanmu. Saya ingin mengabarkan jika paman Anda di rawat di Rumah Sakit Imanuel Bandung, apa Anda bisa kemari untuk bertemu beliau? Sudah lama, beliau ingin bertemu dengan Anda." "Paman?" Daren membeo sebab ia hampir lupa jika ia masih mempunyai paman di tempat kelahirannya. "Iya, Pak Yuridis mengidap penyakit kanker dan beliau ingin segera menemui Anda. Bagaimana? Apa Anda bisa kemari?" "Maaf, kalua boleh tahu, Anda ini siapa? Kenapa Anda mengenali saya dan paman saya?" tanya Daren bingung. "Ah, sebelumnya perkenalkan, saya Imron, salah satu pegawai Pak Yuridis dan saya ditunjuk sebagai tangan kanan Beliau." "Oh begitu, baik, besok saya ke sana. Anda bisa mengirim tempat dan ruangan paman ke nomor ini," kata Daren. "Baik, saya kirimkan. Tapi sebelum itu, Anda harus menemui Beliau sendirian tidak bersama dengan istri Anda, sebab itu keinginan dari Pak Yuridis sendiri dan Beliau tidak mau istri Anda tahu jika Anda menemui Beliau di sini." Daren heran. Sebenarnya ada apa ini dan, kenapa pamannya musti ingin Daren ke sana sendiri? "Hmm, baiklah." Daren lantas menutup sambungan telpon itu dan kembali berpikir. Sebenarnya apa yang terjadi? Apa benar pamannya dirawat? Ting!! Sebuah pesan masuk. Rupanya itu dari Imron. Ia sudah mengirimkan alamat dan ruangan yang di tempati Yuridis beserta foto Yuridis sedang berbaring di sana. Daren memperbesar gambar itu hingga bisa melihatnya dengan jelas. Ya, ia masih mengingat pamannya dan ia yakin jika itu benar-benar pamannya. *** "Bagaimana? Benar itu Daren, anakku?" tanya Yuridis. Karena baginya Daren ialah anaknya sendiri sebab, sampai sekarang bahkan Yuridis tidak mempunyai putra ataupun putri. "Betul, Pak. Orang suruhan kita sudah melacaknya dan dialah anak yang Bapak cari," jawab Imron. "Syukurlah, akhirnya aku menemukanmu, Nak. Kau tenanglah di sana Kak, sebentar lagi aku akan bertemu dengan Daren, putramu dan tidak lama lagi aku juga akan menemukan Daisy." "Semoga, Pak. Orang suruhan kita sampai detik ini masih mencari adik Daren." *** Keesokan pagi, Daren sudah siap dengan pakaiannya seperti hendak melamar pekerjaan. Ia ingat jika ia harus sendirian dan tidak boleh sampai Kayra tahu jika dirinya mau menemui sang paman di Rumah Sakit. Maka dari itu Daren dengan alasan melamar pekerjaan agar Kayra tidak curiga. "Mas berangkat ya! Doakan mas supaya nanti mas dapet pekerjaan dan bisa mengumpulkan uang buat beli rumah baru." Kayra tersenyum. "Aamiin, Mas. Aku selalu mendoakan mu agar kamu bisa lebih bersemangat lagi. Mas hati-hati ya, kalau ada apa-apa mas hubungi aku." "Memangnya kalo mas kenapa-kenapa kamu bakalan cepat dateng?" "Ya enggak. Tapi seenggaknya mas kabari aku kalo mas kenapa-kenapa," jawab Kayra. "Terus, kalo mas celaka, apa kamu cuma mau kabar doang? Gak mau dateng buat tolongin mas?" Kayra mencubit perut Daren hingga Daren memekik. Bisa-bisanya dia berkata sembarangan seperti itu. "Apa sih mas, aku mau kamu itu selamat dan dapet kerjaan, bukan malah celaka." "Hehe, iya sayang, mas cuma becanda kok. Ya udah, mas pergi ya!!" "Iya, hati-hati." *** Saat setelah sampai di Rumah Sakit, Daren langsung masuk dan mencari ruangan yang telah dikirim Imron semalam. Namun, saat tiba di koridor, ternyata Imron sudah ada di sana. Imron telah menyamakan foto Daren sewaktu kecil dengan Daren yang sudah berusia 30 tahun. Ada perbedaan. Tapi ia yakin jika pria itu yang ia cari. "Daren?" Imron memanggilnya dari arah belakang. Seketika Daren memutar badannya dan menoleh. Ia mengerutkan kening sebab tidak mengenali Imron. Pria bertubuh sedikit pendek dari Daren itu tersenyum. Rupanya Daren tumbuh sebagai pria sempurna dengan tinggi yang hampir sama dengan pamannya. "Saya Imron, mari saya antar Anda ke ruangan Bapak Yuridis." Daren tersenyum. "Ah, tentu. Terimakasih." "Anda tidak perlu berterimakasih sam saya, ini memang sudah tugas saya," kata Imron menyela. Tak menunggu lama, Imron pun membawa Daren ke ruangan Yuridis. Di sana Yuridis sedang duduk di atas kursi roda. Ia menunggu Daren hingga akhirnya ... "Permisi, Pak ..." Yuridis memutar kursi rodanya dan menatap ke arah Daren yang selama ini ia rindukan. "Daren, anakku ..." Begitu terkejutnya Daren. Paman yang dulu selalu bercanda dengannya kini berada di atas kursi roda. Ya, walaupun Daren masih berumur 10 tahun pada waktu itu, tapi ia sangat mengenali pamannya sebab dari dulu ia selalu dekat dengan Yuridis. Lantas, Daren berlari, memeluk sang paman yang ada di atas kursi roda itu dengan perasaan campur aduk. Antara senang berikut sedih. "Paman ... kenapa Paman bisa sampai seperti ini?" kata Daren sudah duduk di depan pamannya. "Yah ... namanya juga penyakit. Maklum, paman juga sudah tua, banyak penyakit yang menghampiri pamanmu ini, Nak. Bagaimana kabarmu? kau terlihat semakin tampan saja." Daren terkekeh. "Paman ini bisa saja. Sejak kapan Paman punya penyakit kanker?" kata Daren. "Kanker? Kata siapa pamanmu ini punya penyakit kanker?" Daren menoleh ke arah Imron. "Benar-benar kau ya!!" Yuridis melemparnya dengan sandal yang ia pakai. "Maaf Pak, saya melakukannya agar Daren cepat datang kemari," kata Imron. "Lalu, paman ini sakit apa? Kenapa ada di kursi roda?" tanya Daren lagi. "Kaki paman suka kesemutan, dokter kata asam urat paman kambuh lagi jadi, untuk sementara waktu paman harus menggunakan kursi roda menyebalkan ini." Daren terkekeh. Bisa-bisanya pamannya selalu bersikap seperti itu seolah Yuridis sedang menghiburnya. "Oya, sebenarnya paman ingin mengatakan suatu hal sama kamu Daren," sambung Yuridis. "Hal apa itu?" tanya Daren. "Paman ingin memberikan seluruh aset GAMA sama kamu. Bukankah kamu selama ini bekerja di bidang textile? Paman yakin kamu bisa mengelolanya dengan baik." Lantas, Yuridis meminta sertifikat kantor kepada Imron dan memberikannya kepada Daren. Setelah itu, Imron pun pamit untuk keluar dari ruangan itu. Baginya itu bukan sepenuhnya urusan Imron sebab itu masalah Yuridis dengan Daren. "Ini ... yang benar saja paman, bahkan aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan dan ... mengapa paman memberikannya padaku?" tanya Daren. Tangannya bergetar saat memegang sertifikat perusahaan itu. "Yang harus kau lakukan ialah, mengelola perusahaan itu dengan baik dan menjaganya dari keturunan Gabril." "Gabril? M-maksud paman, Paman Gabril?" tanya Daren. "Kenapa? Kenapa aku harus menjaga perusahaan ini dari keturunan Paman Gabril?" lanjut Daren. "Asal kau tau, Gabril itu bukan adik kandung paman ataupun ayahmu, tapi dia putra dari pria sebelum nenekmu menikah dengan kakekmu. Tidak ada ikatan darah dengannya." Daren mengerutkan kening. "Paman, apa paman bisa menceritakan semuanya tentang Paman Gabril? Lalu, sekarang Paman Gabril ada di mana?" "Tentu saja. Sejak kalian mengalami kecelakaan, saat itu paman mencari bukti dan ternyata Gabril lah pelakunya. Dia sengaja melakukannya agar bisa mendapatkan kembali semua yang sudah dimiliki oleh ayahmu. Sebenarnya perusahaan itu milik kakekmu, sejak menikah dengan nenek sihir itu, perusahaan anjlok hingga semua milik kakekmu hampir disita bank. Kakekmu meninggal juga karena masalah itu. Sejak itu, ayahmu Yoga, berusaha mengembangkan perusahaan GAMA kembali hingga tercium harum oleh Gabril." "Gabril ingin kembali menguasai semuanya dengan cara kriminal seperti apa yang dilakukannya terhadap ayah ibumu. Tak lama, setelah paman mendapatkan semua bukti, saat itu juga Gabril berusaha kabur dan polisi berhasil menangkapnya dengan cara menembaknya. Namun, saat itu juga nyawa Gabril tidak tertolong. Mungkin itu karma untuknya," sambung Yuridis. "Sekarang, bahkan paman tidak tahu siapa saja keturunan Gabril karena sejak itu istrinya membawa kabur ketiga putranya yang masih kecil. Paman ingin kamu mencari siapa saja anak itu, paman takut mereka ada di sekitar kita dan kembali ingin menguasai apa yang seharusnya menjadi keluarga kita. Penjahat tetaplah akan menjadi penjahat. Paman hanya ingin melindungi harta satu-satunya keluarga kita." Daren mengangguk mengerti. "Paman percaya jika kamu bisa melakukannya. Paman tidak yakin dengan diri paman sebab paman tidak bisa mencari tahu semuanya. Umur paman sudah tidak muda lagi, bahkan mungkin sebentar lagi paman akan dikubur bersama ayah ibumu di sana." Daren berdecak. "Paman ini bicara apa? Apapun akan aku lakukan demi menjaga harta keluarga kita. Tapi aku tidak suka paman berkata seperti itu. Paman harus sehat dan kembali seperti biasanya." Yuridis terkekeh. "Umur siapa yang tahu, Nak. Entah itu besok, lusa, atau sekarang pun kalau sudah waktunya paman bisa apa?" Daren bangkit dan langsung memeluk pamannya. "Paman harus tetap bersamaku. Aku ingin paman bertahan untukku. Tolong jangan bicara seperti itu lagi." Yuridis mengangguk pelan. "Hmm, baiklah. Tapi kau jangan mengatakan semua ini sama istrimu atau yang lainnya. Tolong rahasiakan semua ini dari mereka. Semakin sedikit orang yang mengetahuinya maka semakin mudah kau melakukannya. Paman hanya ingin kamu menjadi Daren sesungguhnya dan dapat dicintai oleh wanita yang benar-benar mencintaimu dengan tulus dan tidak memandangnya dari harta. Ingatlah perkataan pamanmu ini." "Hmm, tentu." *** Setelah mengunjungi sang paman, kini Daren sudah pulang ke rumah dan menemui sang istri. "Jam segini baru pulang, niat cari kerja atau cuma main doang?" ucapan ibu mertuanya memanglah sangat pedas. Tapi Daren menanggapinya dengan senyuman. "Ih malah senyum-senyum, dasar menantu tak berguna. Gimana? Udah dapet pekerjaan belum? Atau memang benar ya kamu ini cuma main-main doang?" "Tidak, bu, aku ..." "Daren, ayah sudah tanyakan sama atasan ayah, katanya perusahaan lagi butuh pekerja buat angkut barang. Gimana? Apa kamu mau?" kata Darma menyela. "Angkut barang?" Daren membeo. "Alah, palingan ngangkat barang satu udah pingsan," ejek Elisa lagi. Tapi Darma maupun Daren tidan menanggapinya. "Iya, akut golongan kain yang sudah dikirim dari luar kota. Kamu bakal ikut pekerja lain dan setahu ayah perusahaan Garmen hanya mengambil barang dari perusahaan GAMA, textile terbesar di kota Bandung. Jadi, nantinya kamu angkat kain dari Bandung ke Jakarta dan angkat lagi ke pabrik Garmen nya. Kalo kamu mau, besok kamu ikut sama ayah buat interview." Daren terlihat bersemangat. Mendengar kata GAMA, dirinya yakin akan menemukan orang-orang itu dengan mudah. Lagipula sekarang GAMA adalah perusahaan yang ia pegang dan mendapat kepercayaan dari pamannya sendiri. "Iya Yah, aku mau." "Haha, kamu? Bekerja sebagai angkut barang? Memangnya tenagamu kuat? Yang benar saja!!" Elisa berkata sambil berjalan melenggang pergi dari hadapan Daren. Daren hanya berkata dalam hati. 'Sabar, itu mertuamu sendiri, Daren. Bagaimanapun kau harus menghormatinya'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD