Hari masih terlalu pagi dan dingin untuk kembali beraktivitas. Situasi genting menuntut seorang tuan muda yang kini berstatus sebagai CEO di sebuah perusahaan untuk kembali mendatangi pertemuan rahasia. Dia mengingat kembali perjalanan panjangnya untuk sampai pada posisi ini. Masa lalu yang sangat tidak adil membuat jiwa itu memberontak. Masih teringat jelas dalam benaknya, betapa sadis kematian ayahnya. Peristiwa itu yang membawanya untuk menjadi bagian dari kumpulan ini.
"Mr. Alessandro, silahkan," ujar seseorang dengan jas hitamnya.
Dengan langkah tegap dan sorot siaga, dia memasuki ruangan gelap itu. Hanya ada cahaya pada ujung ruangan, sedangkan lorong-lorong itu dibiarkan gelap. Langkahnya terhenti ketika sebuah kursi berputar menghadap ke arahnya.
"Apa kabar Tuan Alessandro?" Suara yang sangat dia kenal itu membuatnya menunduk patuh. Seolah yang diucapkan barusan adalah sebuah sindiran keras.
"Maaf terlambat Tuan," ucapnya.
"Owner terbesar dari perusahaan itu akan segera menjual sahamnya, aku tidak ingin berurusan dengan orang lain. Penasihat itu yang membuatnya mengeluarkan keputusan penjualan saham. Tentu kau tahu apa yang akan dilakukannya. Aku akan mengirim seseorang untuk membantumu mengurus semuanya."
"Baik, Tuan."
"Tugasmu adalah menurutinya. Jangan lewatkan satu perintah pun."
Ruzein Alessandro, CEO itu, masih bungkam dalam tegapnya. Dia menahan suaranya setelah mendengar perintah itu.
"Tidakkah kau menolak?"
Tatapannya lurus pada siluet tajam itu. "Akan ku usahakan tidak terjadi pertumpahan darah. Bagaimanapun juga, aku seorang pengusaha, bukan pembunuh."
Pria di depannya itu tersenyum getir, lalu bangkit dari singgahnya. Detik berikutnya dia menepuk bahu Mr. Alessandro, tegas, membuat pemilik bahu itu hampir kehilangan keseimbangan.
"Baiklah, Alessandro, namamu memang cocok untuk pelindung manusia. Semoga berhasil. Jangan lupakan konsekuensi jika kau gagal," pungkasnya.
Suara ketukan sepatu pada lantai terdengar menjauh. Pria itu sudah melangkah keluar lebih dulu, meninggalkan Mr. Alessandro yang baru saja dia bebani tugas. Bagaimana tuan muda itu akan melewati ini sekali lagi.
***
Sudah hampir gelap. Mr. Alessandro baru saja menginjakkan kaki di rumahnya. Didapatinya seorang wanita paruh baya sedang membuatkan minuman untuknya. Pria itu mendekat ke arahnya sebelum akhirnya mencium tangannya.
"Tidak usah repot-repot, Mi. Zein bisa buat sendiri," ucapnya setelah menerima minuman itu.
"Tak apa, Nak. Mami mu ini tidak ada kerjaan lain selain membuatkan air untukmu."
Seperti biasa, Zein hanya melempar senyum padanya, lalu meneguk minumannya. Tidak ada yang lebih menenangkan dari air buatan mami, pikirnya.
"Bagaimana pekerjaanmu?" Maminya itu menatap wajah putra semata wayangnya lekat-lekat. Ia hendak meminta sebuah hajat padanya. Sudah lama sekali wanita itu menunggu.
"Baik," jawabnya, seperti biasa. Zein tak pernah membiarkan maminya itu mengetahui perjalanan hidupnya sejauh ini.
"Bagaimana dengan pernikahan?" tanya maminya, kali ini dengan sorot sendu, seolah memohon padanya.
Hal ini yang selalu membuat Zein mengeraskan hatinya. Bukannya dia tak ingin menuruti keinginan maminya. Hanya saja dia tidak menyukai wanita-wanita itu, entah sampai kapan.
Arumi meraih bahu putranya. Untuk kesekian kalinya, dia mencoba melunakkan hati itu. "Zein, mami bantu, ya. Mungkin mami bisa mencari seseorang yang pas untukmu."
Zein menghela napasnya. "Zein pikirkan nanti, Mi. Sekarang Mami istirahat saja, besok Zein kirimkan seseorang untuk menemani Mami di rumah."
Zein melangkahkan kakinya setelah mengelus lembut lengan maminya. Dia bergegas membersihkan badannya. Percikan air shower terdengar mendominasi. Zein membiarkan wajahnya tersapu oleh butiran air itu. Pikirannya masih kalut, bahkan setelah selesai mandi.
Pria itu membaringkan tubuh di ranjang berukuran king size miliknya. Warna gelap mendominasi ruang kamar itu. Hanya lampu dengan sinar temaram yang membuat warna gelap itu sedikit bercahaya. Zein meraih lampu itu lantas mematikannya, dia lebih suka tinggal dalam ruangan tanpa cahaya sedikit pun.
***
Pagi itu, seorang gadis cantik dengan hijabnya baru saja selesai menaruh barang di depan sebuah toko kelontong. Dia menegakkan tubuhnya setelah menyusun barang-barang di rak, juga mengaitkan rentangan jajanan di tali yang menggantung. Hal ini dia lakukan setiap pagi.
"Sudah Lia tidak apa, biar bude aja. Kamu berangkat kuliah sana, nanti terlambat," ucap seorang wanita paruh baya, yang melihat gadis itu menyusun barang-barang dengan sangat antusias.
"Lia aja Bude. Lagian, Lia masuk kampusnya jam 8, kok," sahut gadis itu setelah menggantungkan beberapa snack di sisi toko.
Budenya itu tersenyum. Dilihatnya gadis yang kini berstatus yatim piatu itu. Terkadang dia kasihan melihat Azalia harus bekerja. Namun dia pun tak bisa menghentikan gadis yang memiliki semangat seperti itu.
Harusnya sekarang Azalia berada di kediaman orang tuanya dahulu. Namun, entah apa yang terjadi, gadis itu justru kehilangan semua harta warisan. Padahal ayahnya seorang pengusaha yang sukses, tapi kesuksesan itu ikut berakhir saat dirinya berakhir. Tidak ada yang tahu, apa yang sebenarnya terjadi pada ayahnya, bahkan Azalia sendiri.
Namun dari rumor yang beredar, ayahnya itu tersandung kasus korupsi dan peredaran narkoba, kemudian ia mengakhiri hidup dengan sangat tragis. Hal itu tentu membuat keluarga besar sangat tertampar. Ibunya sampai terserang penyakit jantung mendengar kabar yang sangat menyayat, membuatnya pun ikut pergi setelah seminggu sang ayah pergi. Azalia sungguh sangat terpuruk. Kasus korupsi yang dilakukan ayahnya membuat ibunya tak bisa bertahan lama. Ibunya tak pernah tahu kalau selama ini suaminya korupsi. Setelah hari-hari buruk itu, seluruh harta habis, tak tahu ke mana perginya.
Azalia pun tak mengerti, seluruh keluarga terpandang tak ada yang ingin mengambilnya untuk merawatnya. Usianya masih SMA waktu itu, tentunya sangat berat baginya menerima kenyataan yang terjadi. Teman-temannya di sekolah seketika hilang, tak ada lagi yang ingin membantunya, kehidupannya berubah drastis. Bahkan keluarga dari ayahnya pun sama saja, bukannya menolong dalam segi mental, mereka malah tambah mengoloki.
Hal itu yang membuat Bude Elin menariknya dari sana. Dia tak tega melihat Azalia diperlakukan seperti itu. Keluarga dari ayahnya itu memang sungguh tak memiliki perasaan. Hingga akhirnya sampai sekarang Azalia tinggal bersama kakak dari ibunya, Bude Elin. Meski budenya itu bukan keluarga terpandang, Azalia bersyukur karena masih diberi tempat di sini. Bude Elin sangat baik, persis seperti ibunya.
Pasar tradisional itu tampak ramai dengan pengunjung. Ini pertama kalinya Arumi belanja di sini. Bersama pembantu rumah tangga dan sopir pribadi miliknya, Arumi mengelilingi pasar, mencari bahan-bahan yang sebelumnya selalu dia temukan di supermarket.
Arumi sendiri yang meminta untuk diantar ke pasar tradisional. Dia ingin mencari suasana lain. Mungkin saja di sini dia mendapatkan sesuatu yang tidak biasa.
"Biar saya bantu, Nya," ucap Bi Nani, meraih kantung kresek yang baru saja diterima Arumi.
"Terima kasih, Bi."
Mereka kembali berjalan setelah mendapatkan beberapa sayuran segar. Lalu, pemandangan yang sebelumnya tak pernah Arumi lihat di supermarket, kini menarik perhatiannya.
"Tolong, Pak, beri saya waktu satu minggu lagi. Saya janji akan melunasi biaya kontrakannya."
"Saya sudah kasih waktu dua minggu, kamu masih nyuruh saya kasih waktu lagi!" protes seorang pria.
"Tolong, Pak, kasihan bude saya."
"Diam kamu, gak usah ikut campur kalau tidak bisa bayar!"
Azalia menahan dirinya untuk tidak marah. Namun, kondisi itu membuatnya menyanggupi untuk membayar dalam waktu dekat.
"Saya akan bantu bude saya bayar biayanya, tolong kasih kami waktu tiga hari saja. Bapak bisa usir kami dari sini kalau kami tidak bayar dalam tiga hari."
"Aah! Omong kosong! Saya akan usir kalian hari ini juga!" ucapnya final.
Orang-orang suruhan itu mulai mengeluarkan barang-barang dari warung Bude Elin. Mereka tak peduli walau Bude Elin dan Azalia memohon dengan tersedu-sedu. Salah satu orang suruhan itu mendorong asal saat Azalia mencoba mempertahankan barang-barang yang mereka lempari dengan brutal. Membuat Azalia terdorong dan tidak sengaja menyenggol seorang ibu di belakangnya.
"Astaghfirullah," reflek Azalia dan langsung memutar tubuhnya.
Dilihatnya seorang ibu dengan baju yang sangat rapi dengan seorang pengawal dan pembantu di sampingnya. Azalia segera meminta maaf atas ketidaksengajaannya.
"Ma-maaf, Nyonya, saya tidak sengaja," ucap Azalia. Tentu dia tidak ingin masalah lain terjadi.
"Tidak apa-apa, Nak," balas Arumi dengan segelintir senyum. Lalu dia berkata pada orang-orang yang sedang memporak-porandakan toko kelontong itu, "Tolong berhenti!" titahnya.
Pria-pria itu sempat berhenti. Lalu pemilik asli toko kelontong itu berhadapan langsung dengan Arumi. Sedangkan Azalia dan Bude Elin sudah saling merangkul, ketakutan.
"Saya beli toko ini. Berapa harganya?" ujar Arumi.
Pemilik toko itu tersenyum getir. "Ibu anggota keluarga dari ibu ini? Kenapa tidak nongol dari dulu. Buat saya rugi saja."
"Berapa harganya?" ulang Arumi.
"125 juta."
Arumi mencari HP di tas tangannya. Dia mengutak-atik HP-nya sebelum meminta pemilik toko itu memasukkan nomor rekeningnya.
"Masukkan nomor rekening Anda," ucap Arumi, membiarkan pria itu mengetik beberapa angka pada layar HP-nya.
Pemilik toko itu menekan angka-angka yang ada di sana sesuai dengan nomor rekeningnya. Hingga akhirnya transaksi selesai, dan bukti p********n pun telah muncul. Begitupun dengan uangnya, pemberitahuan juga sudah masuk ke HP milik pria itu. Kini toko itu sudah resmi bukan miliknya. Orang-orang itu pergi meninggalkan toko setelah menyimpan sumpah serapah dalam hatinya.
"Terimakasih banyak, Nyonya, saya sangat berhutang budi pada Anda. Segera akan saya lunasi semuanya," ucap Bude Elin.
"Tidak apa-apa, Bu. Saya senang bisa membantu kalian. Tidak usah dipikirkan tentang biayanya. Lagipula, saya senang melihat anak Ibu," ucap Arumi.
Azalia yang merasa terpanggil pun mengulum senyum saat wanita itu menatap ke arahnya. Dia lantas menyalami tangan wanita itu. "Azalia, Nyonya," ucapnya kemudian.
"Panggil saja Ibu," balas Arumi.
"Baik, makasih, Bu…," ucap Azalia.
"Masya Allah, sekali lagi terima kasih banyak, Bu. Kami sungguh berhutang pada Ibu," kata Bude Elin sekali lagi.
Arumi melempar senyum lantas menyodorkan HP-nya. "Boleh saya minta kontaknya, Bu? Saya benar-benar punya hajat pada putri Ibu, semoga saja putri Ibu pun bersedia jika saya kenalkan dengan putra saya."
Azalia sungguh terkejut mendengarnya, begitupun Bude Elin. Rezeki apa yang sedang menimpa mereka hari ini. Benar-benar tak disangka, mungkinkah Allah telah menjawab doa-doa mereka. Yang Azalia lakukan selama ini tentunya, berdoa, berikhtiar, dan berharap, untuk hadiah yang datangnya tak disangka-sangka, yang selalu dia tunggu dengan penuh kesabaran, hingga saat ini. Sungguh indah rencana ini, Ya Allah… pikir Azalia.
Namun dia tidak tahu, seberapa terjalnya perjalanan hidup yang akan dia hadapi selanjutnya. Semoga saja Azalia selamat.