Bagian 2

1474 Words
Setelah Maharani pergi, Agung memutuskan untuk membawa Naira ke rumah orang tuanya di Desa Raja. Sebuah rumah berarsitektur Melayu, terdiri atas dua tingkat. Tingkat pertama sebagai tempat tinggal keluarga. Tingkat kedua digunakan sebagai kos-kosan. Agung tidak bisa merawat bayi surga itu sendirian. Ia pun memilih menetap di sana untuk sementara waktu, entah sampai kapan. Dia ingin selalu dekat dengan bidadari mungilnya itu. Di samping untuk menepis sepi yang tercipta dari serpihan-serpihan luka atas apa yang dilakukan istrinya. Tak pernah ia duga Maharani akan pergi meninggalkannya dan buah hati mereka. Kebahagiaan itu baru saja kemarin ia kecap. Bagai benih yang baru bersemi dan tumbuh melahirkan hijau dedaun di antara ruas, kemudian kelopak merekah bersama indahnya bunga. Namun, tiba-tiba saja semua layu dan terbang terseret embusan bayu. Pagi itu, ketika surya memancar pertanda hari segera dimulai, Agung menyapa putri kecilnya. Naira tertidur pulas di boks bayi di ruang tengah yang terletak tidak jauh dari dapur. Nurmala sengaja membawanya keluar dari kamar agar mudah diawasi ketika ia sedang menyiapkan sarapan dan melakukan pekerjaan lainnya. Meskipun sebenarnya Naira tidak pernah mengganggu aktivitasnya. Naira sangat jarang menangis dan lebih banyak tidur, mungkin bayi itu tidur 23 jam per-hari. Begitulah anak down syndrome, selalu banyak tidur pada bulan-bulan awal kelahirannya. Oleh karena itu sering disebut si putri tidur. Agung menatap lembut wajah mungil Naira. Hatinya buncah. Gemas! Hasratnya seakan ingin mencium seluruh bagian wajah itu, bahkan rasanya ingin digigitnya bidadarinya itu. Kasih sayang itu begitu besar, tak peduli apapun rupa anak itu. Tak peduli mau bagaimana masa depan anak itu. Ini adalah anaknya, mengapa harus mendengar kata orang tentang anak ini? Cukuplah ia bahagia dengan apa yang ada pada anaknya, mengapa harus menuntut hal yang lain? Baginya Naira adalah bidadari mungil bak pagi berselimut embun. Begitu bening, begitu murni. Dia laksana sang rawi yang berkilau penuh cahaya, selalu menerangi hari, menjanjikan kehidupan penuh warna. Meskipun ia tahu, warna itu tak selalu cerah, sering pula begitu suram. Namun, suram pun adalah warna yang melengkapi corak. Ketika suram dan cerah berpadu, acap kali menjadikan sesuatu lebih indah dan bermakna. Naira adalah bidadari mungil yang kebetulan terlahir berbeda. Ciri fisiknya menyebabkan ia dinyatakan suspect down syndrome. Hal ini membuat wanita yang telah melahirkannya, tega pergi meninggalkannya. Namun, meskipun demikian Naira bukanlah anak yang malang. Dia anak yang beruntung. Orang-orang menyebutnya anak surga. Anak yang sejak lahir, nikmat duniawinya telah dicabut sehingga Insya Allah memudahkan langkahnya meraih jannah-Nya. Bahkan nikmat kasih sayang sang ibu pun tak ia peroleh. Kondisi down syndrome pun menyebabkan organ-organ tubuhnya kurang sempurna. Anak yang terlahir down syndrome berpotensi memiliki penyakit bawaan. Daya tahan tubuh mereka pun lemah sehingga mudah terserang penyakit. Kondisi yang mungkin saja menyebabkan ia menghabiskan hari-harinya di rumah sakit. Tak cukup sampai di situ, segala kekurangannya kerap kali membuat ia dihina, dipandang sebelah mata. Anak down syndrome memiliki intelegensi yang rendah sehingga selalu dipertanyakan masa depannya. Dia juga anak yang sering di sebut sebagai hukuman atas dosa-dosa kedua orangtuanya. Memangnya kenapa? Itu adalah hukuman yang indah. Jauh lebih indah jika dibandingkan dosa itu harus dibayar dengan panasnya api neraka saat di akhirat kelak. Naira, tak seharusnya ia ditolak hanya karena Allah menambahkan satu saja kromosom untuknya. Suatu materi di dalam sel yang berfungsi sebagai pembawa sifat atau pesan genetik, yang membedakan kekhasan satu manusia dengan manusia lainnya. Ketika Allah memberi manusia lain 46 kromosom, Naira mempunyai 47 kromosom. Kelebihan satu pada kromosom ke 21. Agung mengangkat bayinya dari boks dan membawanya duduk di kursi yang terdapat di ruang keluarga. Sambil tak henti dia mencium dan sesekali mengajaknya bicara. "Hai ... anak Ayah kok belum bangun? Ayo dong, sudah siang ini." Bayi itu menggeliat sebentar namun kembali melanjutkan tidur. "Nanti Ayah pulang kerja, Naira minta dibawakan apa, hayoo," ucapnya lagi. Kembali tubuh itu menggeliat tapi tetap terpejam. Agung terkekeh mendapati reaksi putrinya. Dijawilnya pelan bibir kecil Naira, bibir yang kadang-kadang terbuka dengan lidah terjulur. Kemudian bibir mungil itu kembali diciumnya gemas. Kembali seakan ingin digigitnya. Bau mulut bayinya itu selalu dirindunya, yang membuatnya ingin segera pulang setelah jam kerja berakhir. Betapa menggemaskan bayi itu. Kehadirannya benar-benar melengkapi jiwa Agung yang kebapakan. Yang penuh kasih sayang kepada setiap anak-anak. Dari arah dapur, Nurmala membawa nampan berisi tiga cangkir kopi panas dan secangkir teh. Tiga cangkir kopi untuk Fauzan—suaminya, Agung, dan Rendra—adik Agung. Secangkir teh untuk dirinya sendiri. Sepiring pisang goreng melengkapi minuman itu. Nurmala segera mengambil Naira dari Agung dan membiarkan lelaki itu menikmati sarapannya. "Sarapan dulu, Nak," ucapnya seraya meraih Naira dari tangan Agung dan membaringkannya kembali ke dalam boks. Sekeluarga mereka sarapan, sama seperti dulu ketika Agung belum menikah. “Agung,” ucap Nurmala membuka pembicaraan, kemudian terjeda karena ia menyeruput teh hangatnya. “Ya, Bu?” Agung menatap takzim kepada perempuan paruh baya itu. “Apa rencanamu selanjutnya?” Agung kembali menatap Nurmala, tapi sekarang dengan kening berkerut. Bingung dengan pertanyaan ibunya. “Rencana?” Nurmala mengangguk. “Rencana untuk apa?” Agung belum paham arah pertanyaan Ibunya. "Kemarin, Ibu membawa Naira ke klinik." Nurmala melanjutkan pembicaraan. "Ibu bertemu dokter Bahtiar Alam dan bicara banyak tentang Naira." Nurmala menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas. "Kata Dokter Bahtiar, anak dengan kondisi seperti Naira nanti akan mengalami ...." Nurmala seperti mengingat-ingat, "GDD atau Global Development Delay," lanjutnya setelah beberapa. "Jadi nanti Naira akan terlambat tumbuh kembangnya. Terlambat tengkurp. Terlambat duduk, berjalan, bicara, dan lain-lain. Jadi harus terapi untuk membantu keterlambatannya itu." Nurmala menjeda kembali ceritanya. Ia menyeruput teh hangatnya kembali dan mengunyah sepotong pisang goreng. Sementara Agung dan Fauzan serius mendengarkan. Sedangkan Rendra, adik Agung itu sibuk sendiri, tidak paham dengan apa yang dibicarakan keluarganya. "Di samping itu, Naira juga harus cek up kesehatan karena rentan mengalami kelainan bawaan. Misalnya kelainan jantung. Jadi, merawat Naira itu perlu waktu dan tenaga yang ekstra. Sedangkan Ibu sudah tua dan kamu juga tahu Bapakmu akhir-akhir ini sering sakit akibat diabetesnya. Rendra juga semakin sering kejang." Agung menundukkan kepalanya "Apa perlu baby sitter, Bu?" tanyanya. "Baby sitter merawat bayi karena pekerjaan. Sedikit dari mereka yang melakukannya tulus dari hati. Lagi pula, Naira memerlukaan orang yang mengerti dirinya, menyanyangi dirinya dengan tulus, tidak hanya setahun dua tahun. Tapi dalam waktu yang lama. Bahkan ketika usia biologisnya beranjak dewasa. Seorang baby sitter tentu tidak bisa diharapkan begitu." "Jadi?" Agung mengernyitkan keningnya, tidak mengerti. "Naira membutuhkan ... seorang ... ibu." Nurmala mengucapkan kalimat itu pelan dan hati-hati. Khawatir melukai anaknya itu. Agung menghela napas panjang kemudian menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. "Ibu kan tau, Maharani tidak mau menerima Naira," lirihnya. "Bukan dia. Dia bukan seorang ibu. Seorang ibu, bahkan ibu singa pun akan menyayangi anaknya bagaimanapun kondisinya. Tidak akan mencelakai." "Lalu?" "Menikahlah lagi, demi Naira," ucap Nurmala pelan namun tegas dan semua itu sukses membuat Agung kaget. Ditatapnya perempuan yang telah melahirkannya ke dunia itu. Dia tidak percaya tentang apa yang disampaikan Ibunya. Sebuah ide yang menurutnya adalah ide gila. "Perempuan mana yang mau menerima Naira, Bu. Sedangkan Ibunya saja membuangnya," ucapnya lirih. Penuh luka. "Ada!" ucap Nurmala tegas. "Siapa?" "kamu ingat Rumaisha? Gadis yang menyelamatkan Naira waktu itu?” Agung mengangguk. “Gadis itu, sepulang mengajar sering kemari, menggendong Naira, membantu Ibu memberinya s**u. Dia telaten sekali, padahal kamu kan tahu Naira minum susunya lama.” “Tapi itu bukan berarti dia mau menikah dengan Agung, Bu.” “Biar Bapak yang menanyainya kelak, Gung.” Kali ini Fauzan yang sejak tadi menyimak angkat bicara. “Dia anak baik. Sudah hampir dua tahun dia kos di sini. Orangnya ramah, lemah lembut.” Lanjut Fauzan. “Bapak kan tahu, saya seorang PNS. Tidak bisa berpoligami.” “Poligami? Apa kamu akan tetap mempertahankan Maharani setelah apa yang dia lakukan?” Nurmala bertanya dengan nada sinis. “Maharani hanya butuh waktu untuk menenangkan diri, Bu. Dia hanya syok. Kelak pelan-pelan saya yakin dia akan kembali.” “Sayangnya Naira tidak punya waktu untuk menunggu. Kamu harus ingat itu,” timpal Nurmala cepat, “Itu Kalau kamu peduli kehidupan putrimu!” Lanjut Nurmala semakin sinis. “Lagi pula, Ibu takut untuk melepas Naira bersama Maharani setelah apa yang terjadi kemarin.” Kembali perempuan paruh baya itu melanjutkan kata-katanya. Agung menunduk. Hatinya membenarkan ucapan Nurmala. “Jika pun saya menceraikan Maharani, itu membutuhkan waktu yang cukup lama, Bu. Saya harus meminta ijin kepada pihak berwenang dalam hal ini. Tidak seperti karyawan swasta yang bisa mengajukan cerai kapan saja.” “Sambil menunggu semua itu, pernikahanmu dapat dilangsungkan diam-diam. Tidak perlu mengundang banyak orang. Cukup akad nikah dan mengundang kerabat dekat.“ Nurmala kekeuh meyakinkan putranya. “Rumaisha itu, Ayahnya meninggal ketika dia masih kuliah. Dan Ibunya meninggal akhir tahun lalu. Jadi dia yatim piatu. Karena itu barangkali tidak sulit jika kita meminta pernikahan dilangsungkan siri dan kecil-kecilan.” “Beri saya waktu untuk berpikir, Bu.” “Sayangnya bukan Ibu yang berhak memberimu waktu, tapi Naira. Karena itu pikirkan apa dia punya banyak waktu untuk dia berikan padamu dengan kondisinya seperti itu?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD