Bagian 3. Penolakan Keluarga Maharani

1280 Words
"Tolong mengerti saya, Bu. Bagaimana pun saya butuh waktu. Pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Saya tidak ingin gegabah dan salah dalam melangkah. Saya tidak ingin menjadikannya permainan atau memainkan perasaan perempuan itu hanya untuk kepentingan pribadi," kilah Agung. "Rumaisha gadis yang cantik, Agung. Kamu pasti akan menyukainya dalam waktu cepat." Laki-laki 27 tahun itu menganjur napas berat. Mendebat sang Ibu bukanlah pilihan bijak. Ibunya selalu punya seribu jawaban untuk menangkis alasan yang ia berikan. Apalagi saat ini kondisinya memang tersudut. Kondisi Naira darurat untuk diperhatikan, sementara Maharani memilih pergi. "Saya akan memberikan jawaban secepatnya, Bu," ucap Agung pelan. Kemudian ia beranjak, mengakhiri sarapannya, lalu pamit untuk berangkat bekerja. "Huft ...." Sesampai di mobil, kembali Agung menganjur nafas berat. Ia mengusak rambut kasar. Pikirannya kacau. Menikah lagi dalam waktu secepat ini benar-benar sebuah ide gila. Bagaimana mungkin dia memikirkan pernikahan, sementara rumah tangganya dengan Maharani belumlah benar-benar berakhir. Kepergian Maharani dari rumah pun baru hitungan hari. "Hahh!" Laki-laki itu memukul stir frustrasi. Bagaimana pun, ia belum bisa melupakan Maharani begitu saja. Jauh dilubuk hatinya, masih ada harapan wanita itu akan kembali dan menyadari kekeliruannya. Agung masih bermimpi jika Maharani akan kembali padanya, memeluk putri mereka penuh kasih, kemudian berjanji akan menata hati untuk berdamai dengan takdir. Agung memiliki keyakinan bahwa seorang ibu pasti akan menyayangi anaknya meskipun sedikit. Begitu pun Maharani. Agung memang terluka atas sikap dan ucapan istrinya itu. Akan tetapi, untuk menghapus nama wanita yang telah lama mengisi hatinya itu, tidaklah mudah. Nama Maharani masih menempati tempat terindah di relung hatinya. Lagi pula, siapa yang bisa menjamin bahwa menikah lagi adalah jalan terbaik? Agung tidak habis pikir, bagaimana bisa kedua orang tuanya seolah menjadikan pernikahan sebagai sebuah taruhan? Apakah mereka bisa memastikan bahwa wanita yang akan dia nikahi itu benar-benar tulus menyayangi putrinya? Bagaimana jika sebaliknya? Banyak di luar sana, seorang anak justru menjadi korban atas pernikahan kedua Ayah mereka. Alih-alih mendapat perhatian dan kasih sayang, mereka justru diperlakukan dengan kasar. Padahal mereka terlahir sempurna, dapat melakukan segalanya secara mandiri. Sementara Naira? Gadis mungil itu terlahir berbeda. Ia memerlukan perhatian yang begitu besar, memerlukan bantuan yang begitu banyak dalam menjalani hidupnya. Naira adalah anak yang ketika besar nanti, perilakunya sering dianggap memalukan. i***t begitulah anggapan orang-orang. Bagaimana jika dalam pernikahan keduanya nanti, bukan perhatian dan kasih sayang yang akan diperoleh Naira, melainkan kekerasan dan perlakuan buruk. Ibu kandungnya saja tidak mau menerima kondisinya, apalagi perempuan lain yang tidak terikat hubungan darah. *** Sore. Ketika lelah mendekap raga karena seharian bekerja, Agung belum memutuskan untuk pulang ke rumah. Ia mengarahkan mobilnya menuju sebuah kompleks perumahan di daerah Maniamas. Kompleks yang terdiri dari rumah-rumah yang cukup mewah di kota Ngabang. Rumah kedua orangtua Maharani menjadi tujuannya. Dia harus berbicara dengan wanita yang masih berstatus istrinya itu, mengajaknya pulang, membujuknya untuk menerima buah hati mereka, lalu membangun kembali bahtera rumah tangga yang dulu mereka impikan. Mobilnya terus meluncur, meninggalkan kantor pemerintahan daerah tempat ia bekerja, menyusuri jalanan kota kecil itu dengan perlahan, kemudian berbelok masuk kompleks Maniamas. Sebuah rumah satu tingkat, tetapi cukup luas, berornamen klasik, dengan halaman yang juga cukup luas. Mobil Agung memasuki pekarangan rumah itu. Rumah yang teduh dengan dua pohon mangga pada halaman depan. Pot-pot bunga berjejer rapi menambah keasrian suasana. Di teras rumah yang cukup mewah itu, Maharani tampak duduk termenung. Wanita itu memandang kosong jauh ke depan. Namun, kenyataan benaknya tidaklah kosong. Pikirannya melukis wajah Naira, juga Agung. Beberapa kali ia mengerjap untuk membersihkan pandangan yang kadang-kadang menjadi buram oleh air mata. Sungguh, sebenarnya ada setitik cinta dari dalam hatinya untuk putrinya itu. Ia ingin memeluk gadis kecil yang ia lahirkan dan menyusuinya. Akan tetapi, sisi lain dari dirinya melarang, berkata bahwa Naira adalah aib yang akan membuatnya malu. Antara rasa kasih sayang dan penolakan akan kondisi Naira bergejolak dalam jiwanya. Terlebih, keluarga besarnya, kedua orang tuanya selalu berkata bahwa mereka malu dan tidak sudi memiliki cucu i***t. Tidak ada yang menguatkan hatinya kecuali Agung, suaminya. Namun, entah mengapa penguatan dari suaminya saja tidak cukup baginya. Hatinya goyah ketika keluarga besarnya selalu mencemooh Naira, mengatakan bahwa anak itu tidak bisa diharapkan, tidak memiliki masa depan, hanya akan menyusahkan, dan memberi malu keluarga. Setelah memarkirkan mobil pada tempat yang pas, Agung turun dari mobilnya. Matanya menangkap Maharani yang duduk sendiri. Penampilan sudah lebih baik. Meskipun polesan make up tidak tebal, tetapi cukup mencerahkan wajahnya. Cantik. Agung berdesir rindu menatap istrinya. "Sayang," sapa Agung. Tidak ada jawaban. Laki-laki itu menghela napas lelah. Perlahan ia melangkah dan langsung duduk di kursi sebelah Maharani. Diam. Hening. Cukup lama keduanya membisu dalam pikiran masing-masing. Maharani masih bergeming dengan kehadirannya. Wanita itu seolah tidak berniat berbasa basi sedikit pun untuk menanyakan kabarnya. Apa lagi untuk meminta maaf karena telah pergi dari rumah. Akhirnya Agung mengalah dan membuka suara. "Sayang, aku datang untuk menjemputmu. Pulanglah. Naira butuh Ibunya, ucap laki-laki itu pelan. Ia menjeda kalimatnya beberapa saat. "Aku juga," lanjutnya dengan penuh pengharapan bahwa istrinya itu akan luluh dan ikut pulang bersamanya. Maharani menunduk. Bulir-bulir bening menetes dari kedua sudut matanya, jatuh mengenai kedua punggung tangannya. Jujur ia ingin pulang bersama laki-laki yang sangat dicintainya itu, tetapi ucapan-ucapan keluarganya begitu jelas terngiang ditelinganya, mempengaruhi pikirannya. "Pulanglah, Maharani," ucap Agung lagi. Tangan kekarnya meraih jemari halus wanita itu, menggenggamnya erat, menyampaikan berjuta cinta yang ia punya. Maharani memejam, "Aku akan kembali padamu, Mas. Tapi tanpa Naira. Aku enggak sanggup menerima kehadirannya," isaknya pilu. Hatinya perih akan takdir yang tidak bisa ia terima. Jiwanya masih terpukul. Isak yang keluar dari bibirnya itu pun mencipta perih bagi Agung. Hatinya kecewa, ternyata Maharani masih belum bisa menerima bidadari mungil mereka. "Tidak mungkin tanpa Naira, Maharani. Dia anak kita," ucap Agung sedikit tinggi. "Biarkan Ibu saja yang mengurusnya, bisa kan?" sahut Maharani cepat. Manik matanya menatap Agung penuh harap. Namun, Agung menggeleng. "Pelan-pelan kamu akan bisa menerimanya, Sayang. Aku yakin. Tapi kamu harus memulainya dengan mau membuka hatimu," ucap Agung pelan. "Naira butuh kamu, Sayang. Dia butuh kehadiran seorang Ibu yang memperhatikan dan menyayanginya untuk mendukung tumbuh kembangnya. Dia butuh dukungan penuh dari orang-orang sekitarnya. Terlebih dari kamu, ibunya.” "Tapi aku enggak bisa!" teriak Maharani histeris. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Isaknya kian menjadi, "Aku malu. Aku tidak siap dengan apa yang akan dikatakan orang-orang," lanjutnya. "Mengapa harus mendengarkan ucapan orang? Ini kehidupan kita, Sayang. Kebahagiaan itu kita yang ciptakan. Jika kita legowo menerima semuanya, kita akan bahagia dan cukup walau dengan segala kekurangan anak kita." "Kamu bisa, Mas. Karena semua ini memang karenamu. Keturunan darimu. Tapi aku tidak! Keluargaku terpandang. Jadi sulit bagiku menerima semua ini." Maharani menatap Agung dengan mata basah yang memerah. "Kalau kamu tidak kembali, Ibu memintaku menikah lagi agar ada yang mengurus Naira. Ibu tidak mampu mengurus Naira karena sekarang kondisi kesehatan Bapak juga menurun. Kamu tahu kan Bapak diabetes? Dan akhir-akhir ini Rendra juga sering kumat, sering kejang," ucap Agung pelan. Hatinya kembali terluka atas ucapan Maharani yang mengungkit kondisi keluarganya. Sementara Maharani hanya bergeming, terpekur menatap lantai. “Silakan, menikahlah lagi. Saya pun tidak akan pernah mengijinkan Maharani untuk kembali padamu.” Dewinta, ibunda Maharani tiba-tiba bicara. Entah sejak kapan wanita itu berada di belakang mereka dan mendengar semua percakapan mereka. “Mama ...?” Agung menatap Ibu mertuanya itu dengan hati terluka. “Seharusnya sejak awal saya ingat bahwa bibit yang buruk tidak akan pernah menghasilkan buah yang ranum,” sindirnya, “Seharusnya saya tidak pernah merestui Maharani menikah denganmu.” Perempuan paruh baya yang masih terlihat modis itu menatap ke depan sambil melipat tangan di d**a. Tatapannya penuh keangkuhan. “Pergilah! Segera urus perceraian dengan Maharani. Saya menginginkan cucu yang normal. Jika bersamamu, sepertinya anak-anak yang lahir akan tidak normal semua.” Ucapan perempuan itu terasa sangat menyakitkan bagi Agung. Segera ia beranjak dan meninggalkan rumah itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD