The First Day

2951 Words
"Lo tahu senja? Senja itu sama seperti pertemuan kita. Indah." -Devano Matteo Adhitama- "Hiks, mama, papa," lirih seorang perempuan yang sedang ketakutan dibawah guyuran air hujan. Perempuan itu terlihat sangat ketakutan, bisa dipastikan di kedua mata coklatnya. Tatapan was-was dan takut bercampur menjadi satu. Jddyaarrrr!!! Tiba-tiba terdengar suara petir yang menggelegar. Dengan cepat dia menutup kedua telinganya. Memejamkan mata, saat kilat tertangkap indra penglihatannya. "Mama, papa." Si perempuan itu terus berjalan tak tentu arah. Dia tetap berjalan karena dia takut jika hanya berdiam. Suasanalah yang membuatnya takut. Tiba-tiba dia sampai disebuah rumah yang terbakar. Kobaran api menjalar sampai di atap rumah. Tubuhnya yang dingin, seketika merasakan panas yang luar biasa. Sesaat si perempuan itu melihat dua orang yang terperangkap didalam rumah yang terbakar. Dan dia yakin jika mereka adalah orang tuanya. Meskipun wajahnya tidak terlihat dengan jelas, tapi pakaian yang mereka kenakan sama persis seperti milik orang tuanya. Terlihat dua orang itu berjalan semakin dalam, masuk ke dalam rumah. "Mama! Papa!" teriak dia yang ditujukan kepada dua orang itu. Perempuan itu akan mengejar mereka. Tapi langkahnya terhenti karena runtuhan bangunan yang menghalangi pintu. Dia tak bisa mengejar mereka. "Mama, papa!" panggilnya lagi. Dia akan mencari bantuan orang lain. Dengan langkah cepat, si perempuan itu berlari ke arah jalan yang tak jauh dari rumah tersebut. Saat itu ketika dia sedang berusaha mencari bantuan, tiba-tiba terdengar klakson mobil dari arah samping. Tin! Tin! Dia menoleh, seketika kedua matanya membulat. Kejadiannya sangat cepat. Hingga yang dia rasakan adalah tubuhnya yang terlempar ke belakang dengan sangat keras. Jatuh ke jalan, dan pada akhirnya cairan merah kental keluar dari kepalanya. Perempuan itu menoleh ke arah rumah dengan gerakan perlahan, karena kepalanya yang terasa berputar hebat. Tangannya mengarah ke arah rumah itu. "Ma-mama. Pa-papa," lirih perempuan itu untuk yang terakhir kalinya. Dan semuanya terlihat gelap. Tit. Tit. Tit. Tit. Vani terbangun dengan peluh keringat membasahi pelipisnya. Menggapai jam wekernya yang berbunyi, yang sengaja telah mengganggu mimpinya. Dengan segera Vani menekan tombol off. 'Mimpi itu lagi,' batin Vani. Vani bangun dari tidur malamnya. Mencoba mengumpulkan kesadarannya yang sempat hilang. Melakukan perenggangan pada otot-otot tubuhnya. Duduk sebentar diatas tempat tidur, mencoba mengingat kembali mimpi yang akhir-akhir ini sering dialaminya. Tok! Tok! Tok! Terdengar pintu kamarnya diketuk dari luar. Karena tak mendapat jawaban dari si pemilik kamar, seseorang berkata. "Pita, bangun sayang. Hari ini kamu berangkat sekolah kan?" ternyata mama yang berkata. "Iya Ma. Pita sudah bangun kok." "Ya sudah. Sekarang kamu mandi dulu ya. Mama buatin sarapan dulu. Nanti kamu langsung turun ke bawah," teriak mamanya lagi. "Iya Ma," balas Vani sekali lagi. Terdengar suara langkah kaki menjauh, tapi Vani tak segera beranjak dari tempat tidurnya. Dia masih memikirkan akan mimpi yang baru saja terjadi. "Apa bener dua orang yang ada di mimpi gue itu orang tua gue? Tapi, kenapa bisa. Jelas-jelas orang tua gue masih ada. Kenapa mimpi itu selalu menghantui gue setiap malam?" Vani berkata lirih dan menyambar handuknya di lemari. Memasuki kamar mandi dan memulai ritual mandi paginya. Tak butuh lima belas menit, Vani turun dengan seragam sekolahnya. Dengan memakai seragam putih abu-abu yang digulung sedikit bagian lengannya dan tanpa memakai dasi sekolahnya. Memakai bandana putih, sepatu Nike hitam, tas maroon, dan jam tangan putih yang sudah melingkari pergelangan tangan kirinya. Sudah menjadi ciri khas dari seorang Devani Puspita Jayachandra. Ya Vani memang bad girl dari lahir. Dia memang gadis yang keras kepala. Vani selalu bersikap mandiri dimanapun dia berada. Bahkan Vani akan bersikap sangat dingin kepada orang yang pertama kali mengenalnya. "Selamat pagi Pa, Ma, Kak." sapa Vani kepada semua keluarganya. "Selamat pagi Sayang. Mau makan apa?" tanya mama. "Biar Pita sendiri saja yang ambil, Ma. Mama lanjut sarapan saja," jawab Vani kemudian meraih sebuah piring. "Ya sudah," ucap mama. "Bagaimana Sayang. Apa kamu siap untuk memulai harimu disekolah yang baru?" tanya papanya. "Pita selalu siap, Pa." Vani menjawab dengan diselingi memakan sarapannya. "Nah bagus. Itu baru anaknya Papa. Papa bangga sama kamu, Pita." "Nanti gue anterin ya, Dek," tawar si kakak. "Nggak usah. Pita bisa berangkat sendiri. Ya sudah Pita pamit dulu ya Pa, Ma, Kak. Assalammualaikum," ujar Vani sembari menyalami mama, papa dan kakaknya satu persatu. "Waalaikumsalam." "Iya hati-hati, Sayang," balas mama. "Nanti kalau pulang minta dijemput sama Kang Ujang, ya," peringat papa. "Tapi kan Pita bis----" protes Vani terpotong oleh perkataan papanya. "Nggak ada penolakan." "Baik, Pa." "Disekolah, kalau ada yang jahatin lo, bilang saja sama gue, oke?" tegas si kakak. "Emang lo kira gue bocah SD, ada apa-apa laporan mulu?" ucap Vani kesal. Si kakak hanya tertawa menanggapi ocehan dari adiknya. Vani terlahir di keluarga yang terbilang cukup kaya. Papanya yang bernama Farrel Jayachandra bekerja di perusahaan pertambangan. Mamanya, yang bernama Citra Jayachandra memiliki sebuah butik yang terkenal. Sedangkan kakaknya yang bernama M. Gilang Jayachandra sedang menempuh pendidikan kuliah di jurusan ekonomi. Vani sangat menyayangi semua keluarganya. Vani berjalan keluar dari komplek perumahannya. Berjalan kira-kira lima puluh meter agar sampai di halte bus. Sampai di halte bus, Vani melihat jam tangan putih yang melingkari pergelangan tangan kirinya. 'Baru jam 6.10. Gue ternyata kepagian,' batin Vani. Tak menunggu waktu lama, Vani mengambil headphone dari dalam ransel merah maroonnya. Memasangnya dikepala dan memutar lagu kesukaannya, BTS. Vani mengangguk-anggukan kepalanya mengikuti irama musik. Dan mengetuk-etuk ujung sepatunya di atas trotoar. Memang, Vani lebih menyukai musik Pop yang bercampur Hip-hop. Daripada musik klasik yang hanya membuatnya mengantuk. Saat ini Vani sedang mendengarkan lagu Interludo: Shadow yang dinyanyikan oleh Suga. Menurut kak Gilang, Vani itu mirip dengan Suga. Sama-sama memiliki sifat yang cool. Dan inilah yang membuat Vani bangga terhadap dirinya sendiri. Lima menit berlalu, kini saatnya Vani berangkat sekolah. Tepat Vani akan berdiri, bus yang akan mengantarkannya sampai ke sekolah, akhirnya datang. Vani segera memakai kembali tasnya, dan memasuki bus. "Jurusan kemana, Neng?" tanya kenek bus. "Jalan Mawar Indah, Bang, SMA Abdi Nusa ." "Siap, Neng." Beberapa menit kemudian fokusnya Vani telah perpindah pada pemandangan jalanan kota dari kaca cendela di sebelah kirinya. Bahkan tak jarang kedua matanya tertutup sebentar karena ingin menikmati alunan musik yang terdengar. Tak butuh waktu lama kini Vani telah sampai di sekolah SMA Abdi Nusa. "Makasih ya, Bang," ucap Vani sembari memberi uang lima ribu kepada kenek bus. "Iya Neng, makasih kembali." "Iya Bang." Vani segera turun dari bus, dan segera memasuki pintu gerbang sekolah. Vani berhenti ditengah lapangan, memperhatikan lingkungan barunya dengan cermat. Vani sangat bangga bisa belajar disini. Karena sejak dulu SMA inilah yang menjadi cita-citanya. Setelah puas memandangi bangunan sekolahnya, Vani melanjutkan jalannya ke araha papan pengumuman. Tapi ditengah perjalanannya, tepat ditengah koridor suasana disana terlihat sangat ramai. Disamping koridor ada sebuah bangku panjang, yang sudah ditempati oleh lima laki-laki. Jika diperhatikan dengan seksama, mereka berlima terlihat seperti kakak kelasnya, itu terlihat jelas dari badge kelasnya. Vani terlihat tak ingin mengetahui atau untuk sekedar melirik nama-nama kakak kelasnya. Vani lebih memilih untuk melanjutkan jalannya ke papan pengumuman. Vani berjalan santai didepan lima cowok yang sedang bergurau di bangku koridor. Tak berapa lama ada yang memanggilnya, yang ternyata berasal dari arah lima laki-laki tadi. "Woy, lo yang pake ransel merah maroon," teriak laki-laki yang duduk paling tengah, sembari mengeluarkan sebuah permen dari dalam mulutnya. Merasa dirinyalah yang dimaksud, Vani membalikkan badan menghadap ke lima laki-laki itu. Vani memperhatikan cowok yang tadi memanggilnya. Baju dikeluarkan, rambut hitam panjang yang acak-acakan, dan sepatu putih yang tidak menaati aturan. Tipikal laki-laki bad boy, dan tentu saja playboy, pikir Vani. Vani sempat menyeringai, kalo dipikir lagi cara berpakaian dia terlihat seperti cara berpakaian dirinya sendiri. Hal ini membuat Vani berdecak tak suka. Tentu saja, Vani berpikir kalau laki-laki itu playboy tentu saja ada dasarnya. Mana ada laki-laki yang sok mengenal kalau dianya tidak playboy. Vani menunjuk mukanya dengan jari telunjuk kanannya. "Gue?" tanya Vani datar. "Iya. Lo bisa Bahasa Inggris kan?" tanya laki-laki itu lagi "Bisa," jawab Vani sembari memutar kedua bola matanya malas. "Bahasa Inggrisnya aku, apa?" "I," jawab Vani malas. "Kalau cinta?" "Love." "Kalau kamu?" "You." "Kalau aku cinta kamu?" tanya laki-laki itu dengan kerlingan matanya yang terlihat genit di penglihatannya Vani. Vani hanya diam tak menyahutinya. Terlihat wajah penasaran dari kelima laki-laki didepannya. "Idih, najis!" balas Vani sembari menampilkan ekspresi jijiknya. Semua orang yang mendengarnya pun terwata terbahak-bahak, kecuali satu laki-laki itu. "Woy gila, mostwanted SMA kita kalah coy, cuma sama anak baru. Hahaha," ejek seorang laki-laki yang ada tepat disamping kanan laki-laki yang berusaha menggombali Vani tadi. Si laki-laki yang merasa terhina, memukul kepala belakang temannya itu. "Nggak bisa dibiarin nih Van, ini cewek satu sudah bikin harga diri lo turun. Kasih pelajaran, Van," hasut seorang laki-laki lain yang berada disamping kiri laki-laki yang dihina itu. Si korban hanya mengangguk-anggukan kepalanya pelan. Mencerna perkataan dari kawannya. "Bener tuh Van, kasih dia pelajaran. Lo dari dulu nggak pernah kalah. Masa cuma sama perkataan cewek lo kalah telak," ujar si laki-laki yang duduk di lantai tepat disebelah kaki laki-laki yang dihina. Si laki-laki yang dihina mulai berdiri dan berjalan pelan menghampiri Vani. Laki-laki itu bertanya. "Siapa lo?" . "Gue? Manusia lah. Iya kali setan," balas Vani sekenanya. "Iya tahu. Maksut gue, nama lo siapa?" tanya laki-laki itu terlihat menahan emosi. "Nama gue mahal. Nggak semua orang bisa tahu nama gue," tegas Vani. "Apa bisa gue beli dengan uang?" pertanyaan satu itu lolos begitu saja, dan berhasil membuat Vani naik pitam. Vani mengangkat tangan kanannya dan melayangkan tepat di pipi kanan si laki-laki itu. PLAK! Seketika suasana hening tercipta. Yang tadi awalnya semua teman-teman si laki-laki tertawa tiba-tiba langsung diam mendadak. Mereka tak menyangka atas apa yang baru saja dilakukan oleh Vani terhadap temannya itu. Baru pertama kali ini ada yang melakukan hal tersebut kepada laki-laki itu terlebih Vani adalah seorang perempuan. "Nggak semua cewek mau dengan uang," kata Vani pelan. "Lo kalau mau ngehargain cewek jangan pake materi." Vani beringsut, giliran menatap teman-temannya si laki-laki dengan tatapan marahnya. "Ajarin tuh temen kalian. Jangan suka anggap remeh perasaan cewek lain." Tak ada yang menanggapi ucapannya Vani. Dan tak perlu menunggu jawabannya, Vani sudah berjalan berlalu meninggalkan kelima laki-laki itu yang telah merusak mood paginya kali ini. Tepat saat dirinya baru saja menjadi siswa resmi di SMA Abdi Nusa. TENG! TENG! TENG! Bunyi bel berdering, semua para siswa berlomba-lomba masuk ke dalam kelasnya masing-masing. Setelah mencari kelasnya di papan pengumuman tadi, Vani segera mencari ruang kelasnya dan masuk tanpa ragu. Dan ternyata Vani masuk ke dalam kelas 10 MIPA 2. Ya sedari dulu Vani memang suka pelajaran menghitung. Karena sejak kecil, Vani merupakan perempuan yang memiliki IQ diatas rata-rata. Kepintaran Vani memang karena keturunan. Itulah mengapa keluarga Jayachandra menjadi keluarga terkaya kedua di Jakarta. Tanpa susah payah, Vani mencari bangku paling belakang dekat cendela. Memang Vani tak mempunyai teman disini, karena saat libur kenaikan kelas, Vani ikut keluarganya pindah ke Jakarta. Vani tak mempermasalahkan teman sebangkunya siapa. Karena menurutnya punya teman ataupun tidak itu bukan tujuan utamannya. Tujuan utama Vani sekolah disini adalah karena ingin mencari ilmu. Saat Vani sedang mencari headphone, seseorang mengetuk mejanya pelan. Tok! Tok! Vani seketika mendongakan kepalanya. Seorang laki-laki bermata coklat terang yang menghiasi wajah tampannya, beralis tebal dan kedua lesung pipitnya sedang memandang ke arah Vani dengan takjub. Tapi Vani hanya membalasnya dengan tatapan datar. Tak ada suara dari si laki-laki itu, Vani akhirnya mengangkat sebelah alisnya, menanyakan ada apa kepada laki-laki itu. "Gue cuma mau tanya, gue boleh duduk disamping lo nggak?" tanya laki-laki itu sembari melirik kursi kosong disamping Vani. Vanipun mengikuti tatapan laki-laki itu, kemudian kembali lagi ke laki-laki itu. Vani heran mengapa laki-laki yang ada di depannya ini mau duduk dengannya, padahal di depannya masik tersedia dua buah kursi kosong. "Kenapa lo nggak duduk disitu saja?" tanya Vani balik dengan mengarah dua kursi kosong dengan dagunya. Si laki-laki itu terlihat kebingungan untuk mencari-cari sebuah alasan. "Em... itu. Apa---" Tiba-tiba datang dua perempuan yang langsung menduduki dua kursi yang masih kosong didepannya Vani itu. "Ini kursi sudah milik kita," kata seorang perempuan yang berambut ekor kuda. "Lo duduk di situ aja, Raf. Lihat tuh sudah nggak ada tempat lain kan?" kata seorang perempuan yang satunya. Si laki-laki itu pun mengedarkan pandangannya ke seluruh kelas, kemudian balik lagi menatap Vani yang sedang sibuk mencari headphonenya. Laki-laki itu bertanya lagi ke Vani, "Gue boleh duduk disini kan?" Vani mendongakan kepala. Ikut mengedarkan pandangannya ke seluruh kelas, kemudian balik lagi menatap ke laki-laki. "Terserah," balas Vani singkat. Si laki-laki segera meletakkan rangselnya diatas meja dan mendudukan pantatnya di kursi kosong disamping Vani. Vani tak perlu ambil pusing, setelah menemukan headphonenya Vani segera memasangnya di kepala dan memutar musik kesukaannya, kali ini lagu Fake Love dari BTS mengalun di indra pendengarannya Vani menikmati setiap melodi yang terdengar. Semangat Vani kembali lagi setelah sempat down akibat laki-laki menyebalkan yang tadi doa temui di koridor. Saat Vani sedang hanyut dalam dunia musiknya, tiba-tiba ada seseorang yang menarik headphonenya. Vani menoleh, ternyata yang didapatinya adalah dua perempuan yang duduk di kursi depannya. "Apaan sih," ujar Vani ketus. "Ya lo mah gitu. Kita sebagai teman satu kelas harus saling berkenalan dulu dong," pungkas perempuan yang rambutnya panjang. "Iya. Bener tuh apa kata Adel," kata perempuan yang tambutnya dikucir ekor kuda. "Terus mau kalian apa?" tanya Vani sembari melepas headphonenya. "Kenalin, gue Adelia Putri Maheswari. Panggilannya Adel," ucap perempuan yang berambut panjang sembari mengulurkan tangan kanannya. Vani menerima uluran tangan itu. "Kalo gue Keysa Zeline Prameswari. Bisa dipanggil Keysa," kata perempuan yang satunya dan juga mengulurkan tangan kanannya. Vani pun juga menerima uluran tangan itu. "Gue Devani Puspita Jayachandra. Kalian bisa panggil gue Devani, Vani atau apalah yang penting nggak aneh-aneh," ungkap Vani. Adel dan Keysa terlihat terkejut dengan perkataan Vani. Vani yang melihat reaksi Adel dan Keysa hanya menatapnya bingung. Vani berucap sembari mengangkat sebelah alisnya. "Kalian kenapa?" "Nama lo beneran Devani? Bisa dipanggil Vani kan?" tanya Adel. "Iya," balas Vani malas. "Seriusan?" kali ini Keysa ikut bertanya. "Emang kenapa?" tanya Vani kembali. "Lo kan yang berani nampar kakak kelas tadi di koridor?" tanya Keysa. "Nggak usah dibahas lagi," potong Vani ketus. "Iya iya . Sorry. Tapi beneran deh nama lo samaan sama namanya kakak kelas yang lo tampar tadi," jelas Keysa. "Iya bener tuh. Devano Devani. Vano Vani. Cocok!" seru Adel. "Cocok pala lo. Emang kalian tahu dari mana kalao cowok tadi itu namanya Devano?" tanya Vani. "Lo kudet banget sih Van," ucap Adel. "Kak Devano atau lebih sering dipanggil Vano itu orangnya sudah terkenal dimana-mana, bahkan sampai di sekolah lain pun dia juga famous. Lo tahu sendiri kan tadi, kalau kak Vano itu orang yang mudah bergaul. Dia juga ramah. Tapi yang paling terkenal dari kak Vano itu, dia suka banget ngombalin para cewek," terang Keysa. "Iya tuh. Lebih parahnya lagi kak Vano itu suka ngombalin semua cewek. Mulai dari cewek temen kelasnya, ibu-ibu penjaga kantin, cewek yang nggak dikenal, bahkan sampai ibu guru juga ikut digombalin sama dia. Parah nggak tuh?" ujar Adel bersemangat. "Nggak usah ngibul deh kalian," kata Vani tak percaya. "Sumpah Van, kita nggak ngibulin lo. Tanya aja sama Rafa tuh," kata Adel sembari melirik ke arah Rafa. Laki-laki yang duduk disampingnya Vani. "Rafa? Siapa dia?" tanya Vani bingung. Laki-laki yang sedari tadi hanya diam memainkan ponselnya, segera menoleh saat Adel menyebutkan namanya. Saat sadar, dia segera mengulurkan tangannya ke arah Vani. "Oh iya kita belum kenalan kan. Nama gue Devan Rafadhan Zidane. Bisa dipanggil Rafa." Vani menerima uluran tangan Rafa. "Jadi kalian bertiga sudah saling kenal?" tebak Vani. "Hehehe iya, kita dulu dari SMP yang sama. Cuma gue sama Keysa dulu nggak terlalu deket sama Rafa," ungkap Adel. "Tahu tuh. Yang anak OSIS mah berasa sok jadi orang penting." Keysa ikut menimpali. "Sorry. Gue dulu selama di SMP menjabat jadi ketua OSIS, ya kalian tahulah seberapa sibuknya gue," jawab Rafa. "Songong lo. Dasar manusia sok sibuk!" kompak Adel dan Keysa. "Jadi bener Raf, yang diomongin sama Adel dan Keysa soal cowok itu?" tanya Vani. "Iya, karena kita adek kelasnya dari SMP, jadi kita sudah tahu kak Vano itu orangnya bagaimana," jawab Rafa. "Eh minta id Line lo dong, Van," pinta Adel. "Gue juga minta dong," sahut Keysa. "@Devani_pita," jawab Vani lugas. Adel dan Keysa segera mengetikkan username yang sudah disebutkan oleh Vani didalam ponselnya masing-masing. "Oke mantap. Gue coba ya?" tanya Adel "Terserah," Vani membalas malas. Tak berap lama, di ponsel milik Vani, muncul notifikasi di layar depan. Kemudian dia memperlihatkan ke arah Adel. "Ini?" tanya Vani. "Iya. Itu nomor punya gue. Lo save ya?" balas Adel. "Hmm." "Eh kita bertiga nanti ke kantin yuk. Lo mau ikut juga nggak, Raf?" tawar Adel. "Gue sebenarnya sih mau, tapi gue ada kepentingan. Lain kali aja ya," jawab Rafa sembari menampilkan raut bersalahnya. "Lo mah gitu orangnya. Nggak asik," tandas Keysa. "Kalau lo, mau kan Van?" tanya Keysa kepada Vani. "Mau dong. Mau ya?"tanya Adel dengan puppy eyesnya. Vani yang melihatnya merasa sedikit jijik dengan kelakuannya Adel. " Ya udah. Iya." "YES!" sorak Adel dan Key bebarengan. Tak lama kemudian bel jam kedua berdering. Kini seorang wanita berusia sekitar tiga puluhan memasuki ruang kelas. Semua para siswa segera menuju ke kursinya masing-masing. "Selamat pagi anak-anak," sapa bu guru " Selamat pagi Bu!" jawab para siswa. "Perkenalkan nama ibu, Ibu Ayudia. Kalian bisa panggil saya Bu Ayu. Saya akan menjadi wali kelas kalian selama satu tahun kedepan. Ibu harap kelas kita kompak, saling tolong menolong, dan jangan ada kasus bullying," terang Bu Ayu. "Baik Bu!" "Sekarang biar semakin akrab, kita saling perkenalan diri dulu. Dimulai dari, emm... Itu siswi yang duduk di belakang yang sedang melihat diluar cendela," ujar Bu Ayu. Merasa Vani yang dipanggil, Vani segera menoleh ke depan, terlihat semua para siswa sedang melihat ke arahnya. Vani mendorong kursinya ke belakang dengan pelan. Melangkah ke depan kelas, dan siap untuk memperkenalkan diri. "Perkenalkan nama Saya adalah Devani Puspita Jayachandra. Sekian, terima kasih," ucap Vani singkat kemudian menutup bibirya lagi. Hal tersebut lantas membuat semua orang terbengong dibuatnya. Sedangkan Vani masih menampilkan raut datarnya tanpa beban.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD