bc

NICK'S LOVER

book_age16+
759
FOLLOW
2.4K
READ
billionaire
contract marriage
second chance
scandal
goodgirl
drama
sweet
bxg
city
teacher
like
intro-logo
Blurb

Millie Victoria sadar bahwa hidupnya akan berubah, ketika dia memutuskan untuk menerima tawaran seorang pria kaya raya bernama Nick Darren untuk berpura-pura menjadi istrinya, hanya demi mendapatkan harta warisan dari kakek Nick.

Namun, yang Millie tidak sadari adalah pesona Nick yang begitu kuat, sehingga membuat Millie jatuh cinta kepadanya. Padahal itu adalah satu hal yang seharusnya tidak boleh terjadi dalam pernikahan kontraknya.

"I was't planning on loving you, but I'm glad that I did"

chap-preview
Free preview
CHAPTER 1 - CONTRACT OFFER
“Ya ampun, Kek! Jangan bercanda, itu adalah hal yang tidak mungkin.” Aku menolak permintaan kakekku yang ingin menjodohkanku dengan cucu angkatnya yang sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Mana mungkin menikahi adik sendiri? Kakekku ini suka mengada-ada. Dia memicingkan matanya dan menatapku tajam. “Kalau begitu dengar baik-baik ini Nick Darren, jika kau menolak permintaanku ini maka kau tidak akan mendapatkan warisanku sama sekali! Termasuk perusahaan Darren Enterprise Limited,” tukasnya, memperlihatkan raut wajah serius. Aku menghela napas dengan berat. Inilah beratnya jika bekerja di perusahaan keluarga. Walau sekarang aku adalah CEO-nya tetap saja perusahaan itu notabene milik kakekku yang egois ini. “Kakek tahu aku punya Julia saat ini. Dan aku sangat mencintai Julia Kek.” “Tinggalkan saja dia,” katanya asal. Bisa-bisanya dia memintaku untuk meninggalkan Julia? “Kau tahu dia tidak mau menikah denganmu, kan? Dan kurasa Millie jauh lebih baik dari dia, Nick.” “Kakek… aku mencintai Julia. Beri aku waktu untuk membujuknya sekali lagi untuk menikah denganku. Lagipula dia bukannya tidak mau menikah, dia hanya ingin fokus lebih dulu pada karir modelnya,” sanggahku. “Dan Millie? Ya ampun Kek. Aku tidak mencintai Millie sebagai wanita, karena dia sudah kuanggap sebagai adikku sendiri.” “Well, kalau begitu, silakan kau berikan Julia makan hanya dengan cintamu itu!” lontarnya sinis. Sepertinya dia benar-benar serius menginginkan Millie menjadi istriku. Damn! Aku membuang muka, menghindari tatapannya. Lebih tepatnya, aku tidak berani membalas menatapnya. Aku menghela napas panjang, “Apa Kakek sudah membicarakan hal ini dengan Millie?” “Kau yang harus bicara dengannya,” katanya. “Huh? Kenapa aku?” “Temui Millie di tempatnya bekerja dan ajak dia menikah,” perintahnya. “Kakek ingin pernikahanmu secepatnya dilakukan,” tambahnya. Pria tua itu pasti sudah gila. Mana mungkin aku tiba-tiba mengajak gadis itu menikah? Millie Victoria adalah anak asuh kakek yang sudah kuanggap sebagai saudaraku sendiri. Kami tinggal di bawah satu atap sampai aku harus meninggalkan Indonesia karena harus melanjutkan sekolah di luar negeri. Jadi aku memang sudah mengenal gadis itu dengan baik. Millie adalah gadis yang sederhana dan manis, tapi dia bukan tipe wanita yang bisa kudekati. Saat ini bertemu dengannya saja hampir tidak pernah. Karena Millie lebih memilih tinggal sendiri sejak selesai sekolah dan hanya sesekali saja datang untuk menjenguk kakek. Aku belum pernah bertemu dengannya lagi sejak…. Keningku berkerut dalam mengingat-ingat kapan terakhir kalinya aku bertemu dengan gadis itu. Dan sekarang pria tua itu menginginkan aku menemui Millie dan mengajaknya menikah? Aku mencari Diana—asisten pribadi kakek untuk mendapatkan nomor ponsel Millie yang terbaru. Terus terang aku tidak menyimpannya lagi, tepatnya aku lupa untuk menyimpan nomornya. Dari obrolan kecil dengan Diana, aku tahu Millie ternyata sudah bekerja sebagai seorang guru di sebuah Taman Kanak-kanak. “Jadi Millie bekerja sebagai guru TK?” “Iya Nick. Padahal dengan uang tunjangan dari kakekmu kurasa dia tidak perlu bekerja lagi,” katanya masuk akal. Millie memang seperti itu. Dia tidak pernah menggunakan nama kakek untuk kepentingannya. Dia bahkan tidak mau semua orang tahu kalau dia adalah anak angkat kakekku. “Kau tahu alamat tempat itu Di?” tanyaku. Diana mengangguk sambil menggeser layar ponselnya ke atas, lalu membacakan sebuah alamat padaku. Mungkin sebaiknya besok aku temui dulu gadis itu dan membicarakan hal ini dengannya. Dasar kakek! Bisa-bisanya membebankan semua ini pada cucu satu-satunya, gerutuku dalam hati. *** Malam harinya, setelah menelepon kekasihku—Julia yang sedang berada di luar negeri—aku teringat pada Millie dan berniat untuk mengirimkan pesan padanya. [Hai Millie. Ini Nick.] Mataku sudah mengerjap berkali-kali sambil memandangi ponsel dan menunggu balasan pesannya. Namun, sepertinya pesanku itu dibaca pun tidak olehnya. Apa Diana memberikan nomor yang benar atau dia mempermainku? Aku menuliskan sebuah kalimat lagi, [Apa kau ada waktu untuk bertemu denganku?] Ketika sampai satu jam berikutnya tidak juga ada jawaban dari gadis bernama Millie Victoria itu, maka aku pun meneleponnya. Tidak mungkin kan dia sudah tidur jam segini? Pikirku sambil melihat ke arah jam meja yang ada di depanku—masih pukul sembilan malam. Nada dering berbunyi sampai delapan kali dan tersambung ke voice mail, gadis itu juga tidak menjawab panggilanku. Alisku berkerut makin penasaran dan mencoba sekali lagi… tidak aku mencobanya bahkan sampai sepuluh kali lagi! Ada apa sih dengan gadis itu? Kenapa dia tidak menjawab atau membalas pesan dan panggilanku? Aku mendengkus kesal sambil melempar ponselku ke arah sofa. Dan dua jam kemudian ponselku berdering dengan sangat nyaring, tepat di saat aku bersiap untuk memejamkan mata. Kupandangi nama Millie yang muncul pada layar ponselku. “Hallo,” jawabku. “Nick??” Suara Millie di seberang sana. “Maaf, aku baru melihat nomormu meneleponku berkali-kali… ada apa? Yang pasti bukan karena kakek kan? Karena aku meneleponnya barusan dan dia baik-baik saja.” Dia malah menelepon kakek? Ck, tentu saja. aku menghela napas panjang. “Aku mau bicara denganmu, penting,” kataku. “Tentang apa?” tanyanya dengan nada bingung yang kentara. Tentu saja dia bingung karena aku hampir tidak pernah meneleponnya sejak tiba di Indonesia. “Besok saja. Pukul berapa kau selesai mengajar?” “Pukul sebelas.” “Oke.” Kemudian dia menutup teleponnya. *** Esoknya tepat sebelum tengah hari, aku sudah sampai di sebuah Taman Kanak-kanak tempat Millie bekerja. Aku memarkir mobilku, lalu segera masuk melewati gerbang yang sedikit terbuka dan melintasi jalan setapak yang diapit taman bunga di sisi kanan dan kirinya, menuju gedung sekolah berbentuk letter L. “Permisi,” sapaku pada seorang laki-laki yang kutemui di lobi sekolah, “di mana saya bisa menemui Millie?” “Maaf,” ucap laki-laki itu seraya mengamatiku dari ujung kaki sampai ujung kepala. “Anda siapa?” Dengan menaikkan sebelah alisku sekaligus merubah raut wajahku berubah kaku. “Yang mana kelasnya?” tanyaku dengan suara lebih tajam. Mimik wajahnya berubah, kemudian dengan enggan dia menunjuk pintu yang berada persis di depanku. Kutepuk bahunya seraya mengangguk dan dia lekas pergi dari pandanganku. Melalui jendela yang cukup tinggi aku bisa melihat situasi di dalam kelas dan mandapati Millie sedang berkerumun bersama beberapa anak didiknya. Kedua ujung bibirku melengkung tanpa sengaja. Millie begitu akrab dan dekat dengan anak-anak dan dia terlihat cukup nyaman berada di sekitarnya, berbeda dengan Julia yang tidak suka dengan anak-anak karena menganggap mereka itu merepotkan dan mengganggu. Kenapa juga aku harus membandingkan Millie dan Julia? Jelas saja mereka adalah dua pribadi yang berbeda. Lamunanku lenyap seketika saat mendengar suara nyaring yang menandakan kegiatan sekolah sudah usai, dan terdengar suara anak-anak yang bersorak gembira. Mereka membubarkan diri dengan teratur Millie menginstruksikan mereka keluar dengan langkah yang hati-hati. Terlihat beberapa orangtua yang sudah menunggu segera menggandeng anak-anak mereka begitu bertemu. Siang ini, aku melihat sebuah pemandangan baru dalam hidupku. Mataku masih menikmati pemandangan mengharukan di depanku saat Millie keluar dari kelasnya dan menegurku. Dia tampak kaget, “Nick? Sejak kapan kau ada di sini?” “Tidak terlalu lama,” jawabku sambil melihat ke arah jam di pergelangan tanganku. “Apa masih ada yang harus kau lakukan?” Millie menatapku sambil menggeleng. “Tidak ada. Sebenarnya apa yang ingin kau bicarakan Nick? Tentang apa?” tanyanya kemudian—beruntun. “Bisakah kita bicara di tempat lain?” “Tentu.” Dia mengangguk. “Kau tunggu di sini, aku ambil tasku dulu. Tidak lama,” ujarnya dan gadis itu berlalu dari hadapanku menuju ruangan di ujung bangunan. *** “Apakah Kakek Ritchie pernah membicarakan tentang pernikahan kepadamu?” Aku berusaha memancing pembicaraan setelah kami berada di sebuah restoran yang letaknya tidak jauh dari sekolah tempat Millie bekerja. “Membicarakan tentang pernikahan? Pernikahan siapa?” tanyanya dengan ekspresi bingung, “tapi seingatku Kakek Ritchie tidak pernah membicarakan pernikahan siapa pun padaku,” terangnya. Dasar pria tua menyebalkan, dia benar-benar membuatku yang harus meminta Millie untuk menikah denganku. Kuhela napas panjang, “Mmh, baiklah. Aku akan jelaskan pelan-pelan masalahnya.” Dia mengangguk cepat dengan tatapan menuntut kepadaku, “Aku menunggu, Nick.” Matanya yang bulat cokelat menatapku. Aku tidak langsung menjawab tapi hanya memandangnya selama beberapa saat. Millie menatapku, menunggu jawaban. Sambil menyeruput espresso-ku dengan niat mengulur waktu, otakku berpikir cara menyampaikan rencana kakek yang mengejutkan ini. Mata Millie tetap tidak berpaling dariku. Tatapannya masih lekat seakan-akan dia memang tidak sabar menanti berita yang akan kusampaikan. “Millie,” ucapku lalu berdeham. “Bagaimana menurutmu kalau ternyata kau harus menikah denganku?” Tepat setelah kulontarkan pertanyaan itu, Millie terbatuk-batuk. Dia langsung meminum beberapa teguk lemon tea dingin yang kusodorkan padanya. “A-Apa katamu tadi?!” serunya dengan mimik syok. Dia memandangku beberapa detik seakan-akan aku orang paling aneh di dunia lalu tertawa mengejek. “Kenapa aku harus menikah denganmu, Nick?” “Karena kakek ingin kita menikah.” Mata Millie terbelalak, kaget. “Kakek Ritchie ingin aku menikah denganmu? Tapi, kenapa?” “Aku sendiri juga tidak mengerti kenapa kakek sangat bersikeras menginginkan kita menikah,” tukasku, sama bingungnya. “Itu tidak mungkin, Nick. Lagi pula, bukankah kau sudah punya Julia?” Aku hendak membuka mulut untuk bicara saat suara Millie kembali terdengar. “Bagaimana denganmu? Apa pendapatmu mengenai keinginan kakek itu? Aku yakin kau juga tidak mengharapkan pernikahan ini.” Mata Millie menatapku semakin intens. Bahasa tubuhnya memperlihatkan sikap menuntut jawaban. Matanya menyipit dan menatapku tajam. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan dan melipat tangannya di atas meja, membuatnya terkesan menyudutkanku. Aku menghela napas berat dan kuputuskan untuk segera menjelaskan kepada Millie tentang rencanaku. Kemudian kujelaskan kepadanya tentang pernikahan kontrak yang akan melibatkan dirinya. Karena dialah satu-satunya orang yang bisa membantuku untuk mendapatkan hakku sebagai pewaris tunggal Kakek Ritchie. Aku tidak ingin harta keluarga Darren jatuh ke tangan orang lain, yayasan apalah itu namanya, atau bahkan siapa pun yang kakek pernah sebutkan sebagai ancaman jika aku menolak pernikahan ini. Awalnya, wajah Millie terlihat tegang saat mendengar penjelasanku dan aku sangat memakluminya. Aku memberinya waktu selama beberapa saat untuk mencerna semua ucapanku agar dia bisa mempertimbangkannya. Setelahnya, aku melihat ketegangan di wajahnya memudar dan dia memberiku kesempatan untuk kembali menjelaskan. “Aku butuh bantuanmu, Millie, karena kakek tua itu mengancam akan memberikan seluruh hartanya untuk yayasan yang dikelolanya jika aku menolak menikah denganmu,” ujarku di akhir penjelasan. Gadis itu diam saja, tidak menyahut. “Millie?” Wanita di depanku iitu mengembuskan napas berat. “Lanjutkan,” ucapnya, “aku mendengarkanmu.” “Aku ingin kau membantuku dengan bersedia menikah denganku. Tapi kau tenang saja, karena pernikahan ini tidak sungguhan.” Aku menegaskan. “Pernikahan kita hanya sebuah kontrak.” Millie mengangguk-angguk seraya menyambar gelas minumannya dan meminum sisanya yang tinggal setengah. “Tapi Kakek Ritchie tidak boleh tahu mengenai kesepakatan kita ini,” sergahku. “Setelah aku mendapatkan hakku sebagai pewaris, aku pastikan kontrak kita berakhir. Kita akan bercerai dan aku akan memberikan apa pun yang kauinginkan, kemudian kau bisa melanjutkan hidupmu seperti sebelumnya.” “Nick,” ucap Millie, “kurasa, aku tidak mungkin bisa membohongi Kakek Ritchie.” “Kita tidak akan menjalankan kebohongan ini untuk waktu yang lama, Millie,” sahutku. “Aku yakin kakek akan segera memberikan hakku kepadaku setelah kita menikah.” Millie mengernyit. “Bagaimana kalau perkiraanmu itu keliru? Bagaimana kalau ternyata kakek tidak langsung memberikan warisannya kepadamu?” sergahnya. Aku terdiam. Millie benar. Aku tidak bisa menjamin kapan tepatnya kakekku itu akan mengatur untuk mengalihkan hak warisnya kepadaku. Dia bisa saja segera memberikan apa yang kuinginkan setelah aku menikahi Millie, tetapi bisa juga menunda dan menunggu entah berapa lama untuk kemudian menyerahkannya kepadaku. Wanita itu mengangkat bahunya. “Aku tidak tahu, Nick,” desahnya. “Dengan membantumu melakukan pernikahan kontrak ini, itu sama saja dengan aku membohongi orang yang sudah begitu sayang dan peduli padaku.” Dia menghela napasnya, “Kau tahu dia sudah seperti kakekku sendiri,” katanya. Aku menghela napas berat. “Aku tahu, Millie,” balasku, sabar. “Aku tahu kau sangat menyayangi Kakek Ritchie dan ingin melihatnya bahagia. Masalahnya, satu-satunya hal yang bisa membuat kakek bahagia saat ini adalah melihat kita menikah.” “Walaupun begitu, aku tetap harus mempertimbangkan gagasanmu ini,” tukasnya. “Ada banyak hal yang harus kupikirkan, Nick. Aku harus memikirkan reputasiku sendiri. Apakah menurutmu orang lain akan begitu saja menerima kenyataan bahwa kau, seorang Nick Darren yang merupakan satu-satunya pewaris kekayaan keluarga Darren, sekaligus pemilik Darren Enterprise Limited, menikah dengan seorang gadis biasa sepertiku? Mereka mungkin akan menganggapku sebagai seorang gold digger (wanita mata duitan), Nick. Karena kita tidak hidup di negeri dongeng di mana seorang gadis miskin bisa menikah dengan seorang pangeran tampan dan kaya begitu saja.” Aku mengernyit mendengar nada sinis di dalam suara Millie. “Baiklah, aku akan memberimu waktu untuk berpikir,” ujarku, menghela napas. “Bagus,” sahut Millie datar. “Aku ingin mendengar jawabanmu besok,” tegasku. “Besok?” sembur Millie. “Kau gila?” Aku menggeleng. “Aku tidak gila,” balasku. “Aku hanya tidak peduli dengan apa pun yang dikatakan oleh orang lain. Biarkan saja mereka menganggapmu mata duitan. Selama kau tidak merasa dirimu seperti yang mereka katakan, abaikan saja. Mereka hanya iri dan kau tidak perlu memedulikannya.” “Memang mudah bagimu untuk bicara seperti itu karena bukan kau yang menjadi sasaran mereka,” Millie mendumal. “Kau pikirkan saja tentang kakek, orang yang menyayangimu sekaligus satu-satunya orang yang kau sayangi saat ini,” sahutku. “Hanya kita yang bisa membuatnya bahagia karena hanya kita yang kakek miliki.” Millie membuang muka. “Jadi, besok aku akan tahu jawabannya, kan?” “Sudah kubilang, aku harus mempertimbangkan banyak hal, Nick.” Millie bergeming sesaat dan menatapku tajam. “Akan aku kabari besok,” ucapnya kemudian. Sontak, senyumku mengembang. “Setuju,” sahutku, membuat Millie mendengkus kesal. Millie menyambar tasnya lalu beranjak dari kursi yang sejak satu jam lalu didudukinya. “Aku harus pulang sekarang,” katanya. Aku mengangguk. Senyumku masih belum lenyap, sangat kontras dengan raut wajah Millie yang tampak tertekan. “Aku akan mengantarmu pulang.” “Tidak perlu.” Millie menolak. “Aku tidak ingin merepotkanmu.” “Aku tidak merasa direpotkan.” “Tidak, Nick,” sergahnya penuh penekanan. “Aku ingin sendiri.” Aku tidak punya pilihan lain selain menuruti keinginannya. “Baiklah kalau begitu,” jawabku. “Selamat siang,” pamitnya, kemudian berbalik dan pergi meninggalkanku. Aku masih belum beranjak dari tempatku dan sedang mengamati punggung Millie yang semakin menjauh. Tepat pada saat Millie membuka pintu restoran, ponselku berbunyi. Kuraih ponselku dari dalam saku dan melihat foto Julia memenuhi layar. Mataku terarah ke pintu keluar sekali lagi, memastikan Millie sudah benar-benar pergi, sebelum aku menjawabnya. “Hallo, Honey,” sapa Julia di ujung telepon. “Hi, Darling. Kau di mana?" “At your office,” jawabnya, berbisik dengan suara menggoda diiringi desahan,“and half naked.” Mataku melebar.“What?”Aku ingin mengumpat, tetapi kata-kata itu kembali tertelan dan secepat kilat aku bergegas pergi untuk kembali ke kantor.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
96.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.7K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.9K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook