CHAPTER 3 - WEDDING PLAN

2366 Words
CHAPTER 3 - WEDDING PLAN M I L L I E             Hari ini, setelah kemarin aku menyetujui kesepakatan pernikahanku dengan Nick, aku akan menghadiri undangan makan malam kakek bersama Nick. Kakek memberitahuku bahwa dia ingin membicarakan tentang pernikahan kami. Aku sedang menunggu Nick yang pagi tadi berjanji akan menjemputku. Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Pelataran tempat penjemputan sudah ramai oleh keberadaan orangtua murid yang sedang menunggu. Di tengah-tengah keramaian, terlihat seorang pria dengan tinggi badan proporsional sedang berjalan melintasi kerumunan para penjemput yang berkerumun. Kehadiran Nick Darren siang ini di sekolah telah menyedot banyak perhatian, khususnya para kaum hawa. Aku nyaris merasa bangga karena alasan kehadiran pria itu adalah untuk bertemu denganku. Tetapi, ketika diriku kembali diingatkan mengenai status hubungan kami yang hanya sebuah kebohongan, dengan terpaksa aku menelan kekecewaan. Dia memiliki kekasih  dan aku tidak seharusnya jatuh cinta kepada pria itu. “Hai, Millie,” sapa Nick dengan senyum mautnya. “Halo.” “Kau sudah selesai mengajar, kan?” “Ya.” Aku mengangguk. “Aku hanya perlu mengambil tasku di kantor.” “Kalau begitu, silakan.” “Kau mau menunggu di sini atau ikut denganku?" “Aku ikut denganmu,” jawabnya sambil menyejajarkan langkahnya di sampingku. Aku merasa semua mata memandang iri padaku. Ini mungkin hanya perasaanku saja, tetapi kupikir ini perasaan yang wajar karena aku berjalan berdampingan dengan seorang pria setampan Nick Darren. Gadis mana pun tidak akan mengingkari kenyataan tentang kesempurnaan Nick secara fisik. Tubuhnya berotot dan tegap. Rahangnya yang tegas membuat Nick tampak sebagai sosok yang keras. Dan, yang membuat para wanita menahan napasnya saat berhadapan dengan Nick adalah matanya yang tajam. “Kau melepaskan cincinmu lagi?” tanya Nick. Aku terkesiap dan sontak menatap jariku yang tidak dihiasi cincin pemberiannya. “Oh, itu,” aku tergagap, “aku akan memakainya nanti.” Pagi tadi, aku merasa bimbang perlu memakai cincin itu atau tidak. Aku khawatir akan mendapatkan banyak pertanyaan dari teman-temanku perihal cincin itu, sementara aku belum siap untuk memberikan jawaban. Beberapa dari mereka tahu bahwa aku merupakan anak angkat Ritchie Darren. Mereka selalu menjadikan kedekatanku dengan keluarga Darren sebagai lelucon sehingga sering menggodaku—menjodohkanku dengan Nick. Sementara itu, aku selalu mengelak dengan mengatakan kebohongan bahwa Nick bukanlah tipe laki-laki yang kuinginkan sebagai suami. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi mereka nanti jika melihat cincin ini dan secara tak terduga aku mengaku bahwa aku dan Nick sudah bertunangan. Mereka mungkin akan menganggapku telah menjilat ludahku sendiri.  “Tunggu di sini,” kataku kepada Nick setelah kami berhenti di depan pintu kantor. Sontak, keberadaan kami—tepatnya, keberadaan Nick—mencuri perhatian dan membuat beberapa temanku mengalihkan perhatian ke arahnya. Nick mengangguk dengan sopan sambil tersenyum. Dia kemudian mengedarkan pandangannya mengamati seisi ruangan dan menyapa beberapa orang yang sedang duduk-duduk santai di dalam. “Halo.” Nick mulai menunjukkan pesonanya lewat senyuman mautnya. Seperti yang sudah bisa kutebak, mereka pun membalasnya dengan memberikan senyum terbaik untuk laki-laki yang berdiri di ambang pintu itu. “Halo,” balas mereka serempak sambil memberikan senyum lebar yang diupayakan terlihat semanis mungkin. Salah satu temanku, Rania, meninggalkan kursinya dan bergerak menuju pintu mendekati Nick. “Anda Nick Darren, bukan?” “Ya, benar, saya memang Nick Darren, ” sahutnya. “Anda datang ke sini khusus untuk menjemput Millie?” tanya Rania lagi penuh rasa ingin tahu. “Benar.” Laki-laki itu menjawab lagi. Aku menoleh sesaat dan melihat Rania mengangguk-angguk merespon jawaban Nick. “Kami merasa agak aneh melihat Millie dijemput seorang laki-laki,” komentar Rania, kemudian dia tertawa ringan. “Dia, kan, selalu menolak setiap kali ada laki-laki yang berusaha mendekatinya.” “Kau tidak perlu memberitahunya tentang hal itu, Ra!” semburku sambil berdecak. Sementara itu Rania terkesan tidak mengacuhkanku. “Itu, kan, kenyataan,” sungutnya. “Benarkah?” Nick menanggapi Rania dengan reaksi berlebihan. “Kenapa begitu?” Rania mengedikkan bahu. “Entahlah. Tanyakan saja kepadanya.” Aku mendengkus mendengar pembicaraan kedua orang di depan pintu itu. Beberapa orang yang masih duduk diam di dalam ruangan ini pun tak segan-segan menunjukkan secara terang-terangan ketertarikan mereka akan pembicaraan antara Nick dan Rania. Sesekali, aku merasa mereka menjuruskan tatapannya ke arahku. “Kalau begitu, mulai saat ini kalian akan terbiasa melihat Millie dijemput oleh seorang laki-laki,” ujar Nick, tenang. “Siapa? Anda?” Nick mengangguk. “Kalian akan semakin sering melihat saya datang untuk menjemput Millie,” ucapnya santai, “karena saya adalah tunangannya. Meskipun kami belum bertunangan secara resmi, tetap saja saya adalah tunangannya. Benar, kan Millie?” Aku terperangah mendengar pengakuan Nick pada Rania yang terang-terangan itu. Bukan hanya Rania yang kaget mendengar pengakuan Nick barusan, seisi ruangan ikut terkejut mendengarnya dan mengkonfirmasi ulang pernyataan Nick tersebut padaku. “Apa itu benar Millie? Kamu bertunangan dengan Nick Darren?” “Millie! Ya Tuhan… Nick Darren?” “Kalau Millie yang bicara mungkin aku tidak percaya, tapi ini keluar dari mulut Nick Darren sendiri! Jadi itu benar kan Millie?” Seorang teman wanitaku blak-blakan mengeluarkan pendapatnya.  Seandainya hubungan kami nyata, hatiku pasti sudah melonjak kegirangan sekaligus bangga. Masalahnya, aku tahu bahwa jawaban Nick tadi merupakan bagian dari sandiwara kami. Aku kembali ke tempat di mana Nick menungguku di depan pintu dan menyadari saat ini Rania sedang menatapku dengan cara yang aneh. Matanya yang memicing sedang berusaha menilaiku. “Yang benar, Mil?” sergahnya sesaat setelah aku tiba di hadapannya. “Apa?” tanyaku tak acuh, berlagak bodoh. “Kau bertunangan dengan Nick Darren?” Raut wajahnya berubah, tampak tidak percaya sekaligus bahagia. Aku hanya mengangkat bahu menjawab pertanyaannya sambil tersenyum getir. Andai saja itu bukan sandiwara, aku pasti menjawabnya dengan lantang dan penuh rasa bangga. Aku berpaling pada Nick. “Sebaiknya kita pergi sekarang.” “Maaf....” Nick sengaja tidak meneruskan kalimatnya sambil melihat kepada Rania. “Rania,” sahut Rania, cepat. Nick tersenyum. “Sepertinya Millie menolak mengakuiku sebagai tunangannya, jadi dia tidak akan menjawab pertanyaanmu,” ujarnya, membuatku melemparkan tatapan tajam ke arahnya. “Astaga,” desah Rania dramatis. “Dia tidak seharusnya melakukan itu kepadamu, Mr. Darren.” “Tapi, dia melakukannya, Miss Rania, dan aku tidak punya pilihan lain selain menuruti kemauannya itu.” Nick memasang raut sedih di wajahnya dengan sempurna. “Padahal dia seharusnya merasa bangga karena kau telah memilihnya.” Rania melanjutkan pendapatnya walau tidak diminta. “Itulah yang sebenarnya kuharapkan.” “Nick,” tegurku, jengah. “Bisakah kita pergi sekarang?” Nick mengangguk. Dia kemudian berpaling pada Rania untuk berpamitan. “Kami harus segera pergi. Senang bertemu denganmu Miss Rania.” Rania mengangguk dengan antusias. “Aku juga senang bertemu denganmu Mr. Darren,” sahutnya, “sangat senang!” Setelah aku berpamitan kepada Rania, kami berdua meninggalkan kantor. Aku berusaha mengimbangi langkah Nick yang lebar. Sesekali aku menoleh untuk memperhatikan profilnya. Nick tidak berbicara sepatah kata pun sampai akhirnya kami sampai di tempat dia memarkir mobilnya. “Sekarang masih pukul dua siang, Nick. Apakah kau keberatan jika aku mampir ke suatu tempat lebih dulu?” “Tentu saja tidak. Kita janji bertemu dengan kakek sekitar pukul lima, jadi kita masih punya banyak waktu. Memangnya, kau mau ke mana?­” Nick membukakan pintu mobil untukku. Aku merasa tersanjung, tetapi aku memilih untuk tidak mengatakan kepadanya karena aku tahu itu tidak perlu. Dia akan menganggapku konyol dan terlalu berlebihan dalam menanggapi sikapnya yang sederhana itu. “Aku ingin mengunjungi sebuah panti asuhan yang selama ini sering kukunjungi. Sejak kau pergi ke Amerika, aku mulai sering datang ke tempat itu karena aku merasa kesepian. Mulanya, aku hanya mencari teman, tetapi lama-lama aku malah merasa nyaman di sana.” Aku menoleh dan tersenyum pada Nick. “Kau tahu, aku merasa kami memiliki nasib yang sama, tetapi mereka tidak seberuntung diriku.” Nick tersenyum. “Kau tahu Yayasan Ummu Fadil? Sejak beberapa tahun belakangan, Kakek menjadi salah satu donatur tetap yayasan itu.” Nick mengerutkan dahinya. “Benarkah? Tapi, kenapa Kakek tidak pernah memberitahuku tentang itu?” “Entahlah.” Aku mengedikkan bahu. Nick pun turut mengedikkan bahunya, tak acuh. “Kalau begitu, aku akan mengantarmu.” Aku tertegun. Apakah dia sungguh-sungguh? “Kenapa diam?” tanya Nick, membuatku tersentak. “Sebenarnya, kalau kau tidak berkenan kau tidak perlu mengantarku, Nick,” ucapku. “Aku bisa pergi ke sana sendirian. Kita akan bertemu nanti saat makan malam di tempat Kakek.” “Aku sudah bilang akan mengantarmu, Millie,” sahut Nick, tegas. “Bagaimanapun juga, aku akan menjadi suamimu dan aku berhak untuk mengenal orang-orang terdekatmu. Ya, kan?” Aku tidak tahu harus menjawab apa. Seandainya Nick tidak memiliki Julia, mungkin aku akan membiarkan diriku jatuh cinta sekali lagi padanya. “Baiklah,” ucapku akhirnya. *** “Apakah kau tidak keberatan kalau aku memintamu memakai cincinmu sekarang?” Nick melihat ke arah jariku dan seketika aku sadar aku belum memakai cincin pemberiannya. “Karena Kakek pasti akan bertanya nanti,” katanya lagi, memperingatkanku. Aku segera membuka tasku dan mengambil kotak cincin pemberian Nick waktu itu. Aku memakai cincin itu dan menunjukkannya kepada Nick. “Selesai,” ujarku. “Yeah, begitu lebih baik,” katanya seraya tersenyum menggoda. Tahan, Millie, jangan melihatnya ke arahnya. Aku memperingatkan diriku sendiri sebelum bencana menimpaku. Jatuh cinta kepada seorang Nick Darren bisa menjadi bencana terbesar dalam hidupku. Sebab, tidak ada hal yang lebih buruk dibandingkan mencintai seseorang yang tidak akan bisa membalas perasaanmu. Nick memiliki kekasih dan dia tidak akan sudi meninggalkan kekasihnya itu demi aku. Ya Tuhan, aku harus menahan perasaanku. Itu tidak mudah, aku tahu, tetapi aku tidak punya pilihan lain, kecuali nanti saat aku sudah benar-benar siap untuk patah hati. Aku sudah lama mengenalnya, tetapi baru dua hari ini aku banyak berinteraksi dengannya, dan dampaknya sudah seperti ini. Ditambah lagi, aku melihat sikapnya saat kami di panti tadi. Nick Darren tidak hanya berhasil membuat hatiku luluh, tetapi dia juga berhasil mencuri perhatian orang-orang di panti. Mereka dengan mudah menerima kehadiran pria itu. Dia menunjukkan sikapnya yang penuh perhatian kepada anak-anak dan aku tahu Nick berhasil membuat mereka mengaguminya. Kami sudah tiba di mansion Kakek Ritchie. Sebenarnya aku tidak mengerti mengapa Kakek lebih memilih untuk tinggal di rumah sebesar ini. Dulu, ketika aku memutuskan untuk pindah, Kakek sempat menentang dan memintaku untuk tetap tinggal bersamanya, tetapi aku menolak dan menjelaskan padanya bahwa aku ingin hidup mandiri. Lagi pula, aku tidak mungkin selalu bergantung kepadanya, dan aku merasa lebih nyaman tinggal di apartemen mungilku. “Sekarang, bisakah kau memberiku ruang untuk keluar dari mobil ini?” tanyaku pada Nick yang tampaknya tidak sadar sudah menghalangi jalanku. Sosoknya yang tinggi menjulang berdiri di hadapanku, tidak memberiku ruang untuk keluar dari mobil. “Oh ya, tentu saja.” Dia mundur beberapa langkah. “Maafkan aku.” Nick berjalan mendahuluiku menuju bangunan mewah di hadapan kami. Aku mengedarkan pandanganku untuk mengamati kemegahan yang mengelilingku. Aku sering ke rumah ini, dan setiap kali menginjakkan kakiku di rumah ini, aku tak pernah berhasil menahan diri untuk mengagumi setiap sudutnya. Mansion Kakek merupakan bangunan yang dirancang bergaya Eropa klasik. Menurutku, mansion ini cukup layak untuk disebut sebagai istana. Bagaimana tidak? Bangunan ini sangat megah dan mewah dengan dikelilingi taman yang ditumbuhi berbagai macam bunga yang dirawat dengan baik. Kakek bahkan mempunyai bangunan tersendiri untuk menampung deretan mobil mewahnya. Aku menggelengkan kepala mengingat hobi kakek yang satu itu. Aku memasuki bagian utama mansion di mana Kakek Ritchie sudah menunggu kami. Penerangan yang terpancar dari lampu-lampu rumahnya membuat interior mansion ini terlihat semakin mewah. Rasanya sama seperti saat kita memasuki sebuah hotel. Ketika pintu utama terbuka, kaki kami disambut hamparan lantai marmer onyx yang mengilap. Melangkah lebih ke dalam lagi, terdapat ruang tamu dengan satu set sofa berwarna peach lembut, senada dengan warna dinding dan furniture di sekitarnya. Kami terus melangkah semakin ke dalam, menuju ruang makannya yang tidak kalah mewah dengan ruangan lain. Lantainya dilapisi karpet tebal, meja dan kursinya berwarna kontras—mejanya peach muda sementara kursinya berwarna marun. Perpaduan yang cantik menurutku. Terdapat lampu gantung bergaya klasik modern menghiasi bagian atas pada tengah mejanya. Perfect! “Halo, Millie, Nick! Duduklah.” Kakek yang tampaknya sudah sedari tadi menanti kehadiran kami di ruang makan menyambut kedatangan kami dengan hangat. Aku langsung menghampirinya dan mencium kedua pipinya, disusul Nick yang langsung memeluknya. Lantas, kami duduk di hadapannya. “Sebelum makan, ada hal yang ingin kubicarakan dengan kalian. Ini tentang perjalanan bulan madu kalian,” kata Kakek. “Millie, tempat manakah yang sangat ingin kau kunjungi?” tanyanya. “Kali ini, aku tidak ingin kau menolak tawaranku.” Kakek pernah beberapa kali berniat untuk mengajakku ke luar negeri, tetapi aku selalu menolak. Alasannya, karena aku begitu takut pada ketinggian. Aku tidak sanggup membayangkan naik pesawat dan berada ribuan kilometer dari permukaan tanah. Hanya memikirkannya saja sudah membuatku merasa ngeri. “Aku tidak tahu, Kek. Aku serahkan semuanya kepada Nick,” jawabku. “Akan kupikirkan itu nanti.” Nick menyahut. “Aku merekomendasikan Dubai,” ujar Kakek. Aku melihat beberapa brosur tentang Dubai yang Kakek letakkan di atas meja di hadapan kami. Nick mengambil brosur tersebut dan membacanya, demikian juga denganku. Tak berapa lama, setelah dia mempertimbangkan, Nick terlihat mengangguk menyetujui rekomendasi darinya. Aku, yang sebetulnya masih tertegun, akhirnya ikut mengangguk. Pembicaraan tentang rencana pernikahan dan juga perjalanan bulan madu ke Dubai membuatku sempat termenung. Benarkah keputusanku ini? Menikah dengan Nick Darren, yang jelas-jelas tidak mencintaiku? “Kalian tahu, aku sudah lama menginginkan hal ini terjadi,” ujar Kakek, kemudian terdiam sesaat untuk memandangi kami bergantian. “Aku sangat ingin melihat kalian bersama—bersatu dalam pernikahan.” Aku menelan ludahku dengan susah payah, kemudian berpaling pada Nick. Pria itu juga sedang melihat ke arahku dan tersenyum. “Ya, Kek, aku tidak menyadari kalau Millie sudah dewasa dan semakin cantik seperti sekarang ini,” ujar Nick, yang bagiku itu tidak lebih dari sekadar omong kosong. Aku hanya tersenyum kecut mendengar komentarnya barusan. “Aku ingin kalian terus bersama-sama selamanya, sampai maut memisahkan kalian,” tambah Kakek, membuat perutku bergejolak aneh. Aku menghela napas karena seketika dadaku terasa nyeri. Tiba-tiba, Nick menyentuh tanganku dan menggenggamnya di atas meja. “Aku sudah menyayangi Millie sebelumnya. Dia sudah seperti saudariku sendiri. Jadi, kurasa tidak akan sulit untuk belajar mencintainya sebagai istriku nanti. Benar, kan, Millie?” Aku terdiam sebentar selagi berusaha mencerna kalimatnya barusan. Aku tahu dia hanya bersandiwara, tapi dia terdengar sangat meyakinkan dan Kakek tersenyum senang mendengarnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD