CHAPTER 2 - THE CONTRACT

2380 Words
  CHAPTER 2 - THE CONTRACT M I L L I E Menikah. Jujur saja, tadinya hal ini jauh dari pikiranku. Namun, di dalam hati kecilku, aku memang menginginkan sebuah keluarga karena selama ini aku tidak memilikinya. Aku hanya memiliki Kakek Ritchie yang selama ini mengasuh dan merawatku. Ketika aku beranjak dewasa, aku memberanikan diri untuk hidup terpisah darinya. Dengan memutuskan untuk memulai hidup mandiri bukan berarti aku memutuskan hubunganku dengan Kakek. Aku masih sering datang ke mansion untuk menjenguknya. Aku mengenal Nick sejak kecil dan hubungan kami cukup dekat, sampai akhirnya Nick dikirim ke New York untuk melanjutkan pendidikannya setara dengan Sekolah Menengah Atas, dan melanjutkan kuliahnya di Harvard School of Business, Boston, Massachusetts. Harvard School of Business adalah tempat yang dianggap Kakek paling tepat untuk Nick mempelajari ilmu bisnis, sebab dialah satu-satunya yang akan bertanggung jawab menjalankan perusahaan—yang bergerak di bidang industri manufaktur dan trading furniture—itu. Nick kembali setelah enam tahun dan dipercaya untuk memimpin salah satu perusahaan milik keluarga Darren. Dengan sosok Nick, tidak kupungkiri kalau aku pernah membayangkannya sebagai kekasihku. Lagi pula, siapa yang tidak tertarik terhadap laki-laki seperti Nick? Dia tampan, berpendidikan, kaya, dan berasal dari keluarga terpandang. Aku memang pernah sangat menyukainya, tetapi kemudian aku sadar tentang perbedaan di antara kami dan perlahan-lahan aku mengikis perasaanku itu. Karena kutahu perasaanku itu tidak mungkin terbalas. Terlebih, saat aku tahu Nick menjalin hubungan dengan seorang model bernama Julia Rodwart. Aku tidak mengenalnya, melainkan hanya tahu sedikit tentangnya dari media. Kabar mengenai hubungannya dengan Nick pernah dimuat di salah satu tabloid. Julia memiliki paras yang cantik dan media selalu menyebutnya sebagai sosok jelmaan seorang dewi. Bagaimana bisa Kakek Ritchie mengatur perjodohan antara aku dan Nick seperti ini? Mana mungkin aku bersaing dengan Julia? Aku bukan siapa-siapa, sedangkan Julia memiliki segalanya yang tidak kumiliki. Dia seorang wanita cantik, berasal dari keluarga kaya, seorang model terkenal dan pernah memenangkan kontes kecantikan di tingkat internasional. Sementara aku? Aku hanyalah seorang guru TK yang biasa-biasa saja. Levelku berada jauh di bawah Julia dan aku tahu Nick tidak mungkin meninggalkannya demi diriku. Dan, dua hari yang lalu Nick memberiku sebuah tawaran untuk menjadi istrinya. Melamar dan memberikan penawaran adalah dua hal yang berbeda. Di dalam sebuah tawaran selalu ada kesepakatan untuk keuntungan kedua belah pihak. Dia memang akan mendapat keuntungan dengan menerima warisan dari Kakek. Masalahnya, aku tidak melihat apa keuntungan yang dapat kuterima di balik tawarannya itu, kecuali kebahagiaan Kakek Ritchie. Karena itulah aku harus memikirkan matang-matang untuk menjawab permintaanya. Walau kemarin Nick sudah memcecarku untuk segera menerima tawarannya. Tapi aku tidak bisa menjawabnya kemarin, sehingga aku meminta tambahan waktu untuk berpikir lagi. Apa yang Nick minta sebenarnya cukup menyakitkan bila dinilai menggunakan sudut pandang harga diriku sebagai seorang perempuan. Tapi, Nick menjadikan kebahagiaan Kakek sebagai senjata. Dia tahu benar bahwa aku tidak memiliki siapa-siapa di dunia ini kecuali pria tua yang baik hati dan telah merawatku sejak kecil itu. Dan, dia tahu benar aku bersedia melakukan apa saja untuk kebahagiaan Kakek Ritchie, mungkin termasuk untuk menikah dengannya, meskipun aku tahu tidak akan menjalani pernikahan seperti yang kuimpikan selama ini. Bagiku, yang terpenting adalah Kakek dan kebahagiaannya. Aku telah mengambil keputusan dan tidak akan membiarkan keraguan menguasaiku dan membuatku beubah pikiran lagi. Itulah sebabnya aku datang ke kantor Nick siang ini, berniat menemuinya lebih cepat. Masih ada sedikit keraguan di hatiku, tetapi aku tidak akan membiarkannya memengaruhiku. Aku hanya perlu bertemu dengan Nick dan memberitahunya tentang keputusanku, lalu semuanya akan baik-baik saja. “Selamat siang.” Aku menyapa resepsionis yang duduk di balik mejanya. “Namaku Millie Victoria dan aku ingin bertemu dengan Nick Darren….” Gadis muda berpotongan rambut pendek itu tersenyum ramah kepadaku. “Apakah Anda sudah membuat janji temu dengan Mr. Darren, Ms. Millie??” Aku tertegun. Astaga, tidak terpikir olehku sebelumnya untuk membuat janji temu dengannya. “Mm, begini,” ucapku rikuh, “aku minta maaf karena aku belum membuat janji temu dengannya sebelumnya. Tapi, tidak bisakah Anda menghubunginya dan memberitahu dia bahwa aku ingin bertemu sebentar dengannya?” Aku berbicara dengan nada setengah memohon. “Kumohon,” pintaku. Gadis itu terdiam, menimbang-nimbang permintaanku. Lalu, aku tersenyum saat melihatnya meraih telepon dan menyambungkannya entah kepada siapa. Yang jelas, aku mendengarnya menyebutkan nama Nick Darren. Aku menunggunya dengan sabar sampai saat akhirnya gadis itu meletakkan kembali gagang telepon ke tempatnya dan berpaling kepadaku. “Mohon tunggu sebentar,” katanya sambil menunjuk ke sofa yang berada di sisi lain ruangan. Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Aku duduk di lobi dan menunggu selama beberapa menit sampai akhirnya perempuan di balik meja resepsionis itu memanggil namaku. Aku dipersilakan untuk menemui Nick di ruangannya. Dia memberiku instruksi untuk naik ke lantai 35. Aku tidak bisa menangkap hal lain yang dia katakan karena diriku terlalu fokus pada kata ‘lantai 35’ yang tadi kudengar. Mataku melebar seketika. Lantai tiga puluh lima? Ya Tuhan, aku takut ketinggian. Aku melirik ke arah lift yang ada di ujung lorong lalu menelan ludah. Sepi. Tidak ada seorang pun terlihat akan menggunakan lift. Itu artinya, aku akan berada di dalam lift menuju lantai tiga puluh lima sendirian? Bagaimana kalau sesuatu terjadi pada lift itu dan tidak ada seorang pun di dalamnya kecuali aku?Aku tidak ingin mengambil risiko. Aku tidak bisa memaksa diriku untuk bersikap lebih berani dan nekat naik ke lantai itu sendirian. “Maaf, Miss, aku memiliki masalah dengan ketinggian. Apa aku bisa meminta ditemani ke lantai tiga puluh lima?” Gadis itu menatapku dengan cara aneh, tetapi aku tidak peduli. Dia kemudian memanggil seorang petugas keamaan yang sedang berjaga di dekat pintu utama dan memintanya untuk menemaniku. “Terima kasih,” ucapku kepadanya, tulus. Kami sampai di lantai 35 tidak sampai lima menit. Laki-laki bertubuh tegap itu mempersilakanku keluar setelah pintu lift terbuka. Aku berjalan mengikuti instruksi gadis di bawah tadi menuju sebuah ruangan paling ujung yang berada di sisi kanan dan menemui seorang perempuan yang sedang duduk di balik meja kerjanya di depan ruangan yang menjadi tujuanku. Aku menduga perempuan itu adalah sekretaris Nick. Dia yang menyambutku dan mengantarku sampai ke depan pintu ruangannya sesaat setelah aku menjelaskan kepadanya tentang tujuanku. Dia mengetuk pintu ruangan Nick untukku dan tak lama kemudian terdengar seruan dari dalam yang mempersilakan kami untuk masuk. “Silakan masuk, Miss,” ujarnya seraya tersenyum kepadaku. “Terima kasih.” Aku balas tersenyum kemudian masuk ke ruangan Nick, sementara dia kembali ke mejanya setelah memastikan pintu tertutup rapat. Ruangan Nick cukup luas dan nyaman.Terdapat sebuah meja besar di ujung ruangan yang sejajar dengan pintu, tempatku berdiri saat ini. Nick duduk di balik meja itu, terlihat sibuk dengan berkas di mejanya. Tangannya sedang memainkan pulpen. Di hadapannya terdapat satu set sofa dan meja untuk menerima tamu. Ketika aku sedang mengamatinya, Nick mengangkat wajahnya dan menatapku dengan ketajaman matanya yang khas. Pandangan kami bertemu dan entah mengapa tiba-tiba jantungku berdebar kencang. Aku segera mengalihkan mataku untuk menatap apa saja yang bisa menyelamatkanku dari serbuan debaran jantung yang tak keruan ini. “Halo, Millie. Silakan duduk.” Aku mengangguk lalu segera duduk di sofa yang berada di tengah ruangan. Nick segera menghampiriku lalu duduk di hadapanku, terhalang meja rendah di depan kami. “Aku menduga kau sudah menerima tawaranku,” ujarnya. Aku tersenyum tipis. “Kelihatannya kau sangat yakin dengan dugaanmu itu,” sahutku. “Memang,” balasnya. “Karena aku tahu dugaanku benar. Ya, kan?” Aku mengedikkan bahu. “Aku tidak tahu apakah keputusanku ini tepat atau tidak,” tukasku. “Percayalah, kau sudah mengambil keputusan yang tepat, Millie.” Aku tersenyum kecut. “Aku berharap Kakek Ritchie tidak akan pernah tahu tentang semua ini.” “Tenang saja. Ini hanya akan menjadi rahasia di antara kita berdua.” Nick tersenyum. “Aku tahu kau tidak ingin membuatnya kecewa.” Aku hanya menanggapinya dengan senyum. “Kalau begitu, silakan baca ini.” Nick menyodorkan dua lembar kertas kepadaku. “Tambahkan persyaratan yang kauinginkan, kemudian tanda tangani,” sambungnya. Dua lembar kertas itu berisi kontrak pernikahanku dengan Nick. Aku membacanya dengan cermat dalam diam. - It is prohibited to notify this contract to anyone (Dilarang memberitahu isi kontrak ini kepada siapa pun) - Permitted physical contact in the presence of others as husband and wife (Dibolehkan kontak fisik sebagai suami istri selama diperlukan di hadapan orang lain) - It’s forbidden to invite other people into the house, in this case the lover (Dilarang mengundang orang lain ke dalam rumah, dalam hal ini adalah pasangan masing-masing) - Sleep in one room even if not in the same bed (Tidur dalam satu kamar walaupun tidak satu tempat tidur) - Money will be given after the contract is completed (Uang akan diberikan setelah kontrak selesai) - Not interfering in their respective affairs (Tidak mencampuri urusan satu sama lainnya) Masih ada beberapa poin yang tertulis. Aku membaca satu persatu dengan teliti dan menyetujuinya. Aku ingin menambahkan “dilarang untuk jatuh cinta”, tetapi aku urung melakukannya sebab larangan itu jelas-jelas secara khusus hanya berlaku untukku. “Apakah kau akan memberi tahu kekasihmu mengenai pernikahan kontrak ini?” tanya Nick. “Kau bilang, ini hanya akan menjadi rahasia di antara kita berdua,” sahutku. “Lagi pula, aku tidak memiliki kekasih.” “Sungguh?” “Mm,” gumamku sambil mengangguk. Nick hanya memiringkan kepalanya sambil tersenyum. Aku tidak tahu apa yang lucu dari ucapanku tadi, sampai-sampai membuatnya tersenyum seperti itu. Aku ingin bertanya, tetapi perhatianku teralihkan saat aku melihatnya membubuhkan tanda tangannya di lembar kertas kontrak tersebut.  “This is your ring.” Nick memberikan kotak perhiasan berwarna merah yang diletakkan begitu saja di atas meja dan membuatku tersenyum masam. Selama ini, aku membayangkan menerima cincin pertunangan dalam suasana yang romantis dan mengharukan. Dadaku sedikit sesak menghadapi kenyataan ini... tetapi, ya sudahlah. Aku mengambil kotak perhiasan itu dan langsung memasukkannya ke dalam tas tanpa merasa perlu melihatnya lebih dulu. “Kau tidak mau memakainya sekarang?” tanya Nick. “Memangnya, harus kupakai sekarang?” “Kenapa selalu menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan?” Dia menggerutu. “Aku akan memakainya nanti.” “Kau tidak mau melihat cincinnya lebih dulu? Kalau kau tidak suka, aku akan membelikan lagi yang baru yang sesuai keinginanmu.” Aku tersenyum tipis. “Apa pentingnya aku menyukai cincin ini atau tidak? Toh, pernikahan ini hanya pura-pura, Nick. Suka atau tidak, aku akan tetap memakainya.” Aku memperhatikan reaksinya. Nick tampak terkejut mendengar jawabanku, tetapi aku tidak peduli. “By the way, tentang pernikahannya nanti, aku sudah menunjuk sebuah Wedding Organizer yang akan mengurus semuanya, termasuk menyiapkan gaun pengantin untukmu. Kau hanya perlu bersiap diri dan waktu sesekali untuk fitting baju dan beberapa pendapat.” Aku menghela napas berat. Bukan pernikahan seperti ini yang kuinginkan. Aku bermimpi mengurus pernikahanku berdua dengan calon suamiku, memilih cincin dan gaun pengantin berdua, memilih jasa catering, konsultasi dengan Wedding Organizer, berdebat tentang design undangan, dan lain sebagainya. Sekali lagi, aku mengingatkan diriku semua itu hanya mimpi yang tak akan mungkin terwujud untuk saat ini. Terima saja, Millie. Ini sudah konsekwensi dari keputusan yang kau ambil. “Oke,” jawabku akhirnya. “Kau harus memakai cincin itu supaya Kakek merasa benar-benar yakin kalau aku sudah mengajakmu menikah dan kau setuju,” kata Nick. Aku mengangguk patuh. “Baiklah.” “Apakah kau tidak memiliki kata-kata lain selain ‘oke’ dan ‘baiklah’?” tanya Nick. Dia menaikkan sebelah alis dan memicingkan kedua matanya. “Apa yang ingin kau dengar?” balasku. “Dengar… Nick, aku melakukan ini karena aku menghormati Kakek Ritchie sebagai orang penting dalam hidupku. Seperti yang kau katakan kemarin, ini menjadi satu-satunya keinginan Kakek. Jika menikah denganmu bisa membuat Kakek Ritchie bahagia, aku akan melakukannya. Sebab apa yang kulakukan ini tidak ada artinya jika dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan Kakek untukku selama ini.” Nick terdiam mendengar balasanku. Di tengah keheningan, tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu. “Masuk!” Nick berseru, mempersilakan orang di luar sana untuk masuk ke ruangan. Muncullah seseorang yang wajahnya sangat familier dan tanpa kusadari sudah kurindukan. Kakek Ritchie tersenyum ke arahku. Aku membalas senyumnya dan sempat melihat Nick terkesiap lalu buru-buru menyembunyikan berkas kontrak kami. Dia menyimpan berkas itu di dalam map dan memindahkannya ke meja kerjanya kemudian bergegas menyambut Kakek Ritchie. “Kakek? Kenapa datang tanpa memberi kabar lebih dulu?” Alih-alih menjawab pertanyaan Nick, Kakek Ritchie justru berjalan menghampiriku sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. “Millie-ku,” ucapnya seraya memelukku,”Tentu saja cucuku ini terlihat semakin cantik saja setiap waktunya.” “Halo, Kakek Ritchie. Kau terlihat sangat ceria sekali.” Aku balas memeluknya. “Tentu saja aku ceria. Aku menemukanmu di kantor Nick. Apakah aku akan mendengar kabar baik hari ini?” Tatapan Kakek menyiratkan banyak arti, ditambah senyumnya yang terkulum penuh teka-teki. “Kabar baik apa yang ingin Kakek dengar?” sahut Nick sambil mengajak pria itu untuk duduk. “Millie Sayang, apakah Nick sudah bicara padamu tentang rencananya ingin menikah denganmu?” tanya Kakek tanpa basa-basi. “Apa dia sudah melamarmu?” Aku tersenyum tipis sambil mengangguk pelan dan melirik ke arah Nick. “Ya, Nick sudah melakukan keduanya, Kek.” Senyum pria tua itu mengembang lebar. “Dan, apakah kau menerimanya?” Aku terdiam selama beberapa saat untuk memperhatikan wajahnya yang terlihat sangat mengharapkan kabar baik dariku. Pria tua itu menatapku penuh antisipasi. Matanya yang tajam tak sedetik pun berpaling dariku. “Kenapa diam saja?” sergah Kakek. “Kau menerimanya, kan?” Akhirnya, aku mengangguk perlahan. Aku menyetujui kesepakatan itu, Kek. Kakek Ritchie mengembuskan napas lega. Raut wajahnya seketika berubah, terlihat cerah dan matanya tampak berbinar. Kakek menarikku ke dalam pelukannya sekali lagi lalu mencium lembut puncak kepalaku. “Tapi, aku tidak melihat cincin pertunangan kalian, ”cetusnya, setelah melepaskan pelukannya. Aku terkesiap dan berpaling pada Nick, dia memberikan isyarat agar aku memakai cincin itu dan aku mematuhinya. Lalu dengan buru-buru, aku mengeluarkan cincin pemberian Nick dari dalam tasku dan menunjukkan jariku kepada Kakek. Dia mendecak kagum melihat cincin di tanganku. “Cincin yang indah sekali,” pujinya sambil menyentuh jemariku. Aku tersenyum kecut. Seketika, rasa bersalah itu menyusup ke hatiku saat melihat kebahagiaan Kakek dan membuat keberanianku untuk membalas tatapannya lenyap. Kakek Ritchie mengusap kepalaku dengan lembut. “Tapi,cincin itu tidak lebih cantik darimu,” ucapnya seraya mencolek ujung hidungku. Aku mengembuskan napas berat. Dia tidak tahu bahwa aku berusaha menutupi rasa bersalahku di balik seulas senyum yang kini tengah dilihatnya. ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD