3. Kawin Lari

677 Words
  “Ini daftar seserahan dari pihak saya, Pak. Boleh dicek lagi barangkali ada yang bapak tidak suka.” Bagus menyerahkan buku catatan yang diterima Juragan Darno dengan senyum mengembang. Pria satu anak itu tampak meraih kacamata dari saku baju, lalu mulai menyusuri isi buku yang ditulis dengan tinta hitam.   Hening sesaat selama Juragan Darno membaca, Bagus menyeruput teh manis hangat. Sambil melirik Juragan Darno yang sesekali mengerutkan alis. Pemuda itu sudah banyak mendengar tentang sifat Juragan Darno yang terkenal pencinta uang, terutama tentang kriteria tinggi untuk calon menantu yang Kepala desa itu tetapkan. Bagus menganggap itu hanya karena pria itu ingin memastikan putrinya hidup bahagia dan tidak kekurangan.   Menyadari hal ini, Bagus pun tidak tanggung-tanggung dengan mahar yang akan ia serahkan. Ia ingin membuktikan jika ia serius dengan Laila, ia juga ingin membuat Juragan Darno merasa tenang karena ia berani menjamin Laila tidak akan kekurangan sesuatu apapun. Sebagai anak tunggal, orang tua Bagus selalu mengupayakan yang terbaik baginya. Untuk pernikahan ini, orang tua Bagus tidak keberatan menjual beberapa harta bendanya demi mewujudkan pernikahan impian. Toh, harta mereka tidak akan habis meski Laila meminta pesta mewah selama tiga hari tiga malam.   “Perabot rumahnya banyak banget, Nak Bagus? Bukannya beberapa sudah dimiliki?” Juragan Darno menyuarakan pendapatnya setelah membaca daftar tersebut.   “Niatnya untuk mengisi rumah baru kami, Pak. Saya sudah dapat pekerjaan mapan di Kota, selama ini saya indekost, tapi setelah menikah nanti orang tua saya sudah menyiapkan rumah untuk saya dan Laila.” Decak kagum terdengar dari mulut pekerja Juragan Darno yang mencuri dengar obrolan keduanya dari dapur.   Juragan Darno menganguk puas, lalu meletakkan  daftar seserahan di atas meja kayu. Ia merasa tenang jika Laila menikah dengan Bagus, putrinya itu pasti tidak akan hidup kekurangan. Keduanya lanjut mengobrol membahas pesta, hari mulai siang ketika Bagus akhirnya pamit karena harus segera mengurus pekerjaan di kota.             Laila mempercepat langkahnya pos ronda, Rahmadi berjanji akan menunggu gadis itu sore ini, beruntung Juragan darno sedang pergi menengok panen di salah satu sawah sehingga gadis itu bisa bebas keluar.Setelah lamaran Rahmadi temp hari, Laila merasa bapaknya itu menjadi lebih protektif. Biasanya, bapaknya tidak akan peduli jika tidak mendapati Laila di rumah, tapi ini Juragan Darno selalu membuat Laila berada dalam radar pengawasannya. Hal ini mengakibatkan Laila sulit menemui Rahmadi.     “Maaf, Mas. Aku harus nunggu Bapak pergi dulu.” Laila memandang kekasihnya penuh rindu. Beruntung pos ronda terletak jauh dari rumah warga sehingga mereka tidak perlu khawatir akan ada yang melapor pada Juragan Darno.   “Gimana keadaan kamu, Dik? Mas dengar pagi tadi kakak kelasmu itu datang lagi untuk membahas seserahan,” ujar Rahmadi lesu. Ia sudah mendengar tentang mahar fantastis dan seserahan lengkap yang disiapkan untuk Laila, tentu berbeda jauh dengan Rahmadi yang hanya bermodalkan keberanian.   “Aku baik-baik aja,  Mas.” Laila memutuskan untuk tidak menjawab pertanyaan mengenai Bagus demi menjaga perasaan Rahmadi. Laila tahu, kekasihnya itu sedang berperang batin dengan perasaan rendah diri karena merasa tidak sebanding dengan Bagus.   “Dik, bagaimana kalau kita kawin lari?” Rahmadi menatap kekasihnya putus asa, rasanya terlalu sulit untuk memilik gadis itu di desa ini, Terlalu banyak pagar yang memisahkan cinta keduanya.   “Kawin lari, Mas?” ujar Laila ragu. Ia tahu ide itu terdengar sangat gila tapi Laila juga tidak mungkin terang-terangan mengatakan hal itu pada Rahmadi, pasti pria itu akan sangat terluka dengan kejujuran tersebut.   “Nggak lama, hanya sampai kamu hamil atau anak kita lahir. Kalau sudah begitu bapakmu pasti akan setuju,” bujuk Rahmadi penuh harap.   Laila meremas roknya, hatinya bingung harus memilih yang mana. Di satu sisi, Laila sangat mencintai Rahmadi, tapi ia juga tidak tega meninggalkan bapak seorang diri. Pria itu tetaplah ayahnya, manusia yang rela mengengam bara api demi menghidupinya selama ini. Laila tidak bisa bertindak kurang ajar dengan meninggalkan orang tuanya demi cinta. Laila juga tidak bisa mengungkapkan isi pikirannya pada Rahmadi, pria itu bisa saja kecewa dan malah balik menuduh Laila tidak mencintainya. Posisinya sungguh tidak menguntungkan, seperti berdiri bibir jurang dengan sebuah batu yang mengelinding ke arahnya. Jika terjatuh ia akan mati, namun berdiam diri ia juga akan mati terlindas batu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD