4. Prahara

1321 Words
  “Maaf, Mas. Aku harus nunggu Bapak pergi dulu.” Laila memandang kekasihnya penuh rindu. Beruntung pos ronda terletak jauh dari rumah warga sehingga mereka tidak perlu khawatir akan ada yang melapor pada Juragan Darno.   “Gimana keadaan kamu, Dik? Mas dengar pagi tadi kakak kelasmu itu datang lagi untuk membahas seserahan,” ujar Rahmadi lesu. Ia sudah mendengar tentang mahar fantastis dan seserahan lengkap yang disiapkan untuk Laila, tentu berbeda jauh dengan Rahmadi yang hanya bermodalkan keberanian.   “Aku baik-baik aja,  Mas.” Laila memutuskan untuk tidak menjawab pertanyaan mengenai Bagus demi menjaga perasaan Rahmadi. Laila tahu, kekasihnya itu sedang berperang batin dengan perasaan rendah diri karena merasa tidak sebanding dengan Bagus.   “Dik, bagaimana kalau kita kawin lari?” Rahmadi menatap kekasihnya putus asa, rasanya terlalu sulit untuk memilik gadis itu di desa ini, Terlalu banyak pagar yang memisahkan cinta keduanya.   “Kawin lari, Mas?” ujar Laila ragu. Ia tahu ide itu terdengar sangat gila tapi Laila juga tidak mungkin terang-terangan mengatakan hal itu pada Rahmadi, pasti pria itu akan sangat terluka dengan kejujuran tersebut.   “Nggak lama, hanya sampai kamu hamil atau anak kita lahir. Kalau sudah begitu bapakmu pasti akan setuju,” bujuk Rahmadi penuh harap.   Laila meremas roknya, hatinya bingung harus memilih yang mana. Di satu sisi, Laila sangat mencintai Rahmadi, tapi ia juga tidak tega meninggalkan bapak seorang diri. Pria itu tetaplah ayahnya, manusia yang rela mengengam bara api demi menghidupinya selama ini. Laila tidak bisa bertindak kurang ajar dengan meninggalkan orang tuanya demi cinta. Laila juga tidak bisa mengungkapkan isi pikirannya pada Rahmadi, pria itu bisa saja kecewa dan malah balik menuduh Laila tidak mencintainya. Posisinya sungguh tidak menguntungkan, seperti berdiri bibir jurang dengan sebuah batu yang mengelinding ke arahnya. Jika terjatuh ia akan mati, namun berdiam diri ia juga akan mati terlindas batu.   ***   “Bagaimana, Dik?” Rahmadi terus mendesak Laila untuk segera menjawab.   “Haruskah kita kawin lari, Mas? Tidak ada jalan lain untuk kita bersatu? Pasti ada, kan. Mari kita pikirkan dengan kepala dingin, jangan mengambil keputusan yang nantinya akan kit sesali, Mas.” Laila mencoba menenangkan Rahmadi, napas pria itu tampak memburu dipenuhi ketidaksabaran.   “Cara apa lagi yang kamu maksud? Bapakmu itu tidak akan merestui kita karena aku orang miskin. Apa lagi yang kau cemaskan, Laila? Bukannya kamu mencintaiku? Ini satu-satunya cara agar cinta kita bisa bersatu. Mari pergi denganku, Laila.” Rahmadi meraih  tangan halus kekasihnya itu, ini satu-satunya cara yang ia yakini mampu menyelesaikan permasalahan keduanya. Karena itu Rahmadi berusaha sangat keras untuk membujuk Laila, ia amat mencintai gadis itu, Rahmadi bisa mati berdiri jika melihat Laila bersanding dengan lelaki lain.   “Kamu lagi emosi, Mas. Pasti ada cara untuk kita bersama, sekarang lebih baik Mas pulang dulu untuk menenangkan diri. Jangan khawatir, Mas. Cuma kamu yang aku cintai,” ujar Laila sambil berlalu, Rahmadi tidak dalam posisi siap untuk mendengarkan alasan Laila, satu-satunya yang bisa gadis itu berikan adalah waktu bagi kekasihnya untuk menenangkan diri. Rahmadi memandang kepergian pujaan hatinya dengan perasaan hancur, pikirannya kini dipenuhi dugaan jika Laila tidak benar-benar mencintai dirinya. Rahmadi jauh kalak telak jika dibandingkan dengan Bagus, pria yang melamar Laila tempo hari. ***   “Wah, memang beda ya kalau pernikahan orang berduit itu,” ujar seorang wanita memulai topik perbincangan, tangannya tetap terampil mengupas ketela pohon yang akan dijemur lalu dijadikan gaplek.   Seperti musim-musim panen yang lalu, para juragan tanah mempekerjakan buruh tani untuk membantu panen. Sementara kaum lelaki mencabut pohon ketela, para wanita berkumpul di bale-bale sambil mengupas ketela pohon dan menyusunnya di atas sebuah terpal lebar agar terkena sinar matahari secara merata. Disela-sela kesibukan mengupas ketela pohon, para wanita biasanya membunuh bosan dengan bercakap-cakap, mulai dari harga bawang di pasar, kebiasaan suami mereka yang menyebalkan, atau gosip lain seperti berita pernikahan Laila dengan seorang pemuda dari kota.   “Bukannya Laila dulu sempat dekat dengan Rahmadi?” Sahut wanita lainnya.   “Rahmadi? Anak yatim itu?” sahut wanita yang pertama dan diangguki teman bicaranya.   “Kabarnya Rahmadi sempat berhutang untuk modal melamar Laila, sayangnya Juragan Darno sudah terlanjur menerima lamaran orang kota itu. Bahkan Juragan Darno langsung mengusir Rahmadi, makanya dia nggak pernah keliatan lagi di rumah Juragan. Suami saya kan yang gantiin cari rumput untuk sapi dan kambing Juragan Darno,” jelas ibu itu penuh semangat, sementara yang lain mendengarkan sambil memasang raut terkejut.   “Nekat betul bocah yatim piatu itu. Harusnya Rahmadi cukup sadar diri dengan posisinya.” Komentar wanita lain yang mereka angguki bersama.     *** Sementara itu Rahmadi tengan menata beberapa pakaiannya ke dalam tas, tidak banyak yang bisa ia bawa karena memang tidak banyak yang berharga di rumahnya. Tekadnya sudah bulat untuk mengajak Laila kawin lari, dengan sedikit modal dari tabungannya dan hasil pinjaman. Rencananya malam ini Rahmadi akan melaksanakan rencananya, malam ini tidak ada warga yang berjaga ronda. Ia dan Laila bisa dengan mudah meninggalkan Desa Sukatani tanpa takut diketahui penduduk lainnya.   Siang tadi Rahmadi sudah mengunjungi makam orang tuanya untuk berpamitan dan meminta restu. Ia sengaja memilih siang hari agar tidak bertemu warga lainnya. Berita tentang lamarannya yang ditolak Juragan Darno sudah tersebar, ia tidak ingin bertemu warga yang akan menceramahinya tentang sadar diri dan perbedaaan kasta yang terbentang antara Laila dan dirinya. Rasa cintanya tumbuh begitu saja, sejak ia melihat senyum gadis itu pertama kalinya di sawah saat musim panen padi. Rahmadi yakin Laila adalah jodohnya, ia bahagia hanya dengan membayangkan pulang ke rumah disambut senyum manis Laila. Mereka mungkin akan memiliki dua anak perempuan yang mewarisi kecantikan Laila, sungguh indah bayangan masa depan bersama Laila.   Suara jangkrik bersahut-sahutan, binatang malam itu sudah memulai konser musik sejak tadi. Cuaca malam ini cukup cerah, Rahmadi tersenyum karena semesta mendukung rencananya. Dengan mengendap-endap, pemuda itu akhirnya tiba di rumah Juragan Darno. Pemuda itu memilih jalan memutar menghindari kandang kambing, ia takut hewan-hewan itu akan berisik dan membangunkan pemilik rumah.   Rahmadi tiba di depan jendela kamar Laila, lampu kamarnya masih menyala. Rahmadi tahu Laila punya kebiasaan membaca buku sebelum tidur, dengan pelan pria itu mengetuk jendela kamar Laila. Gadis itu tampak terkejut saat mendapati Rahmadi berdiri di depan jendela kamarnya. Setelah memeriksa sekeliling, Laila menginjinkan Rahmadi untuk masuk ke kamarnya, dengan sekali lompatan Rahmadi berhasil masuk ke kamar Laila.   “Mas kok bisa ada di sini?” Tanya gadis itu setengah berbisik, bapaknya memang sudah pamit tidur beberapa saat lalu, namun Laila tidak ingin membuat keributan yang bisa membangunkan bapaknya.   “Kemasi barang-barangmu, Dik. Bawa seperlunya saja, kita tidak akan pergi lama.”   Laila mundur dua langkah karena terkejut dengan ucapan Rahmadi.   “Apa maksudmu, Mas? Pergi ke mana?” Cerca Laila kebingungan.   “Tidak ada banyak waktu, Dik. Segera kemasi barang-barangmu, nanti Mas jelaskan di perjalanan.” Rahmadi menarik Laila ke depan lemari pakaian untuk mengambil beberapa pakaian. Laila yang baru menyadari maksud Rahmadi segera menghentikan kegiatan Rahmadi memasukkan pakaiannya ke dalam tas.   “Mas! Kamu serius dengan ide itu? Kamu benar-benar serius?” Tanya Laila dengan mata berkaca-kaca.   Rahmadi bergerak hendak merengkuh Laila tapi gadis itu lebih dulu menghindar.   “Mau bagaimana lagi, DIk? Hanya ini satu-satunya cara yang kita miliki. Bapakmu sudah tetap dengan keputusannya untuk menikahkan kamu dengan Bagus. Mas lebih baik mati daripada melihat kamu menikah dengan orang lain.” Keputusasaan jelas terdengar dalam suara Rahmadi.   “Nyebut, Mas! Ingat masih ada Yang Maha Kuasa!”   “Apa kamu punya cara yang lebih baik dari ini, Dik? Tidak ada. Aku hanya tidak sanggup kehilangan kamu, Dik.”   “Lalu bagaimana dengan Bapak, Mas? Mas tidak memikirkan perasaanku? Bapak sudah tua, Mas. Beliau pasti terluka jika aku kabur, hanya BApak satu-satunya orang tuaku yang tersisa, Mas. Aku tidak ingin menjadi anak durhaka,” jelas Laila sambil berurai air mata. Rahmadi terduduk di tempatnya, hatinya hancur mendengar keputusan Laila.   “Apa kamu tidak mencintaiku, Dik? Apa kamu takut meninggalkan semua kemewahan ini untuk pergi bersamaku? Bukannya kita sudah berjanji untuk bersama? Aku janji kita tidak pergi lama, Dik. Setelah menikah kita akan kembali lagi, kamu bisa merawat bapakmu setalah itu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD