2. Laila Dilamar

1236 Words
“Katanya begitu, Bu.”   “Memang nasib baik tuh si Laila.’   “Anaknya memang baik, Pak. Beda dengan bapaknya yang sombong.”   Desa Sukatani terletak di Kecamatan Karangasem, Wonogiri. Terdiri dari lima desa kecil, membuat kejadian dari satu desa cepat tersebar ke desa lainnya. Tidak terkecuali berita lamaran Laila. Pasar rakyat adalah tempat rumor itu terdengar. Di Kecamatan Karangasem, pasar hanya buka pada hari dengan pasaran Pon dan Kliwon. Hal ini berdasarkan sistem penanggalan jawa. Masyarakat Karangasem memang masih menjujung tinggi adat istiadat Kejawen. Karenanya pada hari-hari tersebut pasar di Kecamatan Karangasem selalu ramai, baik para petani yang ingin menjual hasil bumi mereka atau ibu-ibu yang berbelanja demi kebutuhan dapur.   Gosip tentang lamaran yang diterima Laila, sampai ke telinga Rahmadi. Ia tengah memindahkan setumpuk karung berisi padi, ketika telinganya tidak sengaja mendengar obrolan sekelompok kuli panggul yang tengah beristirahat sambil menyesap kopi hitam.   Hatinya terasa panas mendengar berita tersebut. Baru dua hari yang lalu Laila berjanji akan menunggu Rahmadi mengumpulkan modal. Bahkan menawari dana tambahan sebagai modal melamar. Bisa-bisanya gadis itu malah menerima pinangan lelaki lain. Rahmadi dengan segera menyelesaikan pekerjaannya. Rahmadi bahkan rela berhutang demi niatnya melamar Laila. Ia menumpang sebuah mobil colt untuk membawanya ke Desa Sukatani. Ia harus segera menemui Laila untuk memastikan semua berita yang ia dengar di pasar.   Butuh sekitar satu jam hingga angkutan itu tiba di desa Sukatani. Setelah menyerahkan ongkos perjalanan, Rahmadi memacu langkahnya menuju rumah Juragan Darno. Ia harus bertemu Laila langsung, ia ingin mendengar semua ini hanyalah kebohongan.   “Mas!” Pekik Laila, ia langsung memeluk Rahmadi, tidak peduli jika tubuh pria itu penuh keringat. Rahmadi hampir terjatuh karena beban tubuh Laila, beruntung sebelah tangan pemuda itu sigap meraih tiang kandang untuk menyeimbangkan diri. “Gimana ini, Mas? Aku nggak tahu kalau yang datang Mas Bagus. Bapak sudah terlanjur menerima, bapak cuma tahu akan dilamar. Jadi bapak pikir orang itu ya Mas Bagus. Aku nggak mau nikah sama dia,” ujar Laila lirih, mata gadis itu tampak berkaca-kaca.   “Mas lega karena ini cuma salah paham, paling tidak Mas tahu kamu nggak mengkhianati Mas,” kata Rahmadi seraya mengusap buliran bening yang membasahi pipi Laila.   Perkataan Laila barusan seperti air es yang mengguyur api amarah dalam kepala Rahmadi, ia terus mengelus surai hitam Laila. Gadis itu masih tergugu, menyesali keputusannya kemarin yang tidak langsung melihat pemuda yang melamar dirinya.   Setelah tangis Laila mereda, Rahmadi ijin pamit. Ia perlu menyiapkan beberapa hal untuk lamaran nanti  malam. Meski saingannya jauh lebih mapan, Rahmadi yakin ketulusannya akan mampu melunakkan keras hati Juragan Darno.   ***   “Coba ulangi perkataanmu barusan,”  ujar Juragan Darno seraya mengeram.   “Kedatangan saya ini, bermaksud melamar Laila. Meski saya cuma buruh tani-“   BRAKK!!   Juragan Darno mengebrak meja kayu di hadapannya, Laila memekik ketakutan lalu mulai menangis.   “Cah gendheng! Pikiranmu nyandi?” (Bocah gila! Akal sehatmu kemana?)   Rahmadi tersentak mendengar makian Juragan Darno, hatinya terasa panas, tapi ia herus bersabar demi Laila. Ia melirik Laila sekilas, ia mengangguk seraya tersenyum untuk meyakinkan Laila bahwa ia tidak apa-apa.   “Kamu cuma buruh tani yang SD saja nggak tamat, rumah peninggalan kakek buyutmu itu bahkan sudah doyong dan bias terbang kapan saja. Bisa-bisanya kamu mengajak anak saya untuk tinggal di gubuk reyot begitu? Mau makan apa anak saya?” Juragan Darno berapi-api. Laila adalah putri tunggalnya, ia mengirim putrinya itu berkuliah di kota agar kehidupan anaknya kelak lebih baik. Ia tidak ragu membelikan boneka mahal yang tidak dimiliki anak-anak lain karena harganya yang mahal, ia bahkan menyiapkan baju terbaik untuk selalu dikenankan outri kesayangannya itu. Setelah semua yang ia berikan untuk Laila, bagaimana ia tidak marah ketika pria yang hanya bermodal cinta ini meminta putrinya untuk dinikahi?   “Pak, Laila cinta sama Mas Rahmadi. Tidak masalah kalau –“   “Tidak masalah katamu? Nduk, sepanjang hidup bapak, bapak selalu berusaha memastikan kamu hidup bahagia dan berkecukupan. Cinta? Coba kamu ke pasar, beli beras pakai cinta! Bapak sekolahkan kamu tinggi-tinggi bukan untuk melawan bapak!” Hardik Juragan Darno, Laila tergugu di tempatnya.   Laila tahu, meski kerap dianggap sombong oleh banyak orang, bapaknya adalah pria yang hangat pada keluarga. Ia tahu bapaknya khawatir karena kondisi ekonomi Rahmadi, tapi untuk sekali ini saja. Laila ingin bapaknya mengerti kalau kebahagiaan tidak diukur dari harta.   “Masuk kamarmu!” Bentak Juragan Darno seraya menarik Laila untuk bangkit, setengah menyeret ia membawa putrinya itu ke kamar. Sebelum pergi pria itu sempat mengunci pintu. Tidak peduli pada teriakan pilu anaknya, semua ini ia lakukan demi kebahagiaan putrinya.   Juragan Darno kembali ke ruang tamu, ia menemukan Rahmadi masih duduk di kursinya. Hal itu sontak menyulut amarah Juragan Darno. Dihampirinya pria itu, dengan sekuat tenaga ia menarik tubuh pemuda itu. Didorongnya Rahmadi hingga jatuh tersungkur.   “Pergi! Saya nggak sudi melihat mukamu. Mulai hari ini, jangan pernah muncul lagi di hadapan saya atau putri saya.”   Dengan menahan nyeri, Rahmadi bangkit. Ia meninggalkan rumah kepala desa itu dengan hati dipenuhi dendam. Kalau boleh meminta, ia bahkan tidak sudi dilahiran di keluarga miskin dan serba kekurangan. Ia juga ingin hidup penuh gelimangan harta sehingga ia juga bisa bersekolah tanpa perlu memikirkan biaya. Sepanjang perjalanan pulang, perkataan Juragan Darno terus terngiang di kepalanya. Hatinya terasa sakit, ia kesal karena hinaan itu. Tetapi, ia lebih kesal karena semua yang diucakan Juragan darno adalah fakta.   Ia memang hanya tamat sekolah dasar, bapaknya meningal sewaktu Rahmadi akibat jatuh dari pohon kelapa. Beberapa bulan kemudian, ibunya ditemukan gantung diri di sawah. Rahmadi kecil diurus oleh pamannya. Setelah bisa bekerja, Rahmadi tidak mau lagi menjadi beban untuk pamannya. Begitulah selama ini Rahmadi hidup, dengan mengandalkan tenaganya untuk dijual orang lain.   “Takdir sialan!” Rahmadi menendang pintu rumahnya hingga berderit, tidak peduli jik arumah itu mungkin roboh dan menimpa dirinya. Sekalian saja biar dia membusuk diantara tumpukan kayu lapuk, menjadi makanan rayap daripada terhina karena perasaannya dianggap tidak tulus. Rahmadi mencintai Laila, sangat mencintai gadis itu. Ia siap bekerja keras untuk menghidupi Laila. Tidak peduli jika seluruh tulang tubuhnya akan hancur, tidak peduli jika kulit tangannya akan berubah sekeras batu. Ia rela melakukan apapun untuk Laila, untuk memastikan gadis itu hidup dengan baik.   Kursi kayu berdecit menerima bobot tubuh Rahmadi. Seolah protes karena beban itu terlalu berat untuk usia rentanya. Rahmadi meringis, menyadari kursi itu bahkan lebih tua dari usianya. Ia beralih mengamati seluruh penjuru rumah tua yang lebih pantas disebut gubuk, satu-satunya peningalan orang tuanya yang tersisa.   Rumah itu berukuran 4x5 meter, dengan dinding yang terbuat dari gedhek. Batang bamboo muda yang dipotong menjadi suwiran tipis dan panjang, lalu dianyam dengan teliti. Cahaya matahari menerobos sela-sela anyaman, begitu pula dengan cuaca dingin di malam hari. Rumah itu memiliki tiga ruang. Satu kamar tidur untuk Rahmadi, dapur dengan tungku tanah liat yang menyatu hanya dibatasi sebuah tirai, lalu sedikit ruang yang biasa digunakan jika ada yang berkunjung. Sebuah karung besar dibentangkan di dinding dapur ntuk menutupi anyaman bambu yang melorot karena bagian bawahnya patah akibat lapuk.   Rahmadi juga menyadari beberapa genting di rumahnya itu sudah minta diganti. Setiap kali hujan turun, bocor diberbagai penjuru. Ia harus bergerak cepat menadatngi tumpahan air itu atau rumahnya akan berubah menjadi rawa-rawa. Lantai rumah itu memang masih kayu, tidak seperti rumah warga ;ain yang sudah dilapisi dengan ubin atau minimal plesteran semen sehingga tidak berdebu. Detik selanjutnya Rahmadi tertawa, ia menyadari dirinya memang pantas dihina. Ia merasa akal sehatnya memang sudah hilang. Bagiamana bisa ia membiarkan wanita yang ia cintai hidup dalam kesengsaraan ini? Benar, ia hanya akan membuat Laila menderita jika menikah bersamanya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD