2. Teman Lama

1248 Words
Keduanya berpelukan untuk sejenak. Menyadari jika wanita di hadapannya kini tengah hamil, Frans mengedarkan pandangan. "Kita harus ngobrol, Sel. Di mana suamimu? Aku tidak mau dituduh sebagai laki-laki pengganggu ...," ucap Frans memutar bola matanya. "Itu ...." Sepertinya Frans menyadari ada hal yang harusnya tidak ia tanyakan kepada wanita itu. "Sorry. Aku minta maaf. Aku sudah menyinggungmu," lirih Frans yang tiba-tiba tidak enak. "Tidak apa. Aku hanya tidak ingin membicarakan orang itu. Terlalu menyakitkan saat mengingatnya," ungkap Selena. Wanita itu duduk di kursi tunggu yang ada di sana. Tidak ia sangka, Frans ikut duduk di sampingnya. "Apa kamu keberatan jika aku duduk di sini?" tanya Frans pelan. Selena menggelengkan kepala tanda ia baik-baik saja dengan hal itu. "It's oke. Ini tempat umum, Frans." Selena menjelaskan. Keduanya duduk dalam diam. Selena tidak tahu harus memulai dari mana. Sudah lama sekali ia tidak bertemu dengan orang itu. Ingatan akan pertemuan dulu juga hanya samar-samar saja. Akan tetapi, laki-laki itu sudah sangat baik untuk mau menyapanya yang sendirian di sana. Frans bisa saja diam dan pura-pura tidak mengenalnya. "Kamu terlihat tidak nyaman denganku. Kalau aku menggangumu, aku minta maaf, Sel." Frans berdiri dan menjauh. Selena bahkan tidak berniat untuk menahannya. Ia hanya memandang punggung Frans yang semakin jauh, sampai akhirnya laki-laki itu masuk ke dalam lift yang ada di ujung lorong. Lantai tiga. Laki-laki itu pergi ke atas sana. "Huuufftt ... moodku buruk sekali. Sorry Frans. Mungkin lain kali," ungkap Selena lemas. Setelah menunggu beberapa saat, petugas resepsionist memanggil nama Selena. Wanita itu berdiri dan menjatuhkan sesuatu. Seseorang yang duduk di sampingnya mengambilkan lembaran kertas yang terjatuh itu. "Ah, thank you ...," ungkap Selena kepada pemuda tersebut. Orang tadi tersenyum dan kembali memainkan ponselnya. Selena bergegas menuju meja pendaftaran. Ia menerima kartu periksa dan nomor antrian untuk pemeriksaan kandungan. "Untuk menuju ke ruang Dokter Maurice, Anda bisa naik ke lantai dua lalu mengikuti papan nama yang tersedia seperti itu, ya ...," jelas petugas di hadapan Selena itu seraya menunjukkan papan nama yang ia maksud. Selena berterima kasih dan menjauh dari sana. Rupanya ia harus naik dulu ke lantai dua. Selena melihat-lihat kartu berobat yang diberikan atas namanya. Tanpa sengaja, ia kembali melihat lembaran kertas yang tadi sempat terjatuh. Seketika itu juga ia baru ingat kalau sebelumnya ia tidak membawa kertas apa-apa. Di dalam lift, Selena membuka lembaran kertas itu. Betapa kagetnya Selena saat melihat nama yang tidak ia kenal tertera di sana. Karena perlu mengetahuinya lebih lanjut, Selena membacanya hingga akhir. Rupa-rupanya lembaran kertas itu milik Frans. Teman lama yang tadi bertemu denganya. Ting~ Suara lift menyadarkan Selena. Ia melangkah keluar dan hampir saja menabrak seseorang karena tidak fokus ke depan. Untungnya orang itu lebih dulu berhenti. "Maaf." Selena kembali menjauh. Ia menyimpan dulu lembaran kertas tadi ke dalam tas tangan yang ia bawa. Mungkin Selena akan menitipkannya ke ruang informasi atau ke resepsionis yang tadi. *** Di dalam ruangan Dokter Maurice. Selena masih berbaring di atas ranjang periksa yang tersedia di sana. Di sampingnya, ada seorang dokter muda tengah mengamati layar monitor dengan seksama. "Good. Sejauh ini kandungan Anda baik-baik saja. Berat janin Anda normal untuk usianya saat ini. Pertumbuhanya baik, Nyonya." Dokter Maurice menjauhkan transduser dari atas perut Selena dan juga membersihkan gel sisa pemeriksaan tadi. "Terima kasih, Dok. Oya, saya masih punya vitamin dari dokter saya di Indonesia. Apakah dilanjutkan saja atau saya akan mendapat yang baru?" tanya Selena. Ia merasa sayang karena vitamin itu baru ia makan empat buah. "Boleh saya melihatnya?" tanya Dokter Maurice kemudian. Selena mengangguk dan memberikan vitaminnya kepada dokter itu. Dokter Maurice menerima dan mengamati vitamin yang Selena maksud. Untuk beberapa saat ia mengamati vitamin-vitamin yang ada tiga jenis itu. "Yang ini ... apakah Anda ada kesulitan makan?" tanya dokter muda itu seraya mengangkat satu botol obat. Selena mengingat kembali dirinya saat di Indonesia kemarin. Ia memang kesulitan makan karena semua masalah yang ia hadapi. Ia tidak punya nafsu makan sedikitpun. Dan hal itu pasti menjadi kekhawatiran dokter kandungannya. "Ya, saya mengalami kesulitan makan beberapa waktu lalu ...," ungkap Selena. "Oke ... kalau begitu, begini saja ... jika menurut Anda pola makan Anda sudah jauh lebih baik, Anda bisa berhenti mengkonsumsi vitamin yang itu. Karena sebenarnya, vitamin itu hanya untuk merangsang nafsu makan dan memberikan cukup nutrisi bagi ibu hamil," jelas Dokter Maurice. Selena mengangguk paham. Setelah puas bertanya-tanya tentang kehamilannya, wanita itu keluar dari ruang Dokter Maurice. Saat Selena sudah akan masuk lagi ke dalam lift, ia kembali teringat dengan lembaran kertas yang tadi ia temukan. Sebelum pulang tentu saja ia harus memberikan kertas itu kembali kepada Frans. Dari apa yang Selena lihat, kertas itu sangat penting. Di dalamnya ada data seorang wanita yang menurut Selena adalah keluarga dari Frans itu sendiri. Sesampainya di lantai tiga, Selena mengedarkan pandangan. Ia kembali mengeluarkan lembaran kertas tadi dan dan mengamati isinya. Wanita bernama Lily Smith itu berada di kamar 102. Untungnya di sana terdapat banyak tanda yang bisa mengarahkan pengunjung. Hal itu memudahkan Selena untuk menemukan kamar 102. Di depan kamar 102, Selena menghentikan langkahnya. Ia tidak punya hak apa-apa untuk masuk ke dalam sana dan mencari Frans. Jadi Selena memutuskan untuk duduk menunggu di depan ruangan saja. Selena juga tidak punya kesibukan apa-apa. Menurutnya, berada di tempat itu masih jauh lebih baik daripada pulang dan sendirian di rumah. Untuk mengisi waktu luang dan menunggu jam makan siang, Selena mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi Evelyn, kakaknya. "Hallo," sapa Selena pelan. Ia tidak ingin menarik perhatian siapa-siapa. "Hallo ... hai, bagaimana kabarmu?" tanya Evelyn setelah mendengar suara sang adik. "Baik, Kak. Aku sedang memeriksakan kandunganku. Kata dokter, ia juga sehat-sehat saja," ungkap Selena. "Baguslah kalau begitu. Eemm ... kakak tebak, kamu belum sampai ke rumahmu sendiri, ya? Apa Jean sedang bekerja?" tanya Evelyn memastikan. "Ya, dia sedang kerja. Mungkin nanti sore setelah ia pulang kerja, kami akan pergi ke rumah itu." "Ya, semoga kamu betah di sana. Kakak kenal beberapa tetanggamu nanti, seharusnya mereka orang baik." "Semoga ... oya ...." Sejenak Selena menghentikan kalimatnya. Tadi, ia ingin bertanya kabar tentang William dan keluarganya di sana, tapi buru-buru mengurungkan niat itu. Evelyn bisa ngamuk jika Selena masih memikirkan mereka. "Apa?" "Tidak ... aku ... tadi ketemu teman lama. Mungkin Kakak kenal dengan Frans?" tanya Selena ragu. Sepertinya Evelyn diam karena turut mengingatnya. "Oh! Ya. Aku ingat. Dia juga seorang dokter, kan? Apa dia masih bekerja di rumah sakit?" tanya Evelyn memastikan. "Tidak tahu, kak. Aku bertemu dengannya di klinik tadi pagi. Dan ... dia tidak terlihat sedang bekerja. Sepertinya ia di sini karena ada keluarganya yang sakit." Selena mengingat nama belakang wanita yang ada di atas kertas tadi. "Sepertinya teman, kekasih, atau mungkin istrinya," ungkap Selena. "Benarkah ... sampaikan salamku jika kalian bertemu lagi. Dia laki-laki yang baik. Dan ... kalau wanita itu bukan saudarinya, kamu tahu cara menjaga jarak, kan?" Evelyn hanya tidak ingin adiknya kembali terjerumus ke dalam masalah yang sama. Terjebak dalam hubungan dengan laki-laki yang memiliki orang lain. "Aku tahu, Kak. Hal itu hanya akan menyakitiku pada akhirnya." Panggilan itu berakhir. Bertepatan dengan kemunculan Frans dari balik pintu lift. "Selena? Apa yang kamu lakukan di sana?" tanya Frans saat melihat teman lama yang mungkin menunggu dirinya. "Ini ... aku hanya ingin mengembalikan ini. Sepertinya milikmu," ungkap Selena. Frans semakin mendekat. Ia menerima lembaran kertas yang diberikan Selena padanya. "Wah ... aku mencarinya ke bawah. Terima kasih, ya!" "Dia ...." "Lily istriku. Kamu mau menemuinya di dalam?" tawar Frans kemudian. Selena merasa sakit. Tidak tahu kenapa, hal itu mengingatkannya lagi dengan hubungan William dan Tasya. "Kenapa aku selalu begini?" batin Selena pilu. [Bersambung]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD