Sendiri di Wina

1618 Words
"Meskipun agama Islam hanya menjadi minoritas, sebagaimana di negara-negara Eropa lainnya. Tetapi Islam telah mencatatkan sejarahnya yang panjang di sini bahkan Islam juga memiliki pengaruh yang besar bagi masyarakat kala itu," tuturnya dalam bahasa Jerman pada Dina yang sudah setengah jam menjajaki Vienna Islamic Centre dan dipertemukan dengan Aesha yang merupakan keturunan Turki dan lama tinggal di sini. Si perempuan cantik yang mungkin dalam sekejab dapat membuat lelaki mana pun jatuh cinta. Aah, ini lah kenapa Dina sangat menyukai orang-orang Turki. Tadinya, Vienna Islamic Centre ini memang menjadi salah satu tujuan Dina. Tapi karena tersasar, ia hampir menyerah dan memilih untuk pulang. Tapi di jalan, saat membantu seorang lelaki di jalan yang tak sengaja menabrak pohon di dekatnya dan menjatuhkan dagangannya, membawanya ke sini. Lelaki tadi adalah adik dari Aesha yang merupakan salah satu pengurus Islamic Centre ini. Kebetulan sekali kan? Karena ternyata Allah memberikan jalan yang lebih mudah untuk menemukan cahaya lain di Eropa. Yah, terkadang cara-Nya dalam menjadikan sesuatu yang awalnya tampak buruk dimata hamba-Nya, eh ternyata tidak seburuk itu. Karena Allah selalu menggantinya dengan cara yang lebih baik. Seperti sekarang. Kalau ia tidak tersasar dan tidak bertemu adiknya perempuan ini, mungkin ia tidak akan pernah tahu bahwa Islam sekeren itu di negara ini. "Islam datang ke Austria bersamaan dengan ekspansi kekuasaan Kesultanan Turki Usmaniyah. Pada abad 17 Masehi, pasukan Turki yang dipimpin Jenderal Kara Mustafa Pasha berhasil menduduki sebagian besar wilayah Kekaisaran Austria-Hungaria Raya yang diperintah oleh Dinasti Habsburg. Hanya tinggal ibukota Vienna yang belum berhasil ditakhlukkan," lanjutnya sambil menunjukan foto Istana Habsburg pada Dina yang kini terpukau. Ini tentu saja bukan untuk acaranya melainkan untuk menambah pengetahuan baru tentang sejarah Islam yang tak ia tahu. "Meskipun Vienna terkepung lama, akhirnya Vienna justru memenangkan peperangan atas bantuan dari pasukan gabungan antara Jerman dan Polandia. Walau ekspansi politik kekuasaan Turki terhenti, tetapi Islam berhasil menanamkan pahamnya kepada sebagian warga Austria. Tentu saja termasuk ibuku, yang merupakan warga Austria asli." Dina mengangguk-angguk. Ia hanya mengerti bahasa Jerman karena sejak kecil sering ke Jerman bersama papanya. Ia belajar sedikit berbicara bahasa Jerman dari papanya tetapi tidak fasih-fasih amat. Ardan lebih fasih darinya karena lelaki itu tentu saja punya tanggung jawab menjalankan amanat papanya untuk mengurus usaha keluarga mereka di luar negeri termasuk Jerman dan Belanda. "Bahkan sisa pasukan Turki juga banyak diantaranya yang menjadi warga Austria dan mewariskan generasi Islam secara turun-temurun. Merekalah kini warga keturunan yang masih memeluk akidah Islam dan menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari." "Ibumu Austria dan ayahmu Turki?" Aesha mengangguk. Ia mengajak Dina untuk duduk di ruang tamu usai memutari Islamic Centre. Kemudian mengambil minuman dan camilan untuk Dina. "Kau cukup pandai berbahasa Jerman," pujinya begitu melihat Dina meminum pemberiannya. Dina hanya terkekeh kecil. Ia hanya bisa berbicara yang mudah-mudah saja. Kalau berbicara seilmiah Aesha tadi, ia tak kan bisa meskipun paham apa yang dibicarakannya. Lagipula, kemampuan bahasa Inggris dan Jermannya cukup terpakai selama beberapa bulan belakang ini. Mengingat pekerjaannya yang menuntut. @@@ Kenapa Wina? Dina sempat menanyakan hal itu pada diri sendiri. Kenapa ia akhirnya memilih Wina sebagai tujuan akhir dari perjalannya menyambangi Eropa selama dua bulan ini. Memang bukan untuk pekerjaan tetapi untuk berwisata. Walau yah, dua bulan ini pun ia bekerja sambil berwisata. Tapi kenapa Wina? Tidak ada alasan khusus. Dina hanya tertarik begitu melihatnya di peta. Negara ini tidak masuk ke dalam destinasi pekerjaannya. Makanya ia menyempatkan diri untuk datang. Toh dengan pesawat dari Turki pun hanya dua jam. Tidak begitu jauh. Dan lagi, ia hanya tiga hari disini dan ini sudah menjadi hari keduanya. Ia sudah berkeliling dari kemarin dan malam ini hanya berniat bermalas-malasan di kamar hotelnya. Menikmati suasana malam di Wina sebelum esok akan terbang lagi. Ia akan kembali ke Indonesia dan mempercepat kepulangannya yang seharusnya masih beberapa hari lagi. Kenapa? Tidak ada apa-apa. Hanya lelah saja sejak kemarin. Karena ia menyeret koper besarnya sendirian kesana-kemari. Kesulitan mencari alamat hotel yang sudah jauh-jauh hari ia pesan. Selain itu, ia juga bosan berjalan-jalan sendirian. Inginnya mengajak Rain tapi gadis itu tak punya banyak uang untuk berjalan-jalan sejauh ini. Dan lagi ayahnya tak akan mengijinkan. Oh ya, sepulang dari Islamic Centre sore tadi, ia diantar oleh Aesha dan adiknya. Kakak-beradik itu sebetulnya menawarinya untuk berjalan-jalan keliling Wina tapi ia menolaknya. Walau ia tahu kalau mereka orang baik tapi bukan itu alasannya. Tiba-tiba saja Dina merasa sepi di Wina jadi lebih ingin sendiri. Lagi pula, ia sudah mendapatkan semua destinasinya disini. Jadi ia hanya akan istirahat hingga waktunya check out besok siang. @@@ "Was sind die Zutaten?" tanyanya. Si pramusaji langsung menjelaskan dengan detil bahan-bahan yang terkandung di dalam cheese cake yang dipesan Dina di restoran kecil, di dekat hotel. Dina hanya menganggukan kepala, ia hanya mengerti sebagian ucapannya. Walau mengambil kesimpulan, ini halal. Kemudian memakannya perlahan sebagai sarapannya dipagi hari. Dina melirik sekitar bangkunya yang sepi. Hanya ada beberapa pengunjung yang datang di pagi yang menjelang siang ini. Ia saja baru keluar meski sepagi tadi, ia sudah menyeduh mie instan yang dibawanya jauh-jauh dari Jakarta. Hanya tersisa satu lagi karena belasan lainnya sudah habis selama dua bulanan ini. Sebetulnya ia sangat menikmati makanan lokal masing-masing negara. Namun entah kenapa, selama dua bulan ini ia sangat pemilih. Seperti bukan Dina yang biasanya selalu makan apa saja dan ingin mencoba apa saja. Ia membuka ponselnya dan melihat pesan dari Ardan. Saudara kembarnya itu mengabari kalau tidak bisa menjemputnya besok malam karena mendadak harus berangkat ke Makassar bersama papanya. Ia hanya membalasnya dengan kata 'oke'. Mamanya mungkin juga tak akan bisa menjemputnya. Kenapa? Biasanya lebih memilih sibuk di rumah sakit. Walau terlihat cuek, tapi sebetulnya Aisha sangat perhatian. Baru saja ingin membuka **, mamanya muncul. Mengiriminya pesan yang bertanya jam berapa ia akan tiba di Jakarta. Dina termenung sebentar. Sepertinya ia akan tiba sangat malam. Sekitar jam 12 malam. Ia kasihan jika mamanya harus menjemputnya semalam itu. Maka itu ia membalas dengan mengatakan kalau akan meminta jemput Ferril saja. Lalu dengan cepat ia mengirim Ferril pesan yang langsung dibalas dengan kata 'oke'. Tumben, sebutnya dalam hati lantas terkekeh. Tapi memang sih, sejak dua tahun terakhir, semua sepupunya sangat pasrah ketika ia meminta sesuatu pada mereka. Mungkin karena patah hatinya yang membuat mereka semua kasihan dan sangat baik kepadanya? Ah, biasanya juga begitu. Hanya saja, kalau dulu kan mereka masih menolak kalau memang tak bisa. Berbeda dengan sekarang. Dina minta apapun pasti diiyakan. Meski mereka akan menyesal kemudian jika dikerjai oleh Dina. Tapi itu lah cinta keluarga yang Dina dapat dari lahirnya patah hati dan penyesalan diri. Usai menghabiskan kuenya dan mengulur waktu sebentar, akhirnya ia beranjak dari bangkunya. Berjalan menuju kasir dan membayar pesanannya. "Was schulde ich Ihnen?" tanyanya pada sang kasir. Begitu perempuan di kasir itu menyebutkan harganya, ia langsung membayarnya. Kemudian ia keluar dan menghembuskan nafas. Merapatkan kedua telapak tangan ke dalam bajunya. Menatap langit yang menyejukan di Wina. Ini hari terakhirnya di Wina. Menatap langit ini membuatnya menapaki ingatannya tentang dua bulan terakhir. Kemudian berjalan-jalan sebentar sebelum kembali ke hotel. Ia hanya ingin menikmati sekitaran hotel yang dua hari kemarin terlewat olehnya. Namun tak lama, ponselnya berdering. Muncul video call dari seseorang yang sangat akrab dengannya sejak setahun terakhir. "Gilaaak! Gilaaak! Itu Wina?" serbunya yang selalu heboh tiap kali video call dengan Dina. Dina terkekeh. Lumayan lah, ada seseorang yang membuatnya merasa tidak terlalu sepi meski sekarang jalanan yang dilewatinya tak ramai-ramai amat. "Lu kayak gak pernah keluar negeri aja, Ndra! Padahal lebih sering dibanding gue!" "Yeee! Beda lah! Mainan gue cuma sekitaran Jepang, Korsel sama Tiongkok! Belum pernah gue ke situ!" Dina terkekeh lagi. "Eh di situ jam berapa sih?" "Jam sebelaaas!" "Pantesan, kagak panas-panas amat. Di sini sih panas euy!" "Helah! Lu di gedung kali bukan di jalanan. Pakek ngeluh panas segala." Lelaki itu terkikik. Ya sih, meski sekarang sudah jam empat sore di Jakarta. Ia masih belum terbiasa dengan panasnya Jakarta karena sempat terlalu lama di Tiongkok sampai akhirnya tiba subuh tadi di Jakarta dan langsung bekerja. Satu jam lagi adalah jam pulang kantor, maka ia manfaatkan untuk bermalas-malasan menyambut weekend. "Lusa lu udah di rumah dong!?" "Kenapa?" "Helaaah, main kali. Pengen nonjok Ardan sekalian!" Dina terbahak. Sepertinya lelaki ini ingin membalas dendam. Karena saat pertama kali ke rumahnya setengah tahun lalu, ia ditonjok Ardan. Padahal gak punya salah dan gak punya maksud apa-apa. Andra, yeah Andra. Bukan pesuruh Pras lagi. Yeah, masih ingat kan? Sahabat Pras sedari SMP, yang sekaligus teman satu SMA Ardan dan Dina. Tak lupa, seseorang yang pernah cinta mati sama Farras. Yeah dia Andra, kakaknya Zakiya. Ya, Zakiya yang pernah ditaksir Farrel. Kok bisa akrab dengan Dina? Hihi, ada sejarahnya. Gak panjang, hanya saja belum waktunya untuk dibahas. "Gue kagak terima tamu sampe bulan depan!" "Buset! Pelit amat lu! Pantesan jomblo!" Kampreet! Dina memaki dalam hati walau tak urung terkekeh juga. Andra langsung mematikan ponselnya sebelum dimaki berkepanjangan oleh Dina. Sementara Dina cuma geleng-geleng kepala, geli melihat video call-nya berakhir absurd seperti itu. Walau sudah biasa. Andra memang seperti itu orangnya. Asyik, murni berteman tanpa hati. Walau kadang kalau mode putus asanya muncul tentang jodoh, dengan absurd-nya ia bertanya, 'woi, Din! Kalau sampe tahun depan lo kagak dapet jodoh, kita nikah aja gimana?' Dan tentu saja pertanyaan itu mendapat balasan toyoran sekejam-kejamnya dari Dina. Seenak-enaknya ngajak nikah karena putus asa dalam kejombloan itu sungguh menyebalkan. Dikiranya, Dina kagak pilih-pilih? Hihihi. Ya sih, Andra itu ganteng dan tajir. Eh orangtuanya deng yang tajir. Tapi bukan tipe Dina banget. Lagi pula, Dina itu pakek perasaan bukan logika. Jadi, lebih baik menjomblo dari pada menikah tapi gak bahagia karena gak cinta kan? Yeah, di mana-mana perempuan pasti menggunakan perasaan apalagi jika urusannya pelaminan. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD