bc

Pelestarian Hutan ala Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan

book_age12+
0
FOLLOW
1K
READ
others
system
realistic earth
like
intro-logo
Blurb

Konsep Zonasi Tradisional ala Masyarakat Adat Kasepuhan terbukti dapat bertahan dan menyumbang supply oksigen untuk kebutuhan manusia dengan tetap mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial dan budaya. Salah satu aturan yang wajib dilaksanakan, yaitu “Nuar Hiji, melak 10” (Menebang satu pohon, wajib menanam minimal 10 pohon). aturan ini yang mampu memberikan jaminan pelestarian Hutan ala Masyatakat Adat namun mampu menjadikan hutan sebagai salah satu sumber ekonomi masyarakat. Masyarakat Adat Kasepuhan percaya bahwa menjaga Hutan sama dengan menjaga Sumber Mata Air, artinya sama dengan menjaga kelangsungan kehidupan dimasa yang akan datang.

chap-preview
Free preview
Henriana Hatra #2
Pelestarian Hutan ala Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Masyarakat Adat Kasepuhan hidup bergantung pada alam, mereka memanfaatkan apa yang alam sediakan tanpa mengambilnya scara berlebihan. Pemahaman tentang menjaga alam sudah tertuang sejak Kasepuhan itu ada, hal ini terbukti melalui beberapa tatali paranti karuhun (Aturan Adat Leluhur) yang isinya mengacu pada bagaiamna seharusnya hidup menyelaraskan dengan alam, seperti pemahaman konsep tentang hutan misalnya. Konsep hutan, masyarakat punya pandangan tersendiri. Jika pemerintah mempunyai program zonasi hutan lindung, maka masyarakat adat Kasepuhan mengenal adanya leuweung tutupan, leuweung titipan, leuweung awisan dan leuweung garapan/sampalan yang merupakan bagian dari tatali paranti karuhun : Leuweung Tutupan, disebut juga leuweung kolot/leuweung geledegan (rimba), merupakan sebuah lahan hutan yang masih terjaga keasliannya. Habitat dan vegetasinya masih tidak tersentuh. Masyarakat adat mengkategorikan hutan ke dalam hutan larangan yang sama sekali tidak boleh diganggu gugat, bahkan masyarakat adat meyakini bahwa hutan ini dijaga oleh makhluk gaib, dan siapapun yang mencoba memasuki dan mengganggu keaslian hutan ini akan tertimpa kabendon dan kuwalat. Ketika sudah berhubungan dengan kabendon atau akibat dari sesuatu yang melanggar aturan adat maka tidak ada tawar menawar lagi bagi masyarakat hukum adat.  Leuweung Titipan, lahan hutan ini merupakan titipan dari karuhun. Mengenai penggunaannya masyarakat adat belum diizinkan sebelum ada wangsit dari karuhun untuk membuka atau menggarapnya. Aturan pada hutan ini tidak seketat leuweung tutupan, jika memang ada kebutuhan mendesak yang harus diambil dari hutan ini, maka masih bisa dimasuki namun harus celuk (meminta izin kepada karuhun (Leluhur) dengan melakukan ritual khusus). Leuweung Awisan, yaitu hutan atau lahan cadangan yang akan digunakan untuk lahan pemukiman atau lahan garapan pada masa yang akan datang, setelah ada perintah atau wangsit yang mengharuskan untuk berpindah atau ngalalakon (berkelana). Pusat kasepuhan memang selalu berpindah-pindah sesuai perintah karuhun. sehingga bukan tidak mungkin jika kepindahannya bukan semakin ke tempat yang ramai, tapi justru semakin menjauh dan terpencil memasuki lahan atau hutan baru. Leuweung sampalan, lahan hutan ini merupakan hutan garapan yang digunakan untuk pemukiman dan lahan pertanian, biasanya berada diposisi dataran rendah. Pemahaman tentang konsep hutan ini merupakan sebuah kearifan lokal yang bahkan sudah ada sebelum gaung pembagian zonasi hutan lindung oleh pemerintah, artinya masyarakat adat Kasepuhan sejak dahulu sudah memahami betapa pentingnya hutan untuk kehidupan, hutan adalah sirah cai (sumber mata air) sehingga jika merusak hutan maka artinya merusak sumber air, dan merusak sumber air bearti merusak keberlangsungan hidup masyarkat adat.  Pemanfaatan hasil hutan seperti kayu untuk membangun rumah juga dibatasi. beberapa pohon yang diperbolehkan untuk digunakan untuk membangun rumah yaitu, pohon puspa, kisereh dan pasang.  Dibeberapa kasepuhan akan sedikit berbeda, tapi satu hal yang pasti bahwa penggunaan hasil hutan dibatasi hanya sekedar untuk kebutuhan mendesak saja, hasil hutan lain yang boleh dimanfaatkan adalah tanaman obat yang terdapat dihutan, pohon gaharu dan pohon kemenyan yang digunakan juga sebagai alat ritual adat, selain itu ada pula rotan yang digunakan untuk bahan pembuatan berbagai perkakas dapur dan perkakas lain yang memang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari seperti untuk membuat kaneron (tas tradisional dari rotan). Pemanfaatan yang serba dibatasi, artinya sangat mempertimbangkan kelangsungan atau kelestarian hutan itu sendiri, hal ini sangat bertolak belakang dan para oknum yang mengekplorasi hutan tanpa tanggung jawab. Mereka melakukan penebangan hutan untuk kepentingan pribadi.  Sementara itu konsep hutan adat juga diatur dalam Peraturan Daerah No 8 Tahun 2015 Kabupaten Lebak tentang, Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat yang memuat pengakuan 522 Kelompok Masyarakat Adat Kasepuhan, dijelaskan bahwa : Leuweung Kolot atau disebut dengan Leuweung Tutupan adalah wilayah adat yang berdasarkan hukum adat dipertahankan sebagai wilayah konservasi lingkungan. Leuweung Titipan atau Cawisan adalah wilayah adat yang berdasarkan hukum adat dipertahankan sebagai wilayah cadangan untuk kegiatan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam. Leuweung Sampalan atau Garapan adalah wilayah adat yang berdasarkan hukum adat dipergunakan untuk kepentingan mata pencaharian atau pemukiman masyarakat hukum adat. Leuweung Kolot atau Titipan adalah hutan adat yang berada di dalam wilayah adat. Selain PERDA, penegakan hak ulayat masyarakat adat juga tertuang dalam Putusan MK 35/PUU-X/2012 yang isi putusannya mengacu pada “Hutan adat adalah hutan hak dan bukan merupakan hutan negara”. Sehingga jika ada hutan adat yang masih masuk claim sebagai hutan negara, maka negara wajib mengeluarkannya dan mengembalikannya kepada masyarakat adat, karena itu merupakan perintah undang-undang. Putusan tersebut merupakan legal standing bagi masyarakat adat sebagai penjaga dan pelestari hutan. Disinilah pemerintah harus bersama-sama dengan masyarakat adat untuk segera merealisasikan putusan tersebut, guna melestarikan alam dan lingkungan tempat manusia hidup dan mempertahankan kehidupannya.  Kearifan Lokal Masyarakat Hukum Adat tentang Pelestarian Hutan Gunung Kayuan,  Lamping Awian,  Lebak Sawahan,  Legok Balongan  Datar Imahan  (Gunung ditanami kayu, tebing ditanami bambu, dataran rendah dibuat pesawahan, embung dibuat tempat budidaya ikan, dan tanah datar dibuat perumahan)   Ujaran-ujaran yang tetap menjadi bagian kehidupan keseharain di komunitas adat Kasepuhan Karang adalah tatali parani karuhun dari para leluhur, yang tetap dipercaya sebagai Siger (mawas diri), untuk menjalani kehidupan Incu Putu di Kasepuhan. Baik di sampaikan dalam prosesi ritual adat atau dalam kehidupan sehari-hari di rumah para Incu Putu. tatali parani karuhun yang biasa di sampaikan dari Kepala Adat kepada Rendangan dan oleh Rendangan disampaikan kepada Incu Putu, dalam keseharaiannya. Ungkapan itu merupakan tatali parani karuhun dari para leluhur yang diturunkan secara turun temurun kepada Incu Putu, tatali parani karuhun itu untuk kebaikan Incu Putu dalam menjalani kehidupan di dunia. Dalam kehidupan dengan sesama dan dalam pencarian kehidupan, seperti berusaha dan agar dapat dipercaya orang lain, untuk memenuhi unsur ketertiban dalam kehidupan sehari-hari. Intinya bukan untuk dihapal namun diterapkan dan dihayati serta dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari  di manapun berada. Selain itu Incu Putu, memaknai dengan seksama berbagai ungkapan-ungkapan yang tidak tertulis untuk menjalani kehidupannya. Karena bekal bukanlah hanya harta namun, ujaran berupa tatali parani karuhun itu juga merupakan suatu warisan yang sangat berharga. Aturan tradisi jika dilaksanakan oleh Incu Putu dan tatali parani karuhun di pegang erat dan dilaksanakan, maka akan selamat. Apalagi jika dilaksanakan semua ketentuan adat istiadat, dan tentunya tetap pada jalur yang benar.  Ringkasan  Konsep Zonasi Tradisional ala Masyarakat Adat Kasepuhan terbukti dapat bertahan dan menyumbang supply oksigen untuk kebutuhan manusia dengan tetap mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial dan budaya. Salah satu aturan yang wajib dilaksanakan, yaitu “Nuar Hiji, melak 10” (Menebang satu pohon, wajib menanam minimal 10 pohon). aturan ini yang mampu memberikan jaminan pelestarian Hutan ala Masyatakat Adat namun mampu menjadikan hutan sebagai salah satu sumber ekonomi masyarakat. Masyarakat Adat Kasepuhan percaya bahwa menjaga Hutan sama dengan menjaga Sumber Mata Air, artinya sama dengan menjaga kelangsungan kehidupan dimasa yang akan datang.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Di Balik Topeng Pria Miskin

read
860.9K
bc

Scandal Para Ipar

read
694.3K
bc

Marriage Aggreement

read
81.1K
bc

Menantu Dewa Naga

read
177.2K
bc

Pulau Bertatahkan Hasrat

read
625.1K
bc

TERPERANGKAP DENDAM MASA LALU

read
5.6K
bc

Aku Pewaris Harta Melimpah

read
153.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook