2. MAYJEN. Vian Hamaran Juan

2066 Words
Helina tengah beristirahat sejenak di tengah-tengah ia senam bumil nya itu, ia meneguk air putih dengan pelan-pelan masuk ke tenggorokan nya karna lelah dan haus setelah latihan senam. "Bumil, pasti kelelahan yaaa?" Ucap seorang pria namun bergestur lenjeh namun bertutur kata dengan baik itu mengajak bicara Helina yang sedang terduduk di atas matras nya kini. "Iya, Juna.." Ucap Helina singkat menjawab pertanyaan seorang pria lenjeh yang sekarang menjadi guru senam nya itu. "Ihhh, jangan panggil aku kaya gitu Bumil! panggil aku Nana, N..a.. n..a.. Nana." Ucap pria itu merajuk sebal dan melipat kedua tangan nya di dadanya menandakan ia sangat marah saat ini. Sontak saja Helina tertawa terbahak-bahak melihat tingkah manja nya seorang pria bernama Arjuna namun ia lebih memilih di panggil dengan sebutan Nana? yang terdengar feminim dapat membuat Helina kehilangan kendali dengan tawa geli nya itu. "Uwu, Bumil kalo lagi ketawa makin cantik aja deh.. jadi bikin iri." Ucap Juna itu tertawa kecil kagum melihat kecantikan yang dimiliki oleh Helina yang kini tengah tertawa lepas. "Benarkah? untung saja aku make up dulu sebelum kau datang Nana.. jadi kau bertambah iri deh dengan ku." Ucap Helina kembali tertawa lepas tak menyangka dirinya akan bergurau seperti itu pada Arjuna yang kini ikut tertawa juga. Dari jauh arah mata memandang, seorang pria turun dari mobil Lamborgini nya tepat di halaman keluarga Aggara, ia berjalan masuk ke kediaman keluarga Anggara yang disana sudah di sambut oleh Bu Ani dan suaminya yang tengah berdiri di ruang tamu untuk menyambut kedatangan nya itu. "Selamat datang, Mayor." Ucap kelapa keluarga Anggara itu dengan tegas dan memberi hormat kepada sang Mayor yang kini sedang di hadapan nya itu bergitu pun dengan Bu Ani yang turut serta memberikan tanda penghormatan untuk Sang Mayor yang baru saja tiba di kediaman nya itu. "Tidak usah terlalu kaku dengan ku Paman, Bibi, aku bukan lah seorang Mayor Jendral di keluarga Anggara.. namun seorang putra di keluarga ini." Ucap sang Mayor dengan tegas dan tersenyum tulus kepada Bu Ani dan suami nya itu silih berganti. "Kau sudah tumbuh dengan besar dan tegas, sebagai seorang Mayor.. namun kau malah memilih menjadi anak ku yang hanya seorang pemilik tanah yang sudah lanjut usia ini? hahaha.. selamat datang kembali Vian Hamaran Juan, di rumah kedua mu ini." Ucap suami Bu Ani dengan tegas dan tertawa kecil sambil memeluk sang mayor menyambut kedatangannya itu. "Vian, kau sudah bertambah tinggi dan kekar! kau pasti sudah memiliki pasangan bukan? kapan kau akan memperkenalkan nya pada ibu mu ini." Ucap Bu Ani tersenyum kecil dan mengelus wajah Vian lembut mengingatkan dirinya pada putra tunggalnya yang sudah tiada itu. "Akan segera ku perkenalkan pada ibuu, ngomong-ngomong dia cantik dan bertutur kata pelan dan manis! sama dengan ibu ku ini." Ucap Vian tertawa kecil meledek Bu Ani yang sekarang ikut tertawa pula. "Hey, apa kau berdua hanya ingin berdiri saja.. mari kita duduk." Ajak suami nya Bu Ani itu ramah dan mengajak Vian untuk duduk di sofa ruang tangah itu. "Akan ku ambil kan air minum." Ucap Bu Ani cepat dan segera pergih ke arah dapur yang bahkan Vian kalah cepat untuk mencegahnya mengambilkan air minum untuknya itu. Vian pun tertawa kecil melihat tingkah Bu Ani itu "Sudah, biarkan saja.. semenjak kematian Aksa, dia tidak pernah mengambilkan air minum untuk putra nya lagi.. namun kali ini ada kau, ia pasti sangat semangat mengambilkan air minum untuk putra nya yang satu nya lagi." Ucap Suami Bu Ani tersenyum kecil senang akhirnya istri nya itu terlihat punya harapan dan cahaya kehidupan kembali. "Paman Gio, aku ingin berbicara pada mu, Bibi, dan Istri nya Aksa.. aku ingin menyampaikan wasiat nya Aksa dan juga kebenaran yang terjadi suatu di medan tempur kamarin." Ucap Vian tegas dengan sekali hembusan napas menatap kearah Gio lekat. Gio pun terserentak kaget, memang ia hanya di beritahu bahwa Aksa anak nya tiada di markas militer yang di bom dan di ratakan oleh musuh, namun ucapan Vian yang telah ia dengar membuat hati nya teriris kembali mengingat kematian putra tunggalnya itu. Prank.. suara pecahan gelas terdengar riuh di sudut pintu masuk ruangan tengah itu, Bu Ani berdiri dengan lemas di sudut sana menatap ke arah Vian nanar. "Apa isi wasiat dan kebenaran yang terjadi di medan tempur itu?" Tanya Bu Ani cepat segera menghampiri Vian dan Gio yang sedang terduduk di sofa sana. Dilain pihak, Helina sudah selesai melakukan kegiatan senam bumil nya secara rutin itu, ia pun tertawa kecil di sepanjang jalan bersama dengan Nana alias Arjuna yang terus saja membuat Helina tersenyum dan tertawa lepas oleh ucapan dan mulut ember nya sang Nana alias Arjuna itu. "Vian, akan bercerita tetang hal yang terjadi di markas 5 hari yang lalu itu.." Ucap Vian tegas berusaha mengatur degupan jantungnya yang masih saja berdetak dengan kencang saat mengingat kembali pengorbanan Aksa sang Brigadir Jendral. "Aksa, melerakan nyawa nya saat di medan tempur untuk Vian! saat itu Vian terjebak di dalam markas yang sedang di kepung oleh musuh dengan serangan secara cepat mereka telah berbohong soal genjatan senjata selama satu jam itu! aksa menerobos masuk dan membantu Vian keluar dari sana.. kami berdua sudah berlumuran darah di markas itu, namun Aksa terus saja membatu Vian mengalahkan setiap musuh yang datang dengan silih berganti ke dalam markas.. di akhir hayat nya Aksa tetap melindungi Vian dan mendorong Vian keluar dari markas yang sudah terpasang oleh bom berkuatan besar, namun Vian tidak bisa menolong Aksa pada detik itu.. bom itu langsung meledak besar dan meratakan markas militer dengan cepat! jika Aksa tidak menerobos masuk ke dalam sana mungkin Aksa akan tetap selamat dari kejadian itu.. maafkan Vian Bibi, Paman.. karna Vian, Aksa telah tiada! maafkan Vian.." Ucap sang Mayor bernama Vian itu terduduk lemas dan menunduk bersalah kepada ke dua orang tua yang kini kembali menitihkan air matanya itu setelah mendengarkan cerita akhir hayat putra tunggalnya itu. Brak.. tas senam kecil yang helina genggam sedari tadi di tangannya itu pun langsung terjatuh dengan sangat cepat ke lantai, Helina menatap nanar ke arah Vian yang sudah selesai bercerita, Helina menitihkan air matanya kembali dan merasakan sakit yang teramat sakit di hatinya kini saat melihat wajah Vian yang kini menatapnya dengan pandangan bersalah itu, Helina sontak memeluk perut buncitnya dengan kuat-kuat. "Lina.. kau disini? tenangkan dirimu nak." Ucap Bu Ani gugup dan menatap Helina sendu pasalnya pernyataan tadi yang di ucapkan Vian pasti sangat melukai perasaan Helina kembali. "Tanang? Ibu bilang tenang? bagaimana bisa Helina tenang melihat pria yang menjadi dalang dari kematian suami Helina! Ayah dari anak yang bahkan belum sempat lahir dan melihat wajah ayah nya itu." Ucap Helina sedikit berteriak marah dan menatap tajam ke arah Vian yang saat ini terdiam terpaku dan membisu itu. "Lina! kau tidak boleh berbicara seperti itu pada Vian, dia adalah seoarang Mayor!" Bentak Ayah Gio dengan sangat keras pada menantu nya itu merasa bahwa dirinya telah gagal mendidik berbicara menantu semata wayangnya itu selama ini. "Mayor? itu hanya jabatan yang dibuat oleh dunia terkutuk ini! mengapa ayah tetap berbicara baik pada nya? anak semata wayang ayah! telah tiada karna melindungi nya! ayah dari anak ku telah tiada.. dan aku harus berbicara hormat dengan nya? fuih.. aku bahkan jijik memandang wajah nya saat ini." Ucap Helina tambah berteriak kencang dan semakin menitihkan air matanya berjatuhan melihat sikap ayah mertuanya yang bahkan tetap membela seoarang pria yang sangat ia benci dari dahulu itu. "Lina!!" Teriakan Gio bagaikan pertir yang menyambar sebuah pohon tinggi dan besar yang membuat pohon itu langsung bertumbangan semuanya. Lina terserentak takut dan sedih mendapatkan pelakuan itu dari ayah metuanya itu, Lina semakin memeluk perut buncit nya kuat-kuat ia berusaha menjaga kesadaran dirinya yang sudah hampir ingin pingsan karna tak sanggup mendapatakan kabar berita itu terlebih lagi ayah mertuanya yang masih bisa bersikap baik pada pria yang sangat ia benci itu. "Jaga Nada Bicaramu Itu! Aku Tidak Pernah Mengajari mu Bersikap Seperti Ini! Sungguh Memalukan!" Bentak Ayah Gio marah pada kelakuan tak sopan menantunya itu yang berbicara keras dan kasar pada Vian yang notabennya seorang Mayor Jendral ternama itu. "Ayah malu mempunyai putri seperti diriku? bagaimana dengan Aksa, anak ayah! sungguh kasihan dirinya yang bahkan baru saja beberapa hari kematianya ia sudah tak di anggap lagi oleh ayah kandung nya!" Ucap Helina berteriak mencurahkan isi hatinya yang sudah tak bisa terbendung lagi. "Ayah! anak ayah telah tiadaa.. apakah ayah tidak sedih? apakah ayah tidak marah? karna untuk melindungi seorang pria yang jabatanya seoarang Mayor ini! pria yang bahkan mengabaikan semuanya hanya untuk seoarang wanita licik itu yang ia cintai, ia bahkan memenjarakan seorang b***k yang sama sekali tak bersalah? apakah pria ini wajib untuk dilindungi? jawab ayah! jawab.." Ucap Helina kuat-kuat menangis terseguk-segukan menunjuk-nunjuk kearah vian yang sekarang terdiam membisu bagaikan ia tak mempunyai mulut untuk berbiacara sepatah kata pun. "Iya.. iya dan iya! tugas seorang bawahan adalah melindungi orang-orang penting Lina! kau seharus nya bangga bahwa suami mu telah melaksanakan tugas nya dengan baik!" Ucap Ayah gio berkali-kali berteriak agar Helina bisa mengerti dan menerima kematian Aksa suaminya itu. "Justru aku sangat bangga pada suami ku ayah! tapi aku juga kasihan padanya! ia mempunyai nasib sama seperti diriku, yang sedari kecil selalu tak mendapatkan kasih sayang atau pun perhatian.. bahkan saat ia sudah tiada pun, ayah nya yang mantan seorang mayor pun tak akan pernah mau membela atau pun merasa iba pada anak nya yang sudah berkerja keras agar bisa mewujudkan mimpi ayah nya itu! SUAMI KU.. sungguh sangat malang! dan sekarang aku pun mengerti mengapa aksa selalu memaksakan dirinya agar menjadi senantiasa menjadi ayah yang baik, ia tak ingin anak nya kelak mendapatkan didikan keras dari Aksa nanti!" Ucap Helina pelan berlinangan air mata dan berlari jauh menjauh dari ruangan yang menyesakan dadanya itu. "Lina.." Teriak Bu Ani tersedu-sedu mengejar langkah kaki Helina yang berlarian itu. "Maafkan, menantu ku Helina.. Vian, ia masih sangat syok atas kematian Aksa." Ucap Ayah Gio tegas dan berusaha meminta maaf atas kelakuan Lina yang tak sopan itu. "Tidak Paman! aku pantas mendapatkan semuanya itu.. Lina pantas marah padaku! memang aku lah yang bertanggung jawab atas kematian Aksa.. Paman tak usah meminta maaf pada ku, seharunya aku lah yang meminta permintaan maaf dari Paman, Bibi, dan juga Lina.. ia pasti merasa sangat terpukul sekarang ini." Ucap Vian tegas menyalahkan semuanya pada dirinya. "Kau memang seoarang Mayor! aku percaya padamu.. aku akan berusaha membujuk Lina agar ia bisa memafkan mu, Helina sedang menandung saat ini.. emosi nya pun masih tak setabil, jadi mohon maafkan kata-kata kasarnya itu.. ia bukan wanita yang berkata-k********r! ia hanya sedang tak bisa menerima kenyataan pahit ini." Ucap Ayah Gio pelan menundukan pandangan nya menatap nanar pada dirinya yang bahkan ia lepas kendali saat menghadapi Helina yang sedang tak bisa berpikir dengan baik saat ini. "Aku tau Paman, aku sudah mengenal Lina cukup lama.. kata-kata nya itu memanglah benar! aku tidak marah atau pun kesal terhadap nya.. jadi Paman tak usah dipikirakan lagi, sebaiknya aku pulang.. maafkan kedatangan ku yang membuat keluarga ini terpecah seperti ini Paman, tolong titipkan salam ku pada Bibi dan juga Lina.. aku pamit, Paman." Ucap Vian cepat dan tegas merasa hal semua yang tadi terjadi ini adalah salahnya lagi dan lagi karna dirinya Lina semakin menderita kembali. Gio hanya mengaguk dan membalas ucapan salam dari Vian tampa mengatar nya keluar dari rumah, bukan ia membela Vian yg notaben nya seorang Mayor, namun ia dahulu juga pernah di posisi Vian yang banyak mendapatkan tuduhan seperti itu dari wanita-wanita yang kekasih nya mati di medan perang! dan hal itu pun sangat menyiksa dirinya dulu, ia juga sangat bangga atas Aksa yang bahkan berani membahayakan dirinya untuk menyelamatkan Vian yang sudah terjebak di markas. Sebagai seorang ayah ia merasakan kehilangan yang teramat besar dalam dirinya, memang sedari dahulu ia selalu mendidik Aksa untuk selalu kuat dan bertanggung jawab atas hal apa pun dan menyuruh Aksa untuk mengikuti jejak nya dahulu menjadi seorang perajurit negara, Aksa adalah seorang putra yang baik dan patuh terhadap setiap ucapan Ayahnya, Aksa juga sangat pintar dan baik terhadap semua orang, Aksa adalah putra tunggal keluarga Anggara yang sangat ia banggakan sepanjang hidupnya nanti, kematian Aksa sangat membuat hati Gio hancur namun kehendak yang diatas tak akan bisa berubah ia hanya bisa menerima dan menjaga peninggalan Aksa yang ia sayangi itu, cucu Anggara yang ada di kandunagan Helina dan Lina menantu yang selalu mencintai putra tunggal nya itu walau terkadang emosi Helina sering membuat nya ikut naik darah! namun tak bisa di pungkiri Helina adalah istri yang baik untuk anak tunggalnya yang sudah tiada itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD