Mahasiswa Tukang Demo

1273 Words
"Jadi mulai kapan anda dipukuli suami?" tanyaku memulai konsultasi. "Sejak awal kehamilan Mbak, sebenarnya saya ingin cerai. Tidak tahan dengan kelakuan suami saya yang tiap hari senin membawa perempuan pulang. Saya hanya bisa menangis setiap dia membawa perempuan lain masuk ke dalam kamar kami. Tapi kalau saya bercerai saya tidak punya pekerjaan untuk menghidupi anak saya, apalagi sebentar lagi dia masuk SMA. Saya harus gimana Mbak? Mohon kasih solusi terbaik, apa saya harus kabur membawa sertifikat rumah?" Mbak Ima, perempuan separuh baya yang selalu disiksa suami lahir dan batin. Hidupnya sangat menderita, tapi jika cerai akan lebih menderita lagi. Aku punya solusi terbaik untuk dia. "Anda punya hobi?" "Hobi saya memasak Mbak." "Jadi gini Mbak, menurut hukum islam istri kabur dari suami adalah dosa. Jangan lakukan itu, solusi terbaik adalah cari kesibukan lain, dari pada Mbak nangis karena suami selingkuh mending cari kesibukan lain. Contohnya seperti buat konten Youtube tentang memasak. Lumayan Mbak dapet uang. Lalu solusi kedua, ikut bela diri. Setiap suami anda ingin memukul anda bisa melawan atau setidaknya menghindar. Jangan dibuat menderita, nanti anda lelah sendiri. Hadapi dan kebalkan hati." "Ooo ... Iya ya untung saya dateng ke Mbak Rimay, terimakasih atas solusinya. Ini ada sedikit uang konsultasi." Mbak Ima mengeluarkan amplop tebal. Sayang banget kalau tidak diterima. Tapi jangan deh. Harus ikhlas nolong orang nggak boleh nerima imbalan. Padahal lumayan buat beli skincare. "Nggak usah repot-repot, duh jadi enak. Tapi kalau Mbak Ima memaksa tolong sumbangkan saja ke komunitas kami, ini nomor rekeningnya," ucapku. Berusaha tekankan hati supaya ikhlas, balasan dari Allah SWT lebih banyak. "Baiklah Mbak, terima kasih." Dia beranjak meninggalkan warung bakso ini. Aku Rimay, mahasiswi semester enam yang sebentar lagi UTS. Pendiri komunitas rumah berbagi yang memiliki banyak anggota. Menjadi mbak solusi yang hampir setiap hari memberikan konsultasi, baik langsung maupun lewat grup chat. "Ini neng baksonya." "Makasih Pakde." Bakso urat untuk mengurangi penat, gara-gara masalah dengan presdir Finansial Grup tiga hari lalu, kemarin dipanggil dekan dan langsung mendapat surat pengeluaran dari kampus. Malang nian nasibku, kenapa juga harus berurusan dengan Presdir kejam itu. "Ya Allah Rimay! Kamu masih bisa makan bakso di saat genting kayak gini?" teriak Vio hingga membuat bakso yang kukunyah lompat keluar. "Walaupun aku mati besok, hari ini pun aku harus tetap makan biar kuat hidup sampai sore." Aku mengambil lagi baksoku. "Kamu sadar tidak kalau posisimu sedang diujung tanduk? Bagaimana kalau sampai ayahmu tahu bahwa kamu dikelurkan dari kampus?" kali ini Jiho yang berceramah ria. Han Ji Ho, tetangga sekaligus sahabatku sejak berusia delapan tahun. Ayahnya berkebangsaan Korea, sementara ibunya orang Indonesia tapi sayang sudah meninggalkan. Cowok cakep yang hanya tinggal dengan neneknya ini cinta pertamaku dan juga masih proses jadi calon suami. Masih usaha lewat doa. "Aku udah nyiapin rencana kok, kalian berdua tenang aja." "Apa rencananya, kamu yakin berhasil? Udah sih jangan makan terus." Vio mengambil mangkok bakso di hadapanku. Ya Allah padahal aku masih lapar. "Cepet kasih tahu sekarang!" Viola Nadiem Malisa, sahabat kami sejak SMA ini memiliki kesabaran yang sedikit. Tapi sikap religiusnya selalu menjadi andalan ketika aku tergoda berpacaran dengan cogan. Astagfirullah. "Aku sudah ngumpulin orang-orang yang pernah disakiti Finansial Grup, termasuk cewek-cewek yang pernah sakit hati karena ditolak Presdir kejam itu. Kami akan berdemo besok, kalian harus ikut juga ya. Vio tolong urus konsumsi, Jiho tolong besok pimpin zikir ya." "Eh kok Zikir, demo apaan itu?" "Kita demo damai, ada acara ruqiahnya juga. Biar Finansial nggak kebanyakan setan." Jiho tepuk jidat. "Udah aku aja yang urus demonya. Kamu kalau ngurus sesuatu pasti konyol. Habisin nih makanmu, besok langsung ketemu di depan kantor Finansial grup saja." "Eh aku udah nyiapin baju anti Presdir Ravinio, besok harus kamu pakai." teriakku sebelum Jiho menjauh dari warung bakso. "Jilbabmu masuk mangkok Rim." "Ehhhh ...." beneran jilbab pinkku masuk ke dalam mangkok dan terkena kuah bakso. Sikap cerobohku masih saja masya allah. "Nih tissu," ucap Vio sembari memberiku tissu. "Makasih Vi." Dia menyangga dagu, "kamu nggak takut diculik sama orang Finansial grup. Aku dengar rumor dulu ada yang demo kayak gini terus pemimpinnya besoknya tiba-tiba hilang." "Hidup mati itu udah diatur sama Allah Vi, jangan takut sama manusia. Percaya aja Allah bakal ngelindungin kita. Besok berangkat bareng ya Vi, motorku lagi rusak." Vio hanya menghela napas, aku tahu sangat berat menjadi temanku. Setiap hari selalu ada masalah baru, Vio dan Jiho terhitung kuat bisa bertahan sejauh ini. Alhamdulillah mereka masih jadi rejekiku. Keesokan harinya kami berboncengan menuju kantor Finansial Grup, tak lupa menggunakan baju dengan gambar Presdir Ravinio yang dicoret depan belakang. Hari ini kurang lebih seribu orang yang berdemo meminta keadilan, menuntut hak dan permohonan maaf dari Finansial Grup. Pikirku inilah jalan terakhir supaya keputusan kampus bisa dicabut. Sangat tidak adil, kenapa aku harus dikeluarkan dari kampus hanya karena sedikit berbicara pada Presdir Finansial Grup? "Vi, kok kayaknya mobil di depan kita itu ugal-ugalan ya." Aku menepuk bahu Vio. "Iya Rim, mobilnya ugal-ugalan bisa bahaya nih, kita harus ngejauh," jawab Vio sembari menjauhkan laju motor kami ke belakang mobil. Mobil hitam di depan kami semakin ugal-ugalan, tak lama kemudian seperti hilang kendali dan menghantam bahu jalan dengan cukup keras hingga terbalik. Aku bersyukur karena jalanan masih sepi, jika tidak maka akan terjadi kecelakaan beruntun. Vio yang terkejut menghentikan motornya, spontan aku berlari menolong orang yang ada di dalam mobil itu. Darah segar menodai kaca mobil, aku melihat kondisi keempat penumpang sangat mengenaskan. Bau darah bisa tercium jelas olehku, bahkan kini bau bensin dan asap bisa kurasakan. Terlihat wajah pengemudi tersayat kaca dan kakinya sudah hancur karena terjepit. Sementara ketiga penumpang di belakang juga tak kalah mengenaskan, kedua pria yang di pinggir, tangan dan kakinya tertekuk seperti patah mereka tidak sadarkan diri. Mataku tertuju kepada penumpang yang di tengah, dia masih sadar walaupun kepalanya dipenuhi darah. "To... Tolong saya," ucapnya terbata-bata menahan sakit. Wajahnya dipenuhi darah dari dua orang di sampingnya. Dengan sigap aku menarik tangan pria itu, tapi sangat susah karena kakinya terjepit. Terpaksa aku sedikit masuk ke dalam mobil, berusaha membebaskan kaki pria ini dari kursi depan yang menjepitnya. "Rim, menjauh dari sana! Mobil itu bisa aja meledak!" teriak Vio tak kuhiraukan. "Tolong saya malaikat, saya mohon," pinta pria yang sedang aku selamatkan ini. Tanpa meminta pun aku pasti berusaha menyelamatkannya. Setelah kakinya lepas segera kutarik dia menjauh dari mobil hingga kami berada di pinggir jalan. Badanku penuh darah akibat memapahnya. "Kamu tunggu di sini, aku akan nyelametin temen-temenmu." Saat aku hendak berbalik, pria itu menarik tanganku. Aku hilang keseimbangan hingga jatuh ke d**a bidangnya. Tiba-tiba mobil meledak, pria itu pun menarikku semakin erat kepelukannya. Jantungku berdebar kencang, aku tidak tahu kenapa jantungku berdetak sangat kencang seperti ini, mungkin karena terkejut atau mungkin karena dipeluk oleh pria untuk pertama kalinya? "Malaikat, jangan tinggalin saya. Tolong selamatkan saya," pinta pria itu. Aku segera melepaskan pelukannya. Aku tahu dia masih shock, kalau tidak sudah pasti aku tendang kepalanya karena telah memelukku sembarangan. Dia bukan mahromku, dosa! "Tenang, kamu udah aman kok. Tapi maaf ya aku nggak bisa nyelametin temen-temenmu." Tak lama kemudian ambulan dan polisi datang, sepertinya Vio yang telah menelpon. "Kamu nggak papa Rim? Ada yang luka?" tanya Vio cemas sembari memeriksa tubuhku "Aku nggak papa kok tenang aja, ini bukan darahku." Alhamdulillah aku lega, sekarang urusan sudah selesai. Aku harus segera pergi karena acara demonya sebentar lagi mulai. "Jangan tinggalin saya, saya mohon malaikat." Awalnya aku berniat untuk tetap pergi, tapi pria ini tidak mau disentuh petugas medis. Dia juga bersikukuh tidak mau melepaskan tanganku. "Kamu duluan aja Vi, lagian arah rumah sakit sama tempat demo sama, nanti kita ketemu di sana aja." "Jaga diri baik-baik," ucap Vio sembari mengangguk. Hari ini tidak berjalan mudah, tapi tetap saja aku harus memperioritaskan menolong orang. Apalagi kalau menyangkut nyawa. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD