Persetan Dengan Cinta!

1001 Words
"Kia, kenapa basah begini?" Kia tak menjawab pertanyaan tante Anita yang terlihat begitu khawatir dengan kondisi Kia saat pulang. Kia terus saja berjalan, setengah berlari mencari keberadaan pamannya. "Dimana paman, Tante?!" "Ada di ruangan kerjanya, Kia. Kia, biar Tante bantu ..." "Kia butuh penjelasan, Tante! Kenapa Kia tidak tahu kalau paman sudah mengambil pendonor bagi mamanya Devan untuk nenek?" Tante Anita tampak memalingkan wajahnya. Dia tak sanggup menjawab. Dari redaksi tantenya itu, Kia yakin sebenarnya perempuan itu juga tahu. Hanya dia sendiri yang tidak diberitahu? Hanya dia sendiri yang seperti tersangka bagi Devan? "Jawab, Tante!" Tanpa sadar, Kia jadi berseru keras. "Tidak ada yang perlu disesalkan, Kia. Nenek yang terpenting, kau harusnya senang karena nenekmu bisa sembuh dan sekarang tinggal memulihkan kondisi saja. Kau tidak bahagia nenekmu bisa sehat lagi?" Suara paman Beni terdengar seiring dengan hentakan sepatu mahal yang tengah dikenakannya. Paman dan tante Anita tidak punya anak. Jadi kematian kedua orangtua Kia membuat mereka tak ragu untuk menjadi orangtua pengganti bagi gadis itu. Mereka baik dan sangat sayang kepada Kia. Namun, paman orang yang penuh ambisi, termasuk untuk mendapatkan sesuatu, paman tak akan segan mengupayakannya dengan segala cara. Dan uang selalu menjadi alasan yang paling mutlak bagi setiap kemenangannya. Namun, kali ini Kia tidak setuju dengan apa yang sudah dilakukan oleh pamannya. Meski dia senang nenek akan sehat kembali, tapi tak seharusnya, paman merenggut hal yang seharusnya menjadi milik oranglain, apalagi itu adalah sesuatu yang harusnya menjadi milik keluarga Devan. "Tapi kenapa harus mengambil apa yang seharusnya menjadi milik mamanya Devan, Paman? Paman sudah membuat Devan salah paham kepadaku. Paman sudah membuat Devan membenciku!" Kia terisak, pamannya menatap dengan pandangan datar. "Itu sudah menjadi takdir, Kia. Lagipula, harusnya kau senang. Bukan mudah mendapatkan pendonor bagi nenekmu. Meski kadang harus dibayar dengan harga yang mahal sekalipun, tak banyak orang yang mau menjual ginjalnya untuk nenek." "Tapi Paman sudah membuat Devan membenciku!" "Apa pengaruhnya untuk hidupmu, Kia? Kau tak perlu memikirkan pemuda itu. Masih banyak lelaki lain di dunia ini bahkan Paman bisa mencarikan orang yang memang sepadan dengan kita." "Tapi aku mencintainya, Paman! Paman tidak seharusnya mengambil keputusan sepihak. Kita bisa saja mencari pendonor lain! Paman sudah menghancurkan perasaan Devan, Paman sudah ..." "Ah! Persetan dengan cinta, Kia! Mulai hari ini, Paman tidak akan membiarkanmu untuk bertemu lagi dengan pemuda itu! Kau akan pindah kuliah. Paman sudah mengurus kepindahanmu ke luar negeri. Besok kau akan segera berangkat!" Kia tersentak. Belum selesai satu masalah sekarang dia harus kembali menghadapi masalah baru. Dia harus pergi ke luar negeri? Pindah kuliah? Kia menggeleng keras. Selama ini dia sudah begitu nyaman kuliah di jurusan yang dipilihnya. Kia seorang yang sangat menyukai seni. Dia bahagia bisa kuliah di kota itu, mengambil jurusan seni sastra dan tentunya sebuah kota yang tidak akan pernah memisahkannya dengan Devan. Tapi Kia tentu saja tak bisa banyak membantah. Bagaimanapun, paman adalah pengganti orangtuanya sejak ia masih kecil. Lelaki itu mengurusnya layak anak sendiri. Tapi Kia tidak bisa menerima ini begitu saja. Begitu mendadak semua ini. Begitu tergesa-gesa sementara dia masih berhutang penjelasan dengan Devan. "Jaga semua pintu di rumah ini. Jangan biarkan Kia keluar dari rumah ini!" Pamannya memberikan perintah kepada semua bawahannya yang tentu saja mengangguk patuh. Kia memandang tante Anita dengan lelehan airmata. Perempuan paruh baya itu hanya bisa merengkuh Kia yang terluka. "Kia, terima saja ya, Nak. Kamu tahu kan, pamanmu sangat keras. Kalau kamu sayang Devan, kamu harus menuruti kemauan pamanmu. Kau tentu saja mengerti maksud Tante kan?" Kia tak menjawab, hanya tersedu-sedu menangis di pelukan tantenya itu. "Tapi aku harus bertemu Devan, Tante. Aku harus menjelaskan semuanya kepada Devan." Tante Anita menggeleng. "Sudahlah, Kia, jangan mencari masalah." Kia tak menyahut lagi, dia terus saja menangis hingga lelah hingga tertidur. *** Kia menatap nanar mobil yang telah disiapkan oleh paman untuk mengantarnya ke bandara. Paman dan tante akan mengantar kepergiannya hari ini dengan supir yang sudah bersiap. Kopernya sudah dimasukkan ke dalam bagasi. Nanti setibanya di Amerika, semua hal yang berkaitan dengan kampus juga tempat tinggal akan diurus dengan baik oleh koneksi pamannya. "Masuk, Kia, jadwal keberangkatanmu sebentar lagi. Paman tidak ingin kamu terlambat dan ketinggalan pesawat." Kia tak menjawab, ia hanya melangkah dan masuk ke dalam mobil dengan mata yang masih terlihat sembab karena semalaman menangis. Ini adalah kepergian Kia ke Amerika yang ketiga kalinya, sebab dulu saat dia berusia tujuh belas tahun, dia sudah pernah pergi ke Amerika bersama keluarganya juga. Namun, kepergian Kia yang ketiga ini dipastikan untuk waktu yang pastinya sangat lama. Saat di perjalanan, tak sengaja dia melihat Devan yang baru saja turun dari mobil ayahnya. Lelaki itu tampak memapah ayahnya yang terlihat linglung dan lemah. Mata Kia tampak berkaca-kaca. Tanpa sadar dia segera berteriak memanggil Devan tapi sayang lelaki itu tidak mendengarnya. Paman dan tante hanya diam, paman tampak tak peduli. Dia juga melihat Kia. mengeluarkan ponsel. "Kenapa hanya ada kontak paman dan tante di sini? Kemana nomor-nomor temanku yang lain?" Kia berseru putus asa. Saat dia memeriksa nomornya, ternyata itu adalah simcard baru dengan kontak yang tentu saja sudah terhapus semua. Kia menatap lemas ponselnya. Pasti semalam paman juga sudah mengotak atik ponselnya. Pupus sudah harapan Kia. Tak ada lagi yang bisa diharapkannya. "Buka lembaran baru, Kia. Jangan pernah menyesali keadaan." Kia tak menjawab, hanya menghapus pelan sudut matanya yang sudah berair. Kia tidak pernah tahu, kapan dia bisa kembali melihat Devan. Apakah nanti dia masih bisa menjaga rasa cintanya kepada pemuda itu meski sudah bertahun-tahun berlalu. Angin yang masuk lewat celah jendela mobil terasa semakin membuat mata Kia pedih dan berair. "Maafkan aku, Van," desis Kia lirih dan terbawa angin hingga sampai ke d**a Devan yang tiba-tiba saja bergemuruh. Devan teringat dengan diagnosa dokter yang mengatakan bahwa kesehatan ayahnya semakin memburuk apalagi penyakit alzheimer kini juga diderita oleh lelaki itu. Kebencian Devan membaur bersama rasa cintanya. Devan menutup matanya sejenak, dia tidak akan pernah lagi mau mengingat satu nama yang selama ini selalu membuatnya tersenyum. Sirna semuanya, hilang tak tersisa. Tak ada lagi Devan dan Kia, yang tinggal hanyalah selaksa rasa kecewa juga benci dan dendam yang menyala-nyala.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD