Karma Is A B*tch

1826 Words
Vanila pasang kecepatan maksimal. Ia harus sampai di rumah Bu Nora secepat mungkin. Jika tidak, Bu Nora pasti akan murka dan menghancurkan dunia. Janjian bimbingan jam 10.00 WIB bertempat di ruang fitness kampus 4. Bu Nora telah meralatnya pagi tadi. Bimbingan bukan jam 10.00 WIB, tapi jam 13.00 WIB. Bukan bertempat di kampus 4, tapi di rumah pribadi Bu Nora sendiri.    Meski begitu, Vanila tetap tak bisa menyelesaikan revisinya tepat waktu. Tadi saat berangkat, jam sudah menunjukkan pukul 13.15 WIB. Vanila sudah terlambat dan terancam akan diusir oleh sang Dosen Pembimbing yang killer - nya sudah tersohor seantero program studi.    Saat Vanila sampai, kondisi rumah Bu Nora sangat sepi. Namun pintu gerbang dan pintu masuk rumah terbuka lebar. Vanila bingung, ke mana teman - teman satu kelompok bimbingannya?    Seterlambat - terlambatnya Vanila, ia tak seterlambat itu sehingga semua temannya sudah selesai bimbingan saat ia datang.    Vanila memberanikan diri memasuki pelataran rumah Bu Nora. Langkahnya terhenti saat sampai di depan pintu masuk.    "Permisi ... selamat siang ... Bu Nora ...." Vanila mulai memanggil.    Vanila bingung karena tidak ada jawaban. Gadis itu sangat lega ketika akhirnya melihat baby sitter yang menggendong bayi Bu Nora, sedang berjalan memasuki pelataran rumah. Pasti keduanya habis main ke rumah tetangga.    "Bu Nora - nya ada, Buk?" tanya Vanila.    "Beliau di dalem, Mbak. Mbak juga mau bimbingan, kah?" Wajah baby sitter itu terlihat tak nyaman. Ditambah bayi Bu Nora yang sedang rewel, merengek, dan meronta - ronta. Suasana jadi terasa makin tak nyaman.    "Iya, Buk." Vanila mengeluarkan map berisi berkas revisinya dari dalam tas.    Tiba - tiba baby sitter itu mengambil map dari tangan Vanila. Vanila kaget, namun tak kuasa menolak.    "Kata Ibu kalo ada yang bimbingan lagi, suruh ngumpulin ke saya," jelas si Baby Sitter. "Tadi udah ada beberapa yang bimbingan ke sini, Mbak. Nggak tahu kenapa Ibu marah - marah. Katanya misal ada yang nggak lulus tepat waktu, nggak boleh nyalahin beliau. Ibu sekarang belum bisa diganggu."    Vanila menelan ludah seketika. Semakin lama Bu Nora semakin menyeramkan saja. Menakuti sejuta umat. Membuat anak - anak didiknya keder. Rasanya ingin menyerah sebelum berjuang lebih jauh. "Ya udah. Saya titip revisian, ya, Buk. Terima kasih," ucap Vanila akhirnya.    Pantas saja teman - temannya sudah tidak ada semua. Ternyata baru saja terjadi sebuah tragedi. Padahal kemarin Bu Nora sendiri yang menjadwalkan bimbingan. Tapi ia sendiri juga yang menunda. Pun ia sendiri pula yang menggagalkan.    Dosen pembimbing memang selalu benar. Wanita selalu benar. Ibu - ibu selalu benar. 'Dosen pembimbing  lo seorang wanita dan udah jadi ibu - ibu? Kelar hidup lo!'    Vanila berpamitan dan tancap gas secepat kilat. Sampai di pertigaan dekat rumah Bu Nora, ia berhenti. Ia ingin memberi tahu anggota kelompok bimbingan skripsi tentang apa yang baru saja ia alami.    Belum juga ia mengetik, salah satu anggota kelompok yang bernama R, meneleponnya. Ngomong - ngomong tentang R, nama itu bukan olok - olok atau nama karangan agar terkesan keren. Sejatinya itu adalah sebenar - benarnya nama manusia.    Jadi ceritanya, R saat lahir diberi nama Roro Puspita Sari. Namun terjadi kesalahan saat membuat akta lahir. Nama yang harusnya ditulis lengkap, justru disingkat oleh orangtuanya menjadi R Puspita Sari.    Alhasil, selamanya anak mereka bernama R Puspita Sari. Bukannya Roro Puspita Sari.    Nama panggilan yang sebenarnya adalah Ita. Tapi anak - anak di kampus lebih suka memanggilnya R, karena dianggap lebih kekinian dan seru.    "Mbak, lagi di mana?" Semua teman sekelas memang memanggil Vanila dengan sebutan Mbak, mengingat Vanila adalah yang paling tua. Yang lain masih 22 tahunan. Vanila sudah 24 tahun.    "Ni gue di pertigaan deket rumah Bu Nora, Dek R. Lo sama yang lain tadi bimbingannya gimana? Gue ada berita hot, nih!"    "Berita 'hot' apaan? Tadi kita disembur sama Bu Nora, Mbak. Sungguh hati ini rasanya panas. Makanya sekarang kita lagi ngadem."    "Ngadem di mana? Gue gabung. Gue mau cerita pokoknya!"    "Kita lagi di cafe baru deket pasar, Mbak."    "Pasar mana?"    "Pasar yang deket kampus. Nama cafe - nya KingKong!"    "Oalah ... iya - iya gue tahu. Yaudah, gue susul ke sana sekarang."    "Heeh, Mbak. Kita tunggu!"    Vanila menarik napas dalam - dalam, berusaha menenangkan diri, sebelum kembali tancam gas secepat yang ia bisa.    ~~~~~ Y S A G ~~~~~ Ada empat orang mahasiswi yang sedang asyik ngerumpi sampai bibirnya maju - maju tak keruan saking emosinya. Mereka adalah R, Happy, Zola, dan Anisa. Mereka baru saja menghadapi sebuah momen mencekam dalam kehidupan.    "Mbak Vanila kok lama bener, sih? Udah nggak tahan, nih. Pengen buru - buru denger ceritanya!" Happy muring - muring.    "Sabar, lah, Hap! Jarak rumah Bu Nora ke sini lumayan jauh!" omel R.    "Gue sejujurnya juga udah nggak tahan pengen cerita dan denger ceritanya Mbak Vanila!" sahut Anisa.    "Ya Allah, nasib kita ntar gimana coba? Bimbingan dosen lain udah pada penelitian, udah pasti pada lulus tahun ini. Nah kita? Masih stuck di bab satu!" Happy sepertinya sudah mau menangis.    "Ya berarti kita lulus tahun depan, Hep!" sahut R dengan tampang tanpa dosa.    Terang saja pernyataannya segera disanggah oleh Happy dan Anisa dengan berbagai teriakan yang mengandung umpatan.    Berbeda dengan Anisa dan Happy, Zola justru diam. Pandangannya terfokus ke arah lain.    "Zol, lo kok jadi diem - diem bae? Perasaan tadi lo yang paling sedih gara - gara diusir Bu Nora?" Happy bingung setengah mati dengan perubahan pada diri Zola.    "Tadi niat kita ke sini, kan, buat ngadem," jawab Zola. "Sekarang rasanya hati gue beneran udah adem!" Zola masih menatap ke arah yang sama.    R, Happy, dan Anisa segera mengikuti arah pandang Zola. Akhirnya mereka tahu apa yang sedang Zola lihat. Apa yang membuat hati Zola kembali adem.    Zola menatap pada seorang pemuda yang duduk sendiri di salah satu meja. Pemuda yang jangkung, berkulit putih mulus, dengan wajah yang rupawan, nan indah, nan kalem. Seandainya tadi mereka tak melihat sebuah adegan tak biasa, mungkin mereka akan sama terpesonanya dengan Zola. Tapi tadi ....    "Zol, lebih baik nggak usah dilihat! Lo nggak inget apa adegan tadi? Dia berantem sama pacarnya. Dan mereka sama - sama cowok. Dia belok, Zol!" R buru - buru memperingatkan temannya itu.    "Gue inget kok. Tapi gue nggak mau suudzon aja. Kita, kan, nggak tahu kenyataannya gimana. Jangan asal tuduh, deh!" Zola malah ceramah.    "Ih, Zol. Kita nggak asal tuduh. Kan udah jelas. Siapa pun yang lihat pasti langsung tahu kalo mereka homo."    "Ih, jahat banget, sih, kalian. Tuh, lihat! Mukanya lebih pucet dari tadi. Dia kayaknya lagi nahan sakit. Kalian nggak kasihan apa? Duh, ganteng ... kamu nggak apa - apa, kan?" Zola terlihat begitu sedih.    "Ih, si Zola halu banget. Yang ada dia, tuh, lagi akting alias pura - pura, biar pada kasihan sama dia. Tadi aja dia juga gitu, kan? Pura - pura sakit, terus pingsan. Pacarnya sampek marah. Bahkan pergi ninggalin dia!"    "Eh, itu Mbak Vanila!" Zola tak lagi menanggapi komentar buruk teman - temannya, justru fokus pada Vanila yang baru saja datang.    R, Happy, dan Anisa juga segera menyambutnya. Suasana seketika kembali panas seperti sebelumnya.    "Mbak, masak tadi gue sama Happy di - skors, kita nggak boleh bimbingan selama dua minggu gara-gara aturan penulisan kita masih salah kaprah!" R mengadu dengan membabi buta.    "Hooh, Mbak. Ya Allah. Gimana, nih? Padahal sebulan lagi batas akhir daftar sidang. Gimana, nih, Mbak?" Happy menyeka airmatanya menggunakan gulungan tisu yang sudah dibejek-bejek di atas meja. Iyuh, semoga iti bekasnya sendiri, ya.    "Mbak, tadi gue sama Zola dibentak. Beliau tanya kenapa kita jarang bimbingan. Terus bilang lagi, kalo nggak lulus tepat waktu, jangan salahin beliau!" Gantian Anisa yang laporan.    "Ah, jadi kalian yang tadi diancem gitu!" jawab Vanila.    "Lhoh, beliau ngadu ke Mbak tentang itu?" Zola kali ini.    "Bukan beliau yang ngadu, Zol. Tapi baby sitter anaknya. Kalian masih mending ditemuin. Nah gue? Gue cuman disuruh nitipin berkas ke baby sitter!"    Kelimanya sama - sama terdiam setelah itu. Semakin lama Bu Nora semakin seenaknya sendiri. Mereka bukannya tidak bimbingan dengan baik. Mereka selalu bimbingan tiap kali Bu Nora bisa. Mereka tak pernah absen.    Mereka selalu mengerjakan setiap revisi dengan baik. Bu Nora selalu memuji hasil revisi mereka di pertemuan berikutnya, sebut saja bagian ini sebagai Thor. Kemudian Bu Nora  merevisi bagian setelahnya, kita sebut saja sebagai Loki.    Di pertemuan berikutnya, Bu Nora menyoret Thor secara keseluruhan. Padahal seluruh isinya adalah hasil sarannya sendiri. Kemudian ia memuji - muji Loki yang baru direvisi.    "Ini nggak usah aja!" Begitu kata beliau dengan tampang murka. "Nah, yang ini bagus. Lanjutkan!" Sedikit senyum muncul di wajah Bu Nora.    Selalu begitu semenjak mulai bimbingan bulan November tahun lalu. Demikian seterusnya, seakan tak ada habisnya.Sekarang sudah bulan Juni. Ibarat orang hamil, saat ini janin mereka sudah hampir lahir. Tapi mereka belum dapat apa - apa. Hanya bimbingan tiada akhir yang tidak jelas ujungnya.    "Mbak, kita harus berbuat sesuatu, Mbak. Demi kemaslahatan umat. Ya kali usaha keras kita selama tujuh bulan nggak dihargai sama sekali! Kalo sampai kita lulus tahun depan, kita harus bayar semester lagi, bayar bimbingan lagi. Dikira duit tinggal metik di pohon apa?"    Vanila berpikir keras. Ini bukan masalah yang sederhana. Mahasiswa jurusan lain di luar fakultas pendidikan sangat beruntung. Mereka bisa segera ganti dosen pembimbing saat pembagian kelompok bimbingan skripsi di awal.    Tapi anak pendidikan? Tidak bisa!    Kalau mau ganti pembimbing, mereka harus menunggu habisnya satu periode, yaitu satu tahun. Kalau satu tahun sudah habis, bisa ganti pembimbing dengan syarat mereka belum mengerjakan skripsi sama sekali.    Yang sudah mengerjakan skripsi bisa ganti, dengan konsekuensi, mereka harus mau ganti judul jika dosen pembimbing yang baru tidak sejalan pikirannya dengan dosen yang sebelumnya. Alias mengulang semua dari awal. Semua yang sudah mereka kerjakan selama setahun sebelumnya, hanya sebuah hal yang sia - sia.    Miris sekali. Tahu begini, mereka dulu tidak usah bimbingan saja. Santai - santai selama satu tahun, lalu baru mulai saat satu periode bimbingan sudah habis, bersama dengan dosen yang jelas. Yang jelas bukan Bu Nora.    "Gimana, Mbak?" tanya mereka lagi.    Vanila akhirnya angkat bicara. "Kita koordinasi sama anggota kelompok yang lain. Kita bareng - bareng ngomong, laporan sama Bulus!"    "BULUS?"    Vanila membungkam mulutnya sendiri. "Maksud gue Bu Lusi. Beliau kan Kaprodi. Jadi beliau yang paling berhak negur Bu Nora biar nggak parah - parah amat kayak sekarang."    "Wah, bener juga, tuh. Kenapa kita nggak kepikiran dari kemarin - kemarin?"    "Tapi, ini ada konsekuensinya." Ternyata Vanila belum selesai bicara.    "Apa konsekuensinya, Mbak?"    "Saat Bulus udah ngasih tahu Bu Nora, otomatis Bu Nora tahu kalo kita laporan ke Bulus. Ada dua kemungkinan. Yang pertama, Bu Nora bakal sadar. Yang kedua, Bu Nora justru makin murka sama kita!"    "Wah ... berat, tuh, konsekuensinya."    "Ya ... emang. Sementara kita pikirin solusi ini matang - matang. Sama mikirin cara lain yang sekiranya lebih aman."    "Iya, deh, Mbak. Manut aja kita sama Mbak Vanila, mah."    Suasana sudah agak tenang. Hati mereka juga sudah tak sepanas tadi. Zola melanjutkan aktivitasnya memandang cowok terduga homo yang sampai sekarang masih belum pergi juga.    "Mbak, lihat itu cowok, deh!" Zola menunjuk yang bersangkutan.    Vanila celingukan melihat cowok yang dimaksud oleh Zola.    Uhm dia ... Vanila merasa tidak asing. Tapi pernah lihat di mana? Vanila tidak ingat.    ~~~~~ Y S A G ~~~~~ T B C
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD