Orang-Orang Jahat

1071 Words
Aku percaya Allah tidak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hambanya, semua hal yang terjadi padaku karena Allah percaya aku mampu melewati. Pemakaman paman dilaksanakan tiga hari lalu, polisi sedang mencari pelaku pembunuhan, meminta keterangan kami. Aku berkata akan mengeluarkan uang berapa pun asal pelaku ditemukan dan diadili. "Kak Yua," panggil Arjun. Memegang pundakku. Bingkai foto paman aku letakkan kembali, satu-satunya yang tersisa setelah calon istri Paman membawa semuanya. Wanita itu sangat terpukul atas kematian paman, katanya dia ingin menghabiskan waktu bersama sisa kenangan paman. Kemarin aku hanya mengurung diri di kamar, belum bisa menerima kenyataan bahwa paman sudah meninggal. Masih seperti mimpi, tidak pernah terbayang Paman akan meninggalkan kami. "Tante Fera dateng," kata Arjun. Aku bahkan melupakan hal yang sangat penting, yakni mencari cara supaya Tante Fera tidak menjadi wali kami. Tidak ada yang melindungi kami lagi, jadi harus berjuang sendiri. "Apa sama semua anggota keluarganya?" tanyaku. Arjun mengangguk, wajahnya cemas. Kami tahu bagaimana sikap keluarga mereka. Kami bisa disiksa. Saat kecil Arjun pernah dikurung di dalam bak mandi sampai menggigil. Hal itu membuat Arjun sangat trauma. "Kamu masuk kamar saja, biar Kakak yang menghadapi Tante." "Nggak, aku bakal ikut jagain Kakak." Aku menggeleng, tidak boleh. Anak pertama Tante Fera adalah petinju, sikapnya kasar dan semena-mena, aku takut Arjun terluka. "Kamu beresin pakaian, sampai Kakak bisa mengatasi semuanya kamu menginaplah di rumah temen. Jangan pulang." "Aku nggak punya temen, aku bakal jagain Kakak. Nggak mau pergi," katanya. Sekali lagi aku menggeleng dengan keras, tidak boleh Arjun di sini. Jika terjadi sesuatu padaku maka harapan hanya tinggal pada Arjun. Selama Arjun masih hidup, maka Tante Fera tidak akan bisa menguasai Candra Grup. "Kamu percaya kan sama Kakak? Kamu harus hidup, kamu tidak boleh terluka. Harapan Candra Grup hanya padamu." Banyak yayasan yang berada di bawah naungan Candra Grup, dari mulai yayasan penghafal Al-Qur'an sampai panti jompo. Jika Candra Grup jatuh ke tangan orang yang salah maka tidak hanya kami yang akan mati, tetapi juga mereka. "Untuk apa aku hidup kalau Kakak terluka?" Arjun terus bersikeras, tidak mau pergi. Aku meremas tangannya, memohon supaya Arjun mau pergi. "Kalau begitu pergilah cari Roan, minta dia menikahi Kakak sekarang juga supaya Tante Fera tidak bisa menjadi wali kita." Wajahnya masih cemas, tidak merespons permintaanku. Mungkin Arjun ragu aku terluka saat ditinggal pergi. "Kakak janji akan baik-baik saja," ucapku lagi. Mencoba menaruh senyum di sudut bibir. Supaya Arjun tenang. "Baiklah." Arjun mengembuskan napas berat, sorot matanya sendu. Kami tinggal berdua. Harus saling menjaga dan melindungi. Arjun tahu betul hal itu. Dia keluar kamar lewat jendela. Mengenakan hoodie menutup kepala. Aku berjalan mendekat ke jendela menggunakan tongkat. Angin menerbangkan helain kain hijabku. Melihatnya sampai berhasil keluar dari gerbang. Doaku menyertaimu Arjun. Ketika pemakaman paman, Roan datang hanya sebentar. Dia bahkan tidak menghiburku sama sekali, cuek padahal tahu aku sedang kesulitan karena Tante Fera. Aku sempat meminta dia menikahiku saat itu juga, supaya Tante Fera tidak bisa macam-macam pada kami. "Jangan bicarakan pernikahan sekarang, makam pamanmu saja belum kering." "Tapi kamu tahu sendiri gimana sikap Tante Fera, aku dan Arjun bisa celaka." "Kalau terjadi sesuatu padamu, kamu bisa minta tolong padaku." Roan pergi meninggalkan kami di pemakaman, tidak berkunjung ataupun menghubungi lagi sampai sekarang. Kadang aku berpikir, apakah karena keluargaku tidak berpengaruh seperti dulu, Roan jadi berubah? Posisi Direktur utama sekarang dipegang orang lain, meskipun keluargaku memiliki saham mayoritas, namun tidak ada yang bisa memimpin. Paman adalah Dosen di UI, aku belum lulus kuliah dan pincang, sementara Arjun adalah anak di bawah umur. "Yua!" Teriak Tante Fera. Aku berbalik, buru-buru menggerakkan tongkat kruk menuju pintu keluar. "Iya, Tante." Tante, Om Nurman dan dua sepupuku. Berdiri di ruang tengah dan memandangi isi rumah, tangannya menunjuk ke setiap benda. Berbicara tentang harga dan tata letak perabot. Sepertinya mereka ingin mengganti isi rumahku seakan ini rumah mereka sendiri. "Kamu ini gimana sih? Sudah tahu kami mau datang, tapi kamu malah dikamar aja nggak menyambut!" Tante Fera menunjuk keningku dengan jari telunjuk. "Maaf Tante, aku lagi di kamar. Nggak tahu Tante dateng." "Wajarin ajalah, Ma. Namanya juga pincang, nggak bisa jalan." Aldo, sepupu berusia 24 tahun. Berprofesi sebagai petinju muda. Badannya yang besar sangat menakutkan, bicaranya yang sembarang tanpa memikirkan lawan bicara. Dia adalah orang yang sangat arogan dan berbahaya. "Oh ya, Tante ke sini mau apa?" "Tentu saja jagain kamu dan harta keluarga ini. Besok barang-barang kami akan dipindahkan ke sini. Kamar Bundamu di sebelah mana?" Tante mau menempati kamar Bunda? Bahkan aku tidak menyentuh sedikitpun barang-barang bunda dan ayah. Semua masih tertata rapi seolah mereka masih menempati kamar itu. "Jangan pakai kamar Bunda, aku mohon." Aku menangkupkan tangan dengan wajah memelas. Menggeleng. Tante mendengus kesal, matanya nyalang menatapku. Dia menggangkat tasnya, menabrak bahuku dan mencari kamar Bunda. Aku berbalik, hendak menyusul Tante dengan menggerakkan tongkat. Namun, tongkatku di tendang Aldo. Membuatku jatuh tersungkur ke lantai. "Hey pincang, sekarang kau sudah tidak bisa sombong lagi 'kan? Jadi harus sadar diri." Aldo mendekatkan diri ke wajahku, bibirnya menyeringai. Aku menahan diri untuk tidak menangis, menggenggam erat tanganku. Menahan luka yang mereka torehkan ke dalam anak yatim piatu ini. Aku berusaha meraih tongkatku yang terlempar, sedikit merangkak, sebentar lagi sampai. Lagi-lagi Aldo usil, dia menendang tongkat itu hingga terlempar lebih jauh. Om Nurman menendang tongkatku supaya lebih dekat, membuatku mendongak melihatnya yang mau sedikit berbaik hati. "Kalian berdua harus ingat, jangan sampai Yua dan Arjun lecet. Seminggu lagi pengacara akan datang untuk menyerahkan surat kuasa," kata Paman memberi peringatan. Aldo mendengus kesal, dia memasukkan tangannya ke kantong baju. Sementara Mia, sepupu yang seumuran denganku tetap asik dengan ponselnya. Tidak memedulikan yang terjadi di sekitar. Mereka mengecek seisi rumah, aku benci rasa tidak berdaya ini. Harapanku tinggal kepada Roan. Semoga dia mau menikahiku segera dan menjauhkan keluarga Tante Fera. Sekali lagi aku menarik tubuh, tanpa harga diri berusaha mengambil tongkat. Aku merindukan Ayah dan Bunda, juga Kak Farel. Andai mereka tahu yang aku alami sekarang, perlakuan Tante Fera dan keluarganya. Putri kesayangan mereka disakiti, tentu Ayah akan marah. Bisa jadi Kak Farel langsung menghajar Aldo. Susah payah aku berdiri, tidak kuasa melihat Tante Fera mengambil alih kamar orangtuaku. Aku berjalan ke kembali ke kamar dengan tongkat. Hati-hati karena lutut kaki kananku terasa memar. Sakit sekali. "Roan akan segera menjemputku, sabar." Di dalam kamar aku menunggu Arjun dan Roan, hingga malam adikku itu belum juga kembali. Rasa khawatir itu begitu menakutkan. Aku mencoba menghubungi tetapi tidak diangkat. Hanya Arjun yang aku miliki, tidak sanggup lagi jika harus kehilangan. Aku mohon ya Allah, lindungi Arjun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD