bc

Bukan Babysitter Biasa

book_age16+
43
FOLLOW
1K
READ
HE
forced
arranged marriage
arrogant
kickass heroine
boss
heir/heiress
blue collar
drama
bxg
like
intro-logo
Blurb

Aira yang seorang babysitter bagai dapat durian runtuh saat tahu dirinya ditawari buat menikah dengan ayah dari anak yang diasuhnya. Xabiru Angkasa, nama lelaki tampan tersebut. Nama yang aneh dan unik bagi Aira. Seunik orangnya. Dingin bagaikan kulkas seratus pintu. Belum lagi suka marah-marah tak jelas dan bicaranya amatlah irit. Untung ganteng, katanya jadi semua kekurangannya tertutupi. Lalu mampukah ia bertahan dengan laki-laki yang ternyata telah memilih wanita lain untuk jadi teman hidupnya? Dan bagaimana nasib Aira selanjutnya? Apakah dia akan menerima tawaran tersebut atau menolaknya? Apakah ia siap dinikahi tanpa cinta?

chap-preview
Free preview
Pisah Kamar
"Ini kamarmu dan itu kamarku." Xabiru menunjuk dua kamar bersebelahan pada Aira–wanita yang baru saja dinikahinya pagi tadi. Aira terbengong menatap dua kamar tersebut secara bergantian. "Kita beda kamar?" tanyanya setelah memahami kalau dia dan laki-laki yang bergelar suami tersebut tidak satu kamar, padahal mereka adalah pengantin baru. Xabiru menggeleng. "Tidak! Aku belum siap," jawabnya datar membuat kerutan muncul di kening Aira. 'Belum siap? Aneh. Seharusnya pihak wanita yang mengatakan hal tersebut. Kenapa malah dia?' Aira menggerutu dalam hati. "Ingat, kalau di depan Ibu dan orang luar, kita bersikap mesra layaknya suami-istri, tapi kalau hanya berdua atau di rumah seperti saat ini, kita bagaikan orang asing. Tak perlu mesra apalagi manja-manja. Ada tembok pembatas di antara kita dan aku tak mau ada yang melewatinya." Aira menggaruk kepalanya mencoba mencerna ucapan Xabiru barusan. 'Tembok pembatas? Orang asing? Kenapa jadi begini? Memang seperti itu ya, menikah dengan orang kaya?' Aira lagi-lagi menggelengkan kepalanya makin bingung dengan semua yang barusan diucapkan suaminya. Mau membantah, tapi takut. Diam saja malah serba salah. Membuat Aira jadi bingung sendiri. "Sudah bengongnya? Bawa barangmu ke sana dan bereskan! Aku mau ke bawah dulu menemui Jingga," tukasnya membuat Aira hanya mampu menganggukkan kepala. Lalu menggeleng setelahnya saat punggung laki-laki dingin tersebut semakin menjauh dari pandangannya. 'Pernikahan apaan ini? Kok suamiku kayak gitu ya? Tidak seperti yang dikatakan Ibu. Lelaki ini tetap dingin seperti es batu. Disuruh tidur terpisah lagi, mana bisa dekat. Kapan penjajakannya kalau dekat saja dilarang.' Aira bergumam sendiri meratapi nasibnya sembari memasukkan kopernya ke dalam kamar. Dia tak menyangka pernikahan bak dongeng cinderella tersebut berakhir menyedihkan. Semua ini karena Bu Laila, majikannya dulu yang sekarang berubah status jadi Ibu mertua. *** "Kamu punya pacar?" Aira mengernyit mendapatkan pertanyaan tak biasa dari majikannya. Ia tak tahu kenapa tiba-tiba majikannya yang bernama Bu Laila memintanya datang ke ruang kerjanya secara tiba-tiba. Aira pikir dia membuat kesalahan karena biasanya kalau sudah diminta ke ruang kerja Bu Laila, pasti ada sesuatu yang serius. Aira menggeleng lemah. "Kok jawabannya tidak pasti begitu, iya atau tidak?" desak Bu Laila membuat Aira menggeleng cepat. "Tidak Bu," jawabnya lugas. Bu Laila mengangguk, tersenyum tipis. "Lagi dekat sama laki-laki atau ada yang disukai?" Pertanyaan selanjutnya memaksa Aira menggaruk tengkuk. Lalu menggeleng isyarat tidak ada. "Jawab pakai kata!" tegas Bu Laila membuat Aira tersentak. "Tidak ada, Bu." "Kalau anakku, suka?" "Hah?!" Aira kaget sampai membelalakkan matanya. Pertanyaan Bu Laila membuatnya tercengang tak dapat berkata-kata. "A–anak Ibu?" ulang Aira memastikan. Bu Laila mengangguk pasti. "Jawab apa ya?" Aira bingung. Mau jawab iya, tapi malu karena rasanya terlalu lancang mengakui suka pada anak majikan sendiri. Bilang tidak, ketahuan bohongnya karena mustahil tidak ada wanita yang tidak menyukai Pak Xabiru. Sudah ganteng, baik, pintar, dan …. Brak!!! "Kaya!" teriak Aira spontan karena lamunannya dikejutkan oleh gebrakan meja Bu Laila. Terpaksa wanita paruh baya tersebut menggebrak meja karena Aira tak menyahut panggilannya. Gadis muda tersebut terlihat sedang melamun. "Kaya?" Bu Laila membeo ucapan Aira. Tidak mengerti. "Eh, tidak, Bu. Maaf, Saya bingung," jawab polos Aira. Gadis berumur dua puluh dua tahun ini memang dalam keadaan bingung dan sulit memahami apa maksud majikannya saat ini. Ia berhati-hati dalam bicara takut kalau semua ini hanya jebakan untuk mengujinya. Ujian untuk tetap dipekerjakan di rumah ini sebagai baby sitter cucunya. "Kamu belum punya pacar?" Bu Laila mengulang pertanyaannya dan dijawab Aira dengan anggukkan kepala. "Tidak dekat sama siapapun?" Dijawab anggukkan lagi oleh Aira. "Suka sama anak Saya?" Aira mengangguk ragu takut menjawab iya. "Suka Jingga?" "Hah?" "Selama ini suka kan ngasuh Jingga? Apalagi Jingga itu kalau mau apa-apa pengennya sama kamu." Aira kembali mengangguk, membenarkan. Cucu kesayangan Bu Laila memang sangat menyukainya. Padahal Aira baru dua tahun bekerja tapi hubungan mereka sudah sangat akrab. Dimana ada Jingga di situ harus ada Aira. Mereka tidak terpisahkan layaknya Ibu dan anak. Sangat dekat. Itu juga yang membuat Bu Laila akhirnya mengambil sebuah keputusan yang amat besar ini. "Jadilah istrinya Xabiru, kamu mau kan?" *** "Bunda!" Jingga berlari menghampiri Aira di kamar barunya. "Hei anak pintar. Ada apa, Sayang?" sapa Aira lembut. "Kata Ayah, Bunda tidur di sini?" tanya Jingga merengkuh leher Aira, bermanja pada Ibu barunya. "Iya, sama Jingga kan?" Aira balik bertanya seolah memastikan. Jingga dengan wajah sendu menggeleng. "Jingga tidurnya di kamar sebelah." "Oh, tidur sama Ayah?" tebak Aira. Lagi, Jingga menggeleng. "Bukan, tidurnya sendiri aja, di sebelah kamar ini." Jingga menunjuk dinding kamar di sampingnya. Kamar Pak Xabiru. Aira mengerjap seolah baru sadar kalau di samping kamar Pak Xabiru, lebih ke pojok memang ada kamar lagi. Mungkin itu kamar yang dimaksud Jingga. "Yaah …, padahal Bunda maunya tidur sama Jingga. Kalau Jingga gimana?" Aira ikutan memasang wajah sendu. "Iya, maunya sama Bunda juga." "Ya sudah, kalau begitu biar Bunda yang bilang sama Ayah kalau malam ini kita tidur bareng." "Memang boleh, Bun?" Mata Jingga berbinar riang. "Kenapa tidak?" "Tidak boleh!" Aira tersentak kaget lalu memalingkan badan menghadap ke asal suara. Pak Xabiru sudah berada di depan kamarnya dengan sebelah tangan berkacak pinggang. Seketika Jingga melipir ke belakang badan Aira. Sedikit takut mendengar suara tegas ayahnya. "Kalian tidur di kamar masing-masing dan kamu Jingga jangan tidur sama Sus, eh, Bundamu. Kamu punya kamar sendiri, jadi tidur lah di sana. Lagipula ini juga untuk melatih kedisiplinan agar tidur mandiri sejak dini." Xabiru tetap ngotot dengan keputusannya. "Nggak papa lah Pak, tidur di kamar Saya. Kami sama-sama sendiri dan Saya tidak terbiasa tidur sendirian. Biasanya selalu berdua atau bareng-bareng. Di rumah Ibu dulu juga gitu. Daripada Saya tidur di kamar Bapak, kan lebih baik tidur sama Jingga." Deg! Netra Xabiru tiba-tiba hampir copot dari tempatnya mendengar jawaban enteng dari istri barunya tersebut. "Gimana Pak? Pilih yang mana?" tantang Aira dengan berani. Baru kali ini dia banyak bicara pada mantan anak majikannya tersebut. Biasanya Aira hanya mampu menyapa dan itupun cuma senyum tipis saat tak sengaja lewat berpapasan. "K–kamu!" Xabiru tergagap. "Ya, sudah. Untuk malam ini saja. Besok Jingga sudah kembali tidur di kamarnya sendiri." Aira dan Jingga kompak mengangguk iya. Keduanya tersenyum riang. Terutama Jingga yang sangat bahagia bisa tidur bersama Ibu sambungnya. *** "Jingga, Ayah selalu tidur sendiri ya?" Kedua Ibu dan anak tersebut sudah rebahan di kasur, bersiap tidur. Sebelum tidur, Aira mengajak bicara anak sambungnya tersebut. Jingga mengangguk membenarkan. "Iya," jawabnya dengan mata terpejam. "Jingga pernah tidur sama Ayah?" Aira kembali bertanya karena penasaran. Waktu di rumah Bu Laila, Jingga sudah tidur mandiri dan katanya itu sejak bayi. Sedang Xabiru tidur di kamarnya sendiri. Jingga mengendikkan bahu isyarat tidak tahu. "Lupa," jawabnya singkat sambil mengeratkan pelukannya pada Aira. Wanita yang sedang dipeluk gadis kecil berumur lima tahun tersebut tersenyum miris. Ia merasa Jingga sudah lama tidak merasakan tidur bersama orangtuanya, apalagi ibunya. Dia ditinggal pergi ibunya saat berusia lima bulan. Aira tak tahu pasti karena Bu Laila tak menjelaskan detail apa penyebab meninggal ibunya Jingga, dan Aira juga tak berani bertanya lebih dalam. Hanya tentang Jingga saja yang perlu diketahui. Selebihnya bukan ranah Aira. Jadi, wajar kalau Jingga tidak bisa mengingat pernah tidur bareng orangtua atau tidak. Apalagi Jingga sudah terbiasa tinggal bersama Neneknya. "Mau tidur bareng Ayah? Bareng Bunda juga?" Pertanyaan Aira membuat mata Jingga yang hampir redup lima watt berubah terang benderang. Ia dengan cepat menganggukkan kepala tanda mau. Lalu kemudian berubah redup kembali setelah meyakini jika itu tidak mungkin terjadi. "Nggak mungkin, Bun, Ayah sukanya apa-apa sendiri." Anak kecil tersebut menggumam pesimis. Lalu menutup matanya kembali. Melihat Aira disiapkan kamar terpisah saja sudah dipahami Jingga kalau kedua orangtuanya tersebut tidak akan tidur sekamar. "Mungkin kok, tapi bantu Bunda ya." Kedua alis Aira naik-turun sembari menaikan kedua sudut bibirnya ke atas. Jawaban Aira mengisyaratkan sesuatu. Kening Jingga berkerut mencoba memahami maksud bundanya barusan. Namun tak menemukan jawabannya. Ia tidak mengerti.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
189.3K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.4K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.4K
bc

My Secret Little Wife

read
95.5K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook