Kabar Buruk

1443 Words
Di sebuah hotel bintang lima, dua orang pemuda berwajah serupa, tengah mengadakan rapat direksi yang ditemani beberapa orang berpakaian hitam. Banyak pebisnis yang hadir di sana dengan pakaian formal yang melekat di tubuh mereka. “Bagaimana pendapat Anda, Tuan Gama dan Tuan Gema?” tanya seorang pria paruh baya, setelah sekretarisnya selesai memaparkan isi dari sebuah kontrak kerja sama yang ditawarkannya. “Terima kasih, Tuan Pradipta. Saya pribadi cukup puas dengan pemaparannya,” sahut Gema sembari memainkan bolpoin di tangannya. “Ya. Apa yang dikatakan adikku memang benar, tetapi saya sama sekali belum bisa memutuskan apa pun untuk saat ini. Jika Anda masih berkenan melakukan kerja sama, Anda bisa langsung datang ke kantor kami setelah tiga hari pertemuan kita. Sebelumnya, saya memohon maaf, Tuan Pradipta.” Gama beranjak dari tempatnya, setelah menolak halus kerja sama yang diajukan oleh Pradipta—Ketua Direktur Arganata Group. Penolakan yang ditujukan Gama Adriansyah Afchar saat itu, membuat Gema Ardiansyah Afchar kembarannya, dan Melinda sekretarisnya menjadi bingung. Namun, keduanya tetap harus menghormati keputusan sang kepala direktur tersebut. Gama dan Gema keduanya kembali ke kantor, pasca menghadiri rapat direksi tadi. Gema sempat menawarkan sang kakak yang lahir berselisih 5 menit dengannya tersebut, untuk bersantai. Namun, Gama menolak tanpa memberi celah untuk diprotes. “Kak, apa yang membuatmu menolak kontrak kerja sama Arganata Group?” tanya Gema saat keduanya sudah berada di dalam ruangan direktur. Entah apa yang membuat Gema, ingin sekali menerima kontrak kerja tersebut. “Gema, kita harus teliti sebelum mengambil tindakan apa pun. Aku mendapat isu, bahwa Dewan Direksi perusahaan itu sering melalukan kecurangan. Kita harus cermati dulu semua taktiknya, dan lakukan verifikasi terlebih dahulu. Ada kemungkinan hal-hal yang tidak diinginkan bisa terjadi kapan saja, jika kita teledor mengambil tindakan,” jelas Gama, membuat kebingungan Gema dan Melinda akhirnya terpecahkan. “Minggu depan aku ada kunjungan proyek di luar kota. Semua urusan di sini, sepenuhnya tanggung jawabmu Gema,” ujar Gama yang langsung dibalas anggukan oleh Gema. “Baik Kak,” sahut Gema. “Dan untukmu, jangan pernah beri kebebasan kepada mereka, sebelum kontrak kerja sama mereka ditanda tangani olehku. Kau paham, Mel?” tekan Gama kepada Melinda. “Baik, Tuan.” Melinda menundukkan wajahnya. “Baik, silakan kembali ke ruangan!” titah Gama. Setelah kepergian Melinda, Gema merebahkan tubuhnya di sebuah sofa yang ada di ruangan tersebut. Pria itu rupanya merasa bosan. Terlihat jelas dari posisi tubuhnya yang terus bergerak gelisah. “Kak, apakah kau tak ingin memiliki seorang kekasih?” tanya Gema kepada Gama yang saat itu tengah fokus berkutat dengan layar monitornya. “Diamlah Gem! Kau mengganggu konsentrasi ku!” geram Gama. “Huh, aku hanya bertanya, Kak.” Gema mendengus sebal. “Dengar Gema. Kau bahkan tak memiliki kekasih. Lalu, apa faedahnya bagimu jika kau bertanya seperti itu kepadaku?” tanya Gama dengan kesal. “Aku lebih senang sendiri Kak. Bagiku—“ “Bilang saja kau belum move on. Aku penasaran, wanita mana yang berani mempermainkan adik kembarku ini,” potong Gama. Ungkapan pria itu berhasil membuat Gema mendengus kesal. “Kak, jangan berbicara seperti itu. Dia gadis yang sangat manis. Seperti namanya, Li—“ “Stop Gema! Aku harus menyelesaikan pekerjaanku!” potong Gama. “Baiklah, aku mengaku salah Pak Direktur.” Gema memilih mengakhiri perdebatannya dengan sang kakak, yang tak akan pernah mau mengalah itu. Tiga hari berlalu, hari itu Gama tengah berada di perjalanan menuju kantornya. Pria itu agak sedikit telat, akibat terlalu nyenyak tertidur setelah melakukan perjalanan selama 2 hari dari luar kota. “Selamat sing, Tuan,” sapa seorang resepsionis dan para karyawan ketika melihat sosok Gama Adriansyah memasuki lobi kantor. Gama yang memiliki kepribadian arogan turunan dari sang ayah, sangat ditakuti di kalangan bisnis. Berbeda dengan Gema kembarannya, yang memiliki sikap ramah turunan dari sang ibu—Erina Manno. Gama berjalan menuju lift khusus menuju lantai 7 di mana ruangannya berada. Saat sampai di lantai tiga, sosok Melinda sudah menunggu di depan ruangannya. “Selamat siang Tuan. Tuan Gema dan Tuan Pradipta sudah menunggu di ruang meeting,” jelas Melinda sembari membungkukkan tubuhnya. “Ya, baik. Aku akan segera ke sana.” Gama memasuki ruangannya. Tak cukup 5 menit, pria itu kembali keluar dari ruangannya dan segera melangkah menuju ruang meeting. “Selamat siang Tuan Direktur,” sapa semua orang yang berada di ruang meeting saat itu, ketika melihat kedatangan Gama. “Ya, selamat siang. Mohon maaf, atas keterlambatan hari ini.” Gama segera berjalan ke arah kursi miliknya. Meeting hari itu berjalan selama kurang lebih 40 menit. Hari itu Gama memutuskan untuk menerima tawaran kontrak kerja sama yang diajukan oleh Arganata Group, setelah ia memverifikasi segalanya secara berulang kali. *** Hari-hari berganti, dua minggu setelah kepulangannya, Gama kembali meminta izin kepada Gema dan sang ibu. Gama akan melakukan perjalanan bisnis ke Singapura selama satu bulan, ditemani oleh Raditya, asistennya. Sudah hampir satu bulan melakukan perjalanan bisnis, pria itu tak pernah lagi menghubungi keluarganya, baik itu Gema ataupun sang ibu. Terakhir kali, sang adiklah yang lebih dulu mengabarinya untuk berbagi informasi terbaru perihal Pradipta—rekan kerja Gema dalam mengelola suatu proyek di bagian barat. Gama yang tengah fokus berkutat dengan beberapa berkas di hadapnya, harus membagi kefokusannya dengan benda pipih miliknya yang tiba-tiba berdering. "Hallo, Tuan?" “Ya, ada apa?” tanya Gama, setelah menerima panggilan telepon tersebut. “Selamat siang Tuan. Saya mau mengabarkan, bahwa Tuan Gema mengalami kecelakaan tunggal, diduga akibat rem pada mobil yang dikendarai Tuan Gema tidak berfungsi dengan baik, Tuan.” Pria bernama Jaka tersebut memberi tahu Gama secara detail. Jaka adalah orang kepercayaan Gama yang sangat cerdik dan bisa diandalkan. Bagai disambar petir di siang bolong, Gama syok mendengar kabar buruk tersebut. “Ba–baik, aku akan segera kembali. Awasi dan pastikan Gema mendapat perawatan di rumah sakit terbaik!” ujar Gama. Siang itu juga Gama memutuskan untuk kembali ke tanah air, setelah semua keperluannya diurus oleh Radit. Sepanjang jalan, Gama hanya merasakan sebuah penyesalan yang sangat amat. Jika saja ia tak meninggalkan Gema sendiri, untuk berhadapan dengan seorang Pradipta yang terkenal licik. Mungkin saja tidak akan terjadi hal seperti ini. Bahkan ketika sang adik telah memberitahunya perihal taktik licik Pradipta yang terbaca oleh Gema, dirinya tetap bersikeras untuk tidak pulang dan memilih menyelesaikan segala urusannya di Singapura. Ia sangat yakin, dalang di balik kecelakaan sang adik, tak lain dan tak bukan adalah Pradipta Arganata. Tepat pada malam hari, Gama baru saja tiba di tanah kelahirannya. Pria itu segera bergegas menuju rumah sakit di mana sang adik dirawat. Rasa lelahnya tak berarti apa-apa, dibanding dengan kekhawatirannya terhadap sang adik. “Assalamualaikum,” ucap Gama saat tiba di salah satu ruangan rumah sakit. “Wa’alaikumssalam, Gama. Kamu sudah tiba, Nak?” sahut Erian Manno, yang melihat sosok putra sulungnya berjalan ke arahnya. “Iya, Bu. Ini aku.” Gama bergegas memeluk tubuh sang ibu yang saat itu terduduk di samping brankar sang adik. “Gama, lihatlah adikmu! Dia tak mau membuka matanya untuk kita, Nak,” ucap Erina sembari terisak. “Ibu, tenanglah. Anak nakal itu pasti akan kembali sehat, dan akan mengganggu Ibu lagi ketika sedang membuat cake pelangi,” ujar Gama berusaha menguatkan sang ibu. Namun, tanpa disadari, air mata pria itu juga ikut menetes ketika melihat keadaan Gema yang menyedihkan. Gama membawa sang ibu untuk beristirahat. Karena sejak siang, wanita itu terus menemani sang adik. Ia tak ingin ibunya jatuh sakit karena hal itu. Bergantian dengan Erina, kini Gama yang berjaga di ruangan sang adik. Gama menatap sendu ke arah sang adik, yang saat itu terbaring tak berdaya di atas brankar. Tubuh Gema dipasangkan kabel-kabel medis, berfungsi membantu kehidupan pria itu. Salah satunya kabel yang menyinkron jantung melekat di dadanya. Akibat kecelakaan yang menimpa Gema sewaktu pulang dari kantor tersebut, menyebabkan sebagian organ tubuh pria itu tak dapat lagi berfungsi. Salah satu di antaranya adalah kedua kaki Gema. “Gema, maafkan aku.” Suara Gama terdengar parau. Kedua bola mata Gama memerah menahan tangis. “Gema, bangunlah. Jangan buat ibu terus meneteskan air matanya!” Gama menyentuh lengan Gema yang dipasangkan jarum infus. Lalu, sebelah tangannya mengusap lembut rambut adik kembarnya yang hitam dan tebal. “Ini pasti sangat sakit, bahkan seumur hidupmu kau belum pernah merasakannya. Pulihlah untukku dan ibu. Ayah sudah tiada, hanya kita berdua yang diharapkan ibu untuk menemaninya di masa tua,” gumam Gama. “Aku tahu, kau pria kuat Gema. Aku tidak pernah mengajarimu menjadi pria yang lemah Gema. Ayo, bangunlah! Kita akan cari tahu dalang dari semua ini, dan kita akan sama-sama menghancurkan orang biadab itu!” “Aku juga berjanji akan mencari pacar seperti keinginanmu.” Gama terus mengajak Gema berbicara, seakan sang adik dapat mendengar semua perkataannya. Pria dengan sorot mata tajam itu, berubah lemah tak berdaya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD