4. Bentakan Raksa

1618 Words
Seluruh orang di ruangan itu menatap Senja dengan tatapan menghakimi. Baju serba hitam terpakai di masing-masing tubuh mereka. "Kamu telah membunuhnya!" "Kejam sekali!" "Dasar pembunuh!" "Umurmu masih terlalu muda, kenapa harus merenggut nyawa orang lain?" "Terlihat seperti anak yang tidak normal." Mereka semua memojokan Senja. Dia kini meringkuk di sudut ruangan dengan ketakutan. "Lihat dia! Tidak ada penyesalan sama sekali." "Aku bukan pembunuh," elak Senja dengan suara serak. Seseorang tertawa hambar dan mendekatinya, dia berbisik di telinga Senja, "Pembunuh tetaplah pembunuh!" "AKU BUKAN PEMBUNUH!" Mata Senja tiba-tiba terbuka. Helaan napas kasar keluar lewat mulutnya. Ternyata hanya mimpi. Namun, deruan napas kasarnya belum juga berhenti. Peluh keringat dingin membasahi keningnya. Sekujur tubuhnya memanas. Mimpinya barusan terasa begitu nyata. "Hhhhh...Hhhhh...." Senja terus membuang napas dengan kasar. Bukan satu atau dua kali Senja seperti ini. Sangat sering ia dihantui oleh mimpi buruk. Lampu kamarnya yang sengaja dimatikan menambah kesan horor baginya. Bukannya menyalakan lampu, Senja malah berdiri mendekati jendela. Dia membuka jendela itu, membiarkan udara masuk. Rasanya sesak. Ia selalu sulit untuk bernapas ketika mimpi itu datang. Jarum jam menunjukkan pukul dua pagi. Masih terlalu dini untuknya bangun. Tapi rasa kantuk tak lagi menghampirinya. Jika boleh jujur, Senja muak dengan semua ini. Ia ingin menjalankan kehidupannya dengan normal dan beristirahat dengan tenang. Cairan hangat keluar dari lubang hidungnya. Darah. Senja tidak menduga dia akan mimisan sesering ini. Bahkan hampir mimisan tiga kali dalam sehari. Buru-buru ia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan hidungnya. Siangnya, Senja sudah berada di sekolah. Wajahnya pucat. Mungkin efek kurang tidur. Stamina tubuhnya semakin menurun. Sering lelah meskipun Senja tidak melakukan pekerjaan berat. "Pucet banget muka lo, Ja," ujar Elijah yang duduk di sampingnya. Bel istirahat sudah berbunyi dari sepuluh menit yang lalu. Terpaksa mereka masih di dalam kelas karena belum selesai mengerjakan soal matematika. Ya, Senja dan Elijah payah dalam mata pelajaran itu. "Mau gue beliin makanan gak?" tawar Elijah. Senja yang tengah mencontek hasil kerja Elijah, lantas menggeleng. Dia tidak mau merepotkan temannya. Sudah cukup membuat Elijah kesusahan mengerjakan matematika sendirian. "Gue harus ke kelas Raksa, Jah. Lo bisa sekalian kumpulin buku gue ke ruang guru gak?" pinta Senja. "Kalo lagi gak enak badan, absen dulu ketemu Raksanya. Bibir lo aja sampe kering gitu, sok-sok-an mau pergi ke kelas Raksa," omel Elijah. "Tapi gue gak boleh absen perhatiin Raksa." Elijah memutar bola matanya dengan kesal. Temannya itu memang keras kepala. Tidak bisa dikasih tahu. Jika sudah menyangkut Raksa, Senja tidak akan peduli lagi pada sekitarnya. "Terserah deh, yaudah sini." Elijah mengambil buku Senja dan bukunya. "Tengkyu Elijah, lope-lope buat lo!" seru Senja seraya memberikan fingerlove pada Elijah. Elijah mendelik jijik sebelum berlalu dari kelasnya meninggalkan Senja. Selepas Elijah pergi, senyum Senja luntur. Keningnya berkerut merasakan kakinya yang tiba-tiba kebas dan mati rasa. Berkali-kali dia mencoba untuk menggerakkan kakinya, tetap tidak bisa. Benar apa kata dokter, penyakitnya mulai parah. "Gue mohon jangan sekarang. Kaki gue tersayang, lo bisa gerak'kan?" bujuk Senja. Kebetulan sekali kelasnya sudah sepi, jadi tidak akan ada yang mendengarnya. "Bagus, makasih lo masih mau bekerja sama!" Senja tiba-tiba berseru ketika kakinya sudah bisa bergerak kembali. Kemudian, da pergi ke kelas Raksa. Tepat ketika Senja di depan kelas pujaan hati, ia berhenti sebentar untuk memoles bibirnya dengan lipbalm agar bibirnya tak terlihat pucat. Setelah dirasa cukup, ia masuk dengan riang ke dalam kelas. "Raksa," panggil Senja saat sudah duduk di samping Raksa. Seperti biasa, cowok itu tidak menjawab. Dia sibuk dengan map yang ada di tangannya. Senja yakini itu pasti berkas-berkas dari ruang OSIS. "Raksa," panggil Senja lagi. Suasana dikelas Raksa masih ramai. Tapi Senja tidak melihat keberadaan Alga dan Ervin. Mungkin mereka sedang di kantin. "Saaa...!" "Raksa...." "Raksaaaa...." "Raksa Raksa Raksa..." Tepat saat Raksa menoleh, Senja berkata, "Gue suka sama lo." Tahu reaksi Raksa seperti apa? Datar. Ya, memang selalu seperti itu. Kata-kata Senja selalu saja dianggap angin lalu. Tapi masih pada prinsipnya, Senja tidak akan pernah menyerah. Senja menghela napas lelah saat Raksa kembali sibuk dengan berkas-berkas itu. "Sa...?" "Lo pilih gue atau Amara?" Masih tidak ada jawaban. "Gue pasti milih lo, Ja. Tenang aja!" Senja menirukan suara Raksa yang sebenarnya jauh berbeda. "Lo bisa diem gak?" ketus Raksa. Senja menggelengkan kepalanya. "Kalo gitu, bisa lo keluar dari kelas gue?" Lagi-lagi Senja menggeleng dengan cepat. Raksa sempat memejamkan matanya untuk menahan emosi. Senja sangat menganggunya di saat dia tengah dipusingkan dengan urusan organisasinya. "Wah, Ja. Kapan sih lo absen ke kelas kita?" ujar Alga yang baru saja datang bersama Ervin. Mereka duduk di depan Senja dan Raksa. "Kalo gue dah mati," jawab Senja enteng. "Emang kapan lo mati?" sela Ervin. Dia menaruh minuman titipan Raksa tadi di meja. "Bentar lagi." Lagi-lagi Senja menjawabnya dengan entang. "Heh, umur ada di tangan Tuhan. Mana bisa lo tentuin?" tegur Alga. "Ini buat Raksa?" kilah Senja menunjuk minuman di depan Raksa. Ervin mengangguk. Senja langsung meminumnya dengan wajah tanpa dosanya. "Lah kok di minum, Ja?" sergah Ervin. "Minuman Raksa, minuman gue juga," cetusnya sebelum meneguknya kembali. Ervin menatap Senja dengan cengo. Sedangkan si pemilik minuman sudah melirik Senja dengan kesal. Tentu saja Raksa kesal, masalahnya ia juga haus. Sepertinya Senja tidak akan berhenti membuatnya jengah. Sedangkan di tempatnya, Alga hanya bisa geleng-geleng. Nyali cewek itu bagus juga. Dan sekarang tatapan Raksa menajam ke arah Senja. Sementara cewek itu malah cengengesan tak takut jika cowok itu marah. Dengan polos Senja berucap, "Gue sisain setengahnya buat lo." Tidak mau terlalu emosi. Raksa kembali lagi pada kegiatannya. Blok! "JA!" sentak Ervin dan Alga dengan ekspresi kaget. Senja juga sama kagetnya. Lagi-lagi Raksa dibuat marah oleh Senja. Minuman itu tumpah pada map milik Raksa. Raksa dengan cepat bangkit, tidak mau bajunya ikut basah. "LO- LO SENGAJA'KAN?" gertak Raksa tertahan. Tak bisa lagi ia menahan emosinya. "Gue bener-bener gak sengaja, beneran!" elak Senja. "LO TAHU? GUE HARUS KERJAIN INI SAMPE MALEM! DAN LO BILANG GAK SENGAJA?" teriak Raksa membuat Senja kaget mendengarnya. Terlebih siswa-siswi yang ada di dalam kelas langsung menjadikannya pusat perhatian. "Sa-" "Keluar!" usir Raksa. Di saat seperti ini Alga dan Ervin tak berkutip. Mereka tahu jika Raksa sudah marah, akan terlihat menyeramkan. "Sa, Gue gak sengaja!" mohon Senja. "GUE BILANG, KELUAR!" Senja tersentak. Dia tak menyangka Raksa bisa semarah ini. Dengan berat hati ia keluar dari kelas Raksa. Tentunya Senja mendengar bisikan-bisikan yang tak mengenakan dari penghuni kelas. Hatinya tiba-tiba sakit. Raksa belum pernah membentaknya. Senja saat ini kecewa pada dirinya sendiri karena membuat cowok itu marah. Tadi tangannya sempat kebas, dan berakhir dengan minuman itu tumpah pada map yang kebetulan Raksa letakan di meja. Senja menghentikan langkahnya di koridor yang lumayan sepi. Dia menggenggam tangan kanannya yang sering kali terasa kebas. Air matanya keluar tanpa diminta. Ia menutup rapat mulutnya, tidak ingin ada yang mendengar suara tangisnya. Senja menangis sejadi-jadinya di tempat itu tanpa suara. *** "Sa, lo gak keterlaluan bentak dia?" tanya Alga. Raksa tak menjawab, ia masih sibuk dengan map basah di tangannya. Rasa tidak enak tiba-tiba singgah di hatinya. Ia juga tidak tahu kenapa dirinya bisa semarah itu. Mungkin efek gara-gara ia sering bergadang. "Parah lo, Sa. Gak pernah gue liat Senja jadi kicep gitu," timpal Ervin. "Mewek gak sih dia?" balas Alga. "Gue yakin, Senja besok juga kesini lagi. Dia mah bukan cewek cengeng," tepis Ervin. Alga beralih pada Raksa. "Lo gak risih di deketin Senja mulu, Sa?" Bukannya menjawab, Raksa bangkit dari duduknya dan pergi keluar kelas. Langkah kakinya seperti tak bisa dikendalikan. Ia pergi ke kelas Senja. Tepat saat dia di sana. Dia melihat Elijah yang keluar kelas. "Jah!" panggil Raksa. Elijah yang tengah mengemut permen loli langsung menoleh. "Kenapa, Sa?" "Senja mana?" Elijah mengernyit heran. "Bukannya dia di kelas lo dari tadi?" "Dia gak ada di kelas?" Elijah menggeleng. "Tadi dia bilang mau ke kelas lo." "Oke." Raksa pergi meninggalkan Elijah yang heran kenapa cowok itu mencari Senja. Di tengah perjalanannya untuk menemukan Senja, langkahnya mendadak berhenti. Raksa melihat Senja yang tengah tertawa bersama seorang laki-laki di lapangan basket. Bodoh, kenapa juga ia harus mencari keberadaan Senja. Jelas-jelas cewek itu sekarang baik-baik saja. Raksa terus merutuki dirinya dalam hati. Raksa mengepalkan kedua tangannya. Perasaan tidak suka melihat Senja dengan cowok lain muncul di hatinya. Padahal jelas-jelas ia tidak menyukai Senja. Lalu bagaimana bisa perasaan itu muncul? Dengan menahan kesal dalam hatinya, Raksa pergi dari sana. Kembali ke kelasnya. Sementara itu, Senja terus tergelak melihat kekonyolan Aster yang sering kali membuatnya tertawa. Kini Senja sudah kembali pada mulanya. Dia menangis hanya sebentar, menghilangkan rasa sakit hatinya. Setelah berhenti menangis, ia melihat Aster yang sedang bermain bola basket sendirian. Jadi, ia menghampiri cowok itu. "Lo mau coba, Ja?" tawar Aster. Dengan cepat Senja menggeleng. "Gue gak bisa." "Sini coba! Gue ajarin," ujar Aster. Senja yang awalnya duduk di pinggir lapang, berjalan menghampiri Aster. Lalu, Aster melempar bolanya pada Senja. "Pegang bolanya!" Saat bola itu di tangannya, dia menatap bingung kearah Aster. Kemudian, cowok itu mengambil bola yang lain. Mulai memperagakan lemparan bola kearah ring. Dan, Hap! Bola masuk tepat sasaran. "Lo ikutin gerak gue tadi, posisiin tangan lo di atas!" intrupsinya. Senja menurut. Dia memposisikan bola dengan benar di tangannya. Melempar bola kearah ring. Dan helaan napas kecewa terdengar saat bola itu sama sekali tidak masuk ke dalam ring. "Dahlah males!" Senja kembali duduk di pinggir lapangan diikuti Aster yang duduk di sampingnya. "Oh ya, lo kenapa nyari gue kemarin-kemarin?" tanya Senja. Aster langsung mengeluarkan kalung yang ada di saku celananya. DanbSenja menatapnya tak percaya. Itu kalung miliknya tapi Senja tidak menyadari bahwa ia telah kehilangan kalungnya. Senja memang ceroboh. "Itu kalung gue," heboh Senja. Aster memberikan kalung itu pada Senja. "Waktu itu lo jatuhin kalung lo di rooftop rumah sakit." Senja senang bukan main. Untungnya Aster yang menemukan kalungnya. Coba saja jika bukan, Pasti kalung itu hangus. "Makasih, kalung ini berharga banget buat gue." Aster mengangguk sebagai balasan terimakasih Senja. "Sama-sama."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD