Meet Hajoon

1042 Words
California, 2008 “Aaaa! Oh my God I hate this,” teriak Hajoon memukul mouse pad miliknya. Wajahnya terlihat kesal karena dia kalah dalam game yang dimainkannya. Hajoon menyandarkan tubuhnya dan mengusap wajahnya kasar. Dia gagal di saat-saat terakhir dan itu membuatnya kesal. “Kalah lagi?’ Tebak seseorang dengan wajah mengejek. Hajoon memutar kursi gamenya dan menoleh ke arah Park Ara, sang kakak yang kini tengah memandangnya dengan nada mengejek. Dari wajahnya saja Ara sudah bisa menebak bahwa Hajoon kalah main game lagi. “Jangan menggangguku, sebaiknya kau pergi saja,” ujar Hajoon dengan wajah kesal. Dirinya sedang tidak ingin bicara dengan Ara. “Kau ini kasar sekali, kau tidak boleh bicara seperti itu pada kakakmu. Bisakah kau bicara dengan bahasa formal, bagaimanapun aku ini nuna-mu,” Ara berdecak kesal. Hajoon dan Ara kakak beradik, di korea panggilan kakak perempuan dari adik laki-laki adalah Nuna, namun Hajoon tidak pernah memanggil Ara dengan sebutan Nuna. Hajoon bahkan bicara banmal atau tidak formal dengan sang kakak, mereka lebih terlihat seperti teman daripada kakak beradik. “We live in America so i wouldn,t call you Nuna.” Tolak Hajoon dengan wajah menyebalkan. Hajoon dan Ara lahir di Korea tapi sejak Ara berumur sepuluh tahun orang tua mereka pindah ke California, meskipun begitu keduanya terlihat seperti orang Korea dengan kulit putih, mata sipit dan hidung mancung yang menurun dari orang tua mereka. “Kau ini menyebalkan,” sungut Ara. Biasanya Ara akan menjewer kuping Hajoon jika lelaki itu membantahnya, namun kali ini Ara sedang tidak ingin bertengkar dengannya. “Kenapa kau tidak menjewerku,” kata Hajoon yang merasa aneh, jika kesal dengannya, Ara pasti akan melampiaskannya pada Hajoon, rasanya begitu aneh kalau Ara tiba-tiba baik padanya hari ini. “Aku hanya tidak ingin mengotori tanganku,” komentar Ara sambil duduk di ranjang Hajoon. Perempuan itu memandang ke arah sekitar, kamar Hajoon benar-benar sangat berantakan. “Berapa lama kau tidak membersihkan kamarmu. Kau ini benar-benar jorok Hajoon,” Omel Ara, gadis itu yang selalu mengurusi kebutuhan Park Hajoon saat Lisya, mamanya sibuk bekerja. Ara dua kali jauh lebih cerewet dari mamanya Hajoon. Dia juga tidak tanggung-tanggung perkara memarahi sang adik. “Jika kau ke sini untuk menggangguku sebaiknya kau pergi saja,” usir Hajoon yang kembali sibuk dengan keyboard dan mouse di hadapannya. Tidak ada waktu baginya untuk berbincang dengan sang kakak. Lelaki itu memang jarang bicara dia lebih senang bermain game daripada menghabiskan waktu bicara dengan kakaknya. “Aku ke sini bukan untuk mengganggumu Hajoon, aku ke sini untuk mengecek keadaanmu. Mommy meneleponku, katanya kau tidak menjawab telepon darinya. Kau buang ke mana hapemu?” tukas Ara yang hafal dengan kebiasaan Hajoon. Setiap kali sibuk dengan komputer dan keyboard di hadapannya Hajoon punya kebiasaan meletakkan handphone di sembarang tempat. Hajoon tampak sibuk mencari ponsel di sekitarnya. Lelaki itu tampak kebingungan untuk beberapa saat hingga dia menemukan ponselnya tergeletak diantara buku komik miliknya. Hajoon mengambil ponsel miliknya dan menatap ponsel kesayangannya yang kehabisan baterai. “Kau ini selalu saja lupa mengisi baterai ponselmu,” Ara ngedumel dan mengambil ponsel Hajoon. Perempuan itu mencari pengisi daya milik Hajoon dan menyambungkannya ke colokan yang ada di kamar Hajoon. Ara tampak memperhatikan Hajoon, sudah kesekian kali dia suka ke kamar Hajoon dan memperhatikan aktivitas sang adik. Hajoon yang dulu Ara kenal tidak seperti ini, adiknya sangat suka jalan-jalan, makan di MCD, menghabiskan waktunya dengan bermain basket, namun sekarang Hajoon seperti terjebak di ruangan ini dan enggan bersosialisasi. “Jangan menatapku dengan tatapan kasihan seperti itu, aku sangat membencinya,” kata Hajoon yang merasa sedari tadi Ara tampak mengawasinya. Ara tetap tak bergeming, sepertinya ini saatnya Ara bicara tentang masa depan adiknya. “Kau mau sampai kapan seperti ini Hajoon?” wajah Ara kini berubah serius. Hajoon tak berani menatap Ara, dia tahu apa yang akan kakaknya bicarakan. Lelaki itu memilih untuk fokus pada game di hadapannya. Baginya masih terlalu sulit untuk keluar dari keadaan yang tengah dia hadapi sekarang, meski Ara dan keluarganya selalu mendukungnya. “Hajoon, aku tahu ini berat bagimu, tapi dunia tak seburuk itu, kau bisa mulai pelan-pelan, mulai terlebih dahulu dengan melihat dunia pelan-pelan,” ujar Ara. Satu-satunya yang Hajoon syukuri adalah memiliki keluarga yang sabar dan selalu ada. Ara sebenarnya tak keberatan jika Hajoon memilih hidup seperti ini, tapi dia tidak tega membiarkan sang adik terkungkung dalam dunia gelapnya selamanya. Hajoon harus memulai hidup baru dan Ara siap untuk membantu adiknya keluar dari terowongan gelap ini. “Aku tahu aku beban, tapi aku belum punya keberanian untuk keluar,” gumam Hajoon dengan tatapan menerawang. “Jangan berkata seperti itu, kami tidak pernah menganggapmu beban, Hajoon. Kau juga tahu mama papa juga sangat mencintaimu,” ujar Ara yang tidak ingin adiknya berkecil hati, “Dokter bilang kondisimu sudah lebih baik, ayo coba pelan-pelan. Kau masih ingat impianmu kan? Kau bilang kau ingin berdiri di panggung, melihat orang-orang bersorak dan melihatmu bernyanyi, aku tahu kau bisa melakukannya, Park Hajoon,” ujar Ara dengan tatapan serius. Bagi Hajoon begini saja sudah cukup, dia tidak ingin keluar dan berada di tengah keramaian yang membunuhnya. Baru membayangkannya saja rasanya udara di sekitarnya seperti menipis. Rasa sesak di dadanya selalu menghimpit setiap kali dia ingin mencoba hidup normal seperti yang lainnya. “Aku gak bisa,” Hajoon terlanjur pesimis. Ara menarik napas berat, dia benci ketika Hajoon seperti ini, Ara akan mencari cara untuk melihat Hajoon tersenyum kembali, tapi yang terpenting sekarang adalah membujuk Hajoon untuk mau berjuang lagi. Hajoon tetap tidak menjawab, bagi orang lain mungkin mudah untuk berjalan ke luar pintu, melihat langit cerah dan melakukan aktivitas apapun yang mereka inginkan. Tapi bagi Hajoon dunia di luar sana seperti neraka. Masih terlalu sulit untuk dipijak, meski senyatanya tidak seburuk yang dia pikirkan. “Kau ini pengecut. Bagaimana kau bisa mewujudkan impianmu jika kau hanya diam di tempat. Tak ada penyanyi yang manggung di tempat yang tidak ada orang sama sekali. Jika kau ingin menjadi penyanyi yang hebat,kau harus berada di atas panggung, berada di depan jutaan penonton. Jika kau tak sanggup sebaiknya lupakan saja impianmu,” tukas Ara dengan nada dingin. Ucapan Ara menusuk d**a Hajoon dan membuat lelaki itu berpikir. Bahkan sampai perempuan itu pergi dari hadapannya Hajoon masih termenung. Terowongan gelap ini terlalu sesak, namun dunia di luar sana terlalu seram untuk dipijak bagi seorang Park Hajoon.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD