Chapter 1 : Palace of Resseaou

1667 Words
Senyum di wajah Vernon terukir jelas. Kedua kakinya menapaki tepat, di tanah mansion keluarga— Palace of Resseauo. Tempatnya tumbuh besar. Bangunan tersebut, sudah lebih dari tiga puluh tahun. Katanya, dihadiahkan Marck untuk istrinya, saat pernikahan. Terbukti memang, nama Naomi tercetak jelas di surat-surat kepemilikan. Derap langkah Vernon melebar. Ketika menatap seorang wanita yang mengenakan pakaian serba putih, rambut blonde tergerai mengilap. Asyik, memetik beberapa tangkai mawar merah yang tengah mekar. Ia tidak sendiri, melainkan ditemani gadis kecil bermata biru laut. Usianya, sekitar tiga tahun. Gadis mungil itu menari sendiri. Tanpa berniat menyentuh bunga. Mungkin takut, jika duri-duri dibalik keindahannya. Menusuk. "Kau merawat taman ini dengan baik, Mom!" tegur Vernon. Memasang wajah ceria. Tersenyum lebar. Segera, wanita itu menoleh. Mencari sumber suara. "Om Vernon. I miss you," pekik gadis kecil itu lebih dulu. Berlari mendekat. Menyambut kotak yang ia yakini sebagai hadiah. "Bagaimana kabarmu, Rachella?" tanya Vernon. Menggendong gadis kecilnya. Rapat. Namun, Rachella enggan menjawab. Lebih mementingkan isi kado yang ia dapatkan. "Kenapa tidak bilang mommy kalau kau pulang?" tanya wanita anggun dengan suara yang begitu lembut. Meski usianya tidak lagi muda. Naomi— ibu Vernon. Masih terlihat begitu bugar. "Aku tidak ingin merepotkan mu, Mom," papar Vernon. Tanpa henti mencium pipi Rachella yang bulat. Alangkah bahagianya ia, ketika membuka hadiah. Vernon memberikannya satu seat permainan yang ia idamkan begitu lama. Barbie house. Lengkap. "Kata siapa kau merepotkan mommy? Jika tahu, aku akan meminta Samantha menyiapkan makanan kesukaan mu!" papar Naomi. "Dad memanggilku. Mungkin, aku tidak bisa lama," papar Vernon. Melirik Rachella. Gadis mungil itu tampak murung. Ketika Vernon mengatakan kalimat barusan. "Om, kau sudah mau pergi?" tanya Rachella. Serak. "Om akan datang lagi di hari libur untuk bermain denganmu. Bagaimana?" tawar Vernon. "Janji?" tanya Rachella. Mengangkat jari kelingking. Vernon tersenyum, mengaitkan ujung jarinya tanpa ragu. "Kalau kau tidak datang. Aku akan marah!" papar Rachella terdengar begitu paham. "I swear!" tegas Vernon. Mengusap rambut blonde milik Rachella, warisan Naomi dan Dakota, kakak kandung Vernon. Wanita itu menikahi anak tertua keluarga Cavallaro, pria berkebangsaan Italia yang penuh masalah. Hah! Entah apa yang terjadi sesungguhnya. Dakota tidak pernah menyebutkan alasannya jelas, selain tentang kehamilan. Rachella adalah bukti cinta mereka. "Ayo masuk. Sepertinya daddy mu sudah menunggu!" ajak Naomi. Menyerahkan gunting yang ia gunakan untuk memetik bunga pada seorang pelayan. Sejak tadi, mereka berdiri. Tegap memerhatikan tanpa suara. "Jika boleh. Aku ingin beberapa tangkai bunga mawar milikmu, Mom!" pinta Vernon. "Kau ingin memberikannya pada seseorang?" tanya Naomi. Melempar senyum. Pulas. "Ya. Dia sangat menyukai mawar merah!" tegas Vernon. "Akan mommy siapkan!" "Thanks, Mom!" angguk Vernon. Lalu mencubit pipi bulat milik Rachella. Gemas. Anak itupun tertawa. Serak. "Kau juga harus segera menikah dan memiliki anak!" papar Naomi. Sembari melangkah menuju mansion. "Orang yang aku inginkan belum siap," tegas Vernon. "Menikah, jangan tunggu siap. Coba saja! Semua akan berjalan dengan baik." "Aku ingin menghargai hak dan keinginannya, Mom. Menikah bukan tujuan utamaku." "Hmm. Terserah kau saja. Mommy hanya mengingatkan. Selagi aku dan daddy-mu hidup." "Dia bahkan tidak memiliki perasaan apapun padaku!" batin Vernon. Mendadak langkahnya terasa begitu berat. Ternyata, dua tahun tidak cukup mudah untuk meyakinkan hati satu wanita. ____________ "Bagaimana? Kau sudah temukan apa yang kau cari di kampus?" tanya Marck. Setelah menghirup ujung gelas miliknya. Merasakan hawa panas Espresso, menyusup pahit lidahnya. "Waktuku masih banyak, dad!" timpal Vernon. Mengeluh kasar. "Tapi kau harus secepatnya memulihkan nama Resseauo!" keluh Marck. Menatap kecewa. "Mencari bukti yang kau inginkan, juga tidak mudah," papar Vernon. "Apa karena gadis itu?" tanya Marck. "Aku tidak paham maksudmu." "Kau paham. Aku bisa minta bantuan team audit internal. Tapi karena permintaanmu, aku terpaksa memberimu posisi itu!" "Karena menjadi presdir terlalu mencolok!" papar Vernon. Menghela napas. Marck diam. Sepintas berpikir. Vernon benar. Ia tidak bisa tiba-tiba menempatkan putranya di sana. Dewan direksi akan menentang. Terlebih pengalaman Vernon kurang. "Baiklah! Aku akan memberikanmu waktu. Tapi, dengan syarat. Aku tetap tidak senang jika kau melepas nama kebanggaan ku!" tatap Marck. Jauh lebih serius dari semula. "Apa yang daddy inginkan?" "Kau setuju untuk menjadi presdir jika semua selesai!" pinta Marck. Menatap raut wajah Vernon. Lekat. Pria itu mengeluh. Menggaruk rambutnya yang semula tertata. "Kalau begitu, kembalikan black card milikku!" pinta Vernon. "Black card? Kau sudah ku tumpangi Villa, masih kurang?" tanya Marck. "Aku menghidupi seorang gadis," pamer Vernon. Tersenyum lebar. "Gadis yang itu, 'kan?" lagi. Tanya Marck. Kali ini mengangkat kedua alisnya. Menggoda Vernon seakan tahu banyak hal. "Ya. Terserah kau saja yang mana!" "Baiklah. Akan ku berikan! Tapi, tandatangani berkas nya lebih dulu!" tunjuk Marck. Melempar ballpoint berwarna hitam ke atas meja. Vernon diam. Sejenak berpikir. Sebenarnya, ia tidak terlalu butuh harta milik daddy-nya. Namun kadang, dalam hal mendesak, Vernon butuh. "Baiklah!" Vernon mengangguk. Meraih ballpoint dan segera menandatangani berkas, yang sebelumnya telah ia baca hingga pusing. "Good Job! Nanti kau juga akan mewarisi semua hartaku!" kekeh Marck. Lekas menarik berkas. Akan ia simpan sebagai bukti. "Black card-ku!" ingat Vernon. "Dasar. Kau mirip mommy-mu, selalu ingat jika menyangkut uang!" keluh Marck. Membuka laci di meja kerjanya. Mengeluarkan dompet kulit berisikan beberapa kredit card sekaligus. Vernon sigap meraihnya. Tersenyum puas. Lantas, merasakan ponsel di saku suit-nya bergetar. Dengan cepat, jemari panjangnya menyusup, masuk ke kantong,meraih benda pipih itu. Memeriksa pesan masuk, dari Savana. "Berapa lama aku harus menunggumu sampai ke Villa?" "Kau di Villa?" kirim Vernon. Buru-buru jika menyangkut Savana. Gadis itu sangat penting. Selang beberapa menit, lagi, ponselnya kembali bergetar. Savana kini mengirim gambar. Jelas, kamar Villa miliknya. Tempat yang menjadi saksi bisu percintaan panas mereka dua tahun terakhir.  "OTW!" tegas Vernon. Menggunakan kapital. Bold. Italic. Membalas pesan Savana. "Kau langsung mau pergi?" tanya Marck. Saat Vernon bangkit dari tempatnya. "Tidak ada lagi yang ingin kau bicarakan, 'kan?" tanya Vernon. Tetap setia pada layar ponsel. Menunggu, mungkin Savana membalas pesan terakhirnya. "Naomi ingin cucu darimu!" "Dia masih kuliah!" jawab Vernon. Spontan. Lalu mengangkat kepala. Sial. Ia keceplosan. Marck langsung tersenyum. "Aku sudah yakin. Memang gadis itu!" kekeh Marck. "Aku pulang, dad!" Vernon balik badan. Maju jalan. ______________  Area villa milik Vernon dari depan, tidak begitu mencolok. Terlihat seperti kawasan bangunan elit khas Mediterania, yang banyak dijumpai pada wilayah Spanyol. Hanya dua lantai dan melebar, memiliki dua kolam renang, ruang bawah tanah yang luas untuk menyimpan sampanye, dan tentunya bagasi, tempat Vernon menyimpan koleksi benda mewahnya. Savana tidak pernah sampai ke sana. Vernon berusaha sesederhana mungkin. Kamar dengan jendela kaca yang luas, menghadap pepohonan, adalah pemandangan terbaik bagi Savana. Ia tidak terlalu senang pantai. Membosankan. "Hey. Mocha!" panggil Savana, sambil mengusap ujung jarinya, melihat anjing berbulu lebat berwarna coklat gelap. Berlari di hadapannya. Mocha si penurut itupun mendekat. Menyentuh salah satu tangan Savana dan menjilatinya. Mocha, anjing yang mereka pungut bersama saat melakukan staycation di Pulau Alcatraz, dua bulan lalu. Melihat ia tanpa pemilik, Vernon memutuskan membawanya ke Villa. Setidaknya, suasana di tempat tersebut tidak terlalu sepi. "Kau sudah makan? Hmm?" tanya Savana. Mengusap bulu-bulu halus Mocha. Anjing itu menatapnya. Sesekali berkedip. Sungguh, matanya yang bulat terlihat cantik. Savana gemas. "Kau lucu sekali dengan baju ini. Nanti, ku belikan yang lain, ya!" papar Savana. Tersenyum sendiri. Seakan hewan itu paham. Mocha menyalak nyaring. Saat mencium aroma Vernon. Ia sangat kenal. Savana pun turut menoleh. Memerhatikan sekitar. Benar, pria itu sampai. Mocha bergerak lincah. Berlari mendekati Vernon. Entah daya tarik apa yang dimiliki pria itu, tidak hanya hewan, anak kecil, bahkan wanita menyukai Vernon. Kharismanya tinggi. Hanya Savana yang tidak tertarik. Lebih tepatnya mungkin belum. "Kau dari mana?" tanya Savana. Mendekat. Hanya mengenakan kemeja putih polos yang begitu tipis. "Aku menemui teman," papar Vernon. Tidak jujur. "Hmm. Mawar untuk siapa?" lagi. Tanya Savana. Memerhatikan awas. Vernon mendengus. Terpaksa menurunkan Mocha ke lantai. Lalu menyerahkan bouquet roses buatan Naomi pada Savana. "Untukmu!" ulur Vernon. Sontak, gadis itu langsung tersenyum. Menyambut tanpa ragu. "Cantiknya! Thank you." Savana tampak senang. ______________ "Kemari lah. Aku bantu!" Savana mendekat. Bergeser mendekati Vernon, hanya untuk melepas kancing kemeja pria itu. Tadi, mereka sempat minum coffee bersama. Namun, milik Vernon tumpah, mengenai pakaiannya. Mocha mendadak melompat. Alhasil, mereka di sini, kamar Villa Vernon, tepatnya di sisi ranjang. "Dadamu merah!" sentuh Savana. Kini meraih salep yang lebih dulu ia siapkan. Membuka penutupnya dan mengobati Vernon. Pria itu menahan napas, saat ujung jari Savana menyentuhnya. Meski sering bercinta, Vernon masih belum puas. Ia belum mendapatkan Savana seutuhnya. "Kau pasti menghabiskan banyak uang untuk menjadi dosen di Resseauo," kekeh Savana. Kembali menyinggung masalah tattonya. "Aku tidak punya uang untuk menyogok masuk!" papar Vernon. Rendah diri. "Ck. Selama kau hanya memperlihatkan tubuhmu padaku. Rahasia mu aman!" timpal Savana. Menebar pesona. "Aku tidak pernah meniduri wanita atau gadis manapun sejak berhubungan denganmu. Sesuai janji, kau milikku dan aku milikmu, di ranjang!" tegas Vernon. Menelan kasar ludahnya. Sebelum Savana mengirim kalimat sarkas yang membuat Vernon sakit. Sungguh, Vernon tidak mengerti dengan sebutan yang cocok bagi hubungan mereka. Tidak ada kata tepat. "Baguslah! Aku juga tidak pernah tidur dengan pria selain kau," aku Savana. Tidak ingin mengambil risiko. Menurut Savana, berhubungan dengan banyak pria membuatnya rugi. Lagipula, ia menikmati kehidupannya bersama Vernon dua tahun terakhir. Tanpa perasaan. Seperti semula. "Kau yakin?" tanya Vernon. "Terserah percaya atau tidak. Orang yang aku suka tidak tertarik padaku!" papar Savana. "Jika dia tertarik. Apa kau akan mengakhiri hubungan kita?" tanya Vernon. "Kita akan saling mengakhiri jika salah satu memiliki pasangan!" ucap Savana, di sela pendekatan yang tengah Vernon dalami. "Hmm." Vernon mendengus. Mendadak menghentikan aktivitas, lekas menjauh. Savana terdiam, kecewa. Memandang heran. Tidak biasanya Vernon mundur. Terlebih saat napas mereka terdengar telah memburu. Siap. "Kenapa?" tanya Savana. Menyeka bintik keringat di keningnya. "Aku harus mandi!" decak Vernon. Menurunkan pandangan ke arah bibir milik Savana yang selalu menggodanya. Sungguh, Vernon harus mengendalikan diri soal 'ciuman'. Jika tidak, Savana akan mengakhiri hubungan tidak pantas mereka. Belum. Vernon belum mendapatkan keinginannya. Ia ingin Savana. "Aku pulang kalau begitu. Besok aku tunggu di mansion pukul empat sore," utas Savana. Mengingatkan jadwal Vernon. Lalu beranjak dan langsung pergi. Hah! Tidak cukup bertemu di kampus dan sembunyi seperti sekarang. Vernon kini maju selangkah dengan menjadi tutor.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD