Prologue

1766 Words
Aroma vanilla tercium menyengat. Penuh disekitar ruangan. Harum. Sejam lalu, suara shower menggema. Berisik. Seakan sengaja untuk mengusik pria yang tengah bersantai menikmati sarapannya. Kini, terlihat jelas, raut wajah pria itu langsung berubah. Sorot matanya menajam. Menghujam Sengit, sambil melempar senyum, tipis. Alis tebalnya terangkat, memerhatikan gadis yang baru saja selesai meminjam ruangan berendam Villa-nya. "Kau ada kelas hari ini, 'kan?" tanya gadis bernama Savana. Melirik dengan tatapan hijau terang, seperti zamrud. Begitu memukau. "Ya. Hanya dua jam. Kelasmu!" "Hadiah, lagi?" tanya Savana. Mengulum bibir. Meraih kotak berwarna biru, mungil. Berisikan berlian berwarna kontras. "Jarimu akan terlihat cantik dengan itu, jadi aku membelikannya," serak. Suara baritone pria itu terdengar berat. Ia menarik napas cukup dalam. Ketika Savana melepas handuk yang menutupi tubuhnya. Basah. Telanjang bulat. Terlebih, gadis itu menoleh. Menatap seperti menantang. "Aku tidak mengharapkan ini! Jangan membayar tubuhku dengan berlian. Aku bukan gadis murahan!" Savana menegaskan. Kilat memaling muka. Lekas berpakaian. "Aku tidak membayar tubuhmu dengan berlian, Savana!" "Vernon, please! Dua tahun, kita berhubungan. Dan kau harus tetap ingat! Kita hanya sebatas ini! Jika di luar, kau tetap dosen dan aku sebagai murid. Cukup!" tatap Savana. Menunjuk ranjang yang masih berantakan. Tempat dimana mereka bergelut dalam gairah yang begitu panas. Semalaman. Memang, kedua pasangan itu aktif berhubungan intim. Namun, tidak pernah lupa mengenakan pengaman saat masa subur Savana. Diluar itu, Vernon bebas. Savana sangat terkontrol. Vernon menarik napas. Bergerak bangkit dari kursi rotan yang ia tempati. Mengancing suit hitam yang menutupi tubuh kekar miliknya. Lalu, tersenyum smirk, tanpa memalingkan pandangan dari Savana. "Bersiaplah cepat. Aku akan mengantarmu!" "Tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri." Savana mengeluh. Mengancing pakaiannya kembali. Menyelesaikan aksi yang sempat tertunda. Vernon hening. Menyelipkan salah satu tangan ke dalam saku celana kain yang ia kenakan. Sedetik, ia sempat memindahkan pandangan. Tetap ditempat tanpa bergerak hingga Savana selesai. Tidak ada lagi suara. Suasana mencekam seketika. Berbeda dengan tadi malam. Savana sangat panas. Menyerahkan seluruh tubuh pada Vernon, kecuali bibir. Mereka tidak pernah berciuman. Savana melarangnya. "Kau bisa menyimpan berlian nya," tegur Savana, setelah beberapa menit. Menaruh kotak hadiah pemberian Vernon di atas ranjang. Lalu bergerak pergi. Vernon diam. Mengunci mulut tanpa kata. Satu-satunya yang ia gunakan untuk membalas Savana, hanyalah sebuah anggukan. Vernon melangkah. Mengambil kembali kotak berisi berlian yang harusnya melingkar di jari manis Savana. Vernon membuka kotak, menatap isinya semenit. Waktu yang lama hanya untuk memerhatikan sebuah benda mungil. "Baiklah. Tidak masalah!" gumam Vernon. Menyeka rambutnya kebelakang. Lekas bergeser menuju nakas yang terdapat pada tepian ranjang. Vernon menyimpan kotak hadiah tersebut di sana. ___________ "Asher?" tegur Savana. Singkat. Melewati tempat dimana pria kebangsaan Turki itu duduk. Asyik mengutak-atik iPad. Pekerjaan yang dititipkan Vernon minggu ini padat. "Savana? Seharusnya kau bilang kalau menginap. Aku akan membuatkan makanan kesukaan mu!" "Hmm. Really? Kau sekarang bisa masak?" tanya Savana. Mengulum senyum. "Berkat resep mu!" tunjuk Asher. Tertawa lepas. "Itu bukan resep milikku. Tapi mommy-ku!" aku Savana. "Oh. Wajar saja kau memiliki tangan ajaib saat menyentuh masakan. Mommy mu mengajarkan hal yang luar biasa!" "Kau berlebihan!" timpal Savana. Biasa mendapat pujian soal masakan yang ia buat. Memang, Savana mampu membuat banyak resep makanan. Ia terbiasa sejak kecil. "Vernon belum turun?" tanya Asher. Membuat Savana kembali menoleh lorong menuju tangga. "Mungkin sebentar lagi. Ah. Aku harus pergi. Jika tidak bos besar mu akan menghukum ku di kelas," kekeh Savana. "Dia tidak mungkin menghukum mu!" "Vernon sering menghukum ku!" perjelas Savana. Berdecak seperti melampiaskan emosi. Asher bungkam. Hanya tersenyum kaku. Ia jelas tahu, bentuk hukuman apa yang diberikan Vernon pada Savana. _____________ 'Mom aku langsung ke kampus.' Laura langsung menghela napas. Begitu melihat pesan masuk dari Savana. Nafsu makannya tertunda. Lekas menjauhkan piring berisi makanan. "Kenapa tidak habiskan makananmu?" tanya Maxent. Tanpa mengalihkan pandangan. Ia juga sama. Mendapatkan pesan dari Savana. "Aku khawatir dengan Savana!" keluh Laura. "Dia baru mengabariku. Savana ke kampus. Memangnya kenapa?" "Dia tidak pulang dua hari, Maxe. Bagaimana kau bisa sesantai itu?" papar Laura. Meneguk orange juice di hadapannya. Melirik sekilas ke arah kursi kosong yang ada di sampingnya. Tempat milik Savana. "Jangan khawatir. Aku sudah mengirim seseorang untuk mengeceknya!" Maxent mempertegas. Meraih salah satu tangan milik Laura. Menggenggamnya rapat. "Savana berubah sejak dua tahun ini. Aku takut kuliahnya terganggu," papar Laura. Cemas. "Dia tidak akan mengecewakan kita. Ayolah! Habiskan makananmu. Kita ke kampus setelah ini," ajak Maxent berusaha menenangkan. "Hmm. Aku akan lebih tenang jika kau mengajakku belanja," papar Laura. Memalingkan wajah. Mengulum bibirnya yang merah. "Dasar mata credit card!" "Daripada mata keranjang?" kekeh Laura. "Ya. Siapa yang berani melawan nyonya Morgan!" timpal Maxent. Menghela napas cukup panjang. ____________ Savana membungkuk. Mengatur paperbag berisi pakaian di bagasi mobil. Seperti biasa, gadis itu cukup membeli busana yang baru sebelum menjangkau kampus. Ia senang berpenampilan baik. Meski harus menahan ketakutan saat berada di dalam ruang ganti. Fobia terhadap ruangan sempit sangat mengganggu. Kadang, ia begitu jengah, bahkan sesak saat menyetir mobil. "Savana!" Bugh! "Aww. s**t!" umpat gadis itu. Keras. Langsung mengusap kepala yang terasa sakit, akibat terbentur penutup bagasi. "Kau tidak apa-apa?" seorang pria bertubuh jangkung. Bermata bulat, coklat gelap. Kontras dengan rambut yang memiliki potongan Pompadour mendekat. Mengusap kepala Savana. "Ya. Sedikit sakit!" ucap Savana. Menarik napas begitu dalam. Menatap wajah belahan jiwanya. Kini berdiri begitu tegap. Masih mengusapnya. "Asalkan tidak hilang ingatan. Tandanya, kau baik-baik saja!" kekeh pria bernama Victor itu. "Kenapa kau di sini? Kenapa tidak di kantor?" tanya Savana. Heran. Semangat mengedarkan mata ke tiap sudut. "Ini jalan menuju kantor. Aku melihat mobilmu. Jadi, aku singgah untuk memeriksa," cetus Victor, sambil mengusap wajah Savana dengan ujung jarinya begitu lembut. Penuh perhatian. Savana hening, diam meneguk ludah. Mengangguk dengan sorot mata yang berbinar cantik. Savana benar-benar jatuh cinta. "Kenapa lehermu?" celetuk Victor. Menyeka kerah pakaian milik gadis itu sekilas. Dengan sigap, Savana bergeser mundur. Menutup diri kembali. Sial. Pasti ulah Vernon. Pria itu sering meninggalkan kissmark yang mencurigakan. "Aku harus pergi." Savana berdecak. Lekas mengalihkan pembicaraan. Menunduk kaku dan memasuki mobil tanpa menunggu reaksi Victor. Pria itu mendengus. Memerhatikan Savana sampai hilang dari pandangannya. "Bocah itu!" gumam Victor. Tersenyum sendiri. _____________ Resseauo University, Oakland, SF.  Mendadak. Langkah Savana terhenti. Menjatuhkan pandangan, saat menangkap sosok pria berbadan tegap. Memiliki senyum yang sangat tulus. Berbincang hangat dengan pemilik fakultas swasta nomor satu San Fransisco— Marck Resseauo. Keberhasilan pria itu tidak bisa di abaikan. Pengelolaan kampus sangat berkembang dibawahnya. Lantas, Savana menarik napas, begitu dalam. memerhatikan sosok pria lainnya. Turut bergabung, dengan senyuman intens. "Ck. Dasar penjilat. Bagaimana dia bisa begitu dekat dengan pemilik kampus!" gumam Savana. Begitu sarkas. Menatap pria yang kerap memberinya kenikmatan sepanjang dua tahun terakhir. Vernon Zeke. Hanya itu batas yang Savana tahu. Vernon sengaja menyembunyikan nama belakangnya. Hingga saat ini, identitasnya sebagai anak dari pemilik kampus. Aman. "Aku lebih baik pergi ke kelas!" tutur Savana membatin. Namun, langkahnya terpaksa berhenti. Saat gemuruh suara Maxent meneriakinya dari kejauhan. Sial. Ia ketahuan. "Ya?" tanya Savana. Menelan ludahnya kasar. Menggaruk tengkuk. Maxent melambaikan tangan. Memanggilnya untuk mendekat. Savana ragu. Terlebih melihat Vernon. Canggung. "Savana kemarilah!" lagi. Maxent berteriak. Begitu memprovokasi. Demi Tuhan, Savana terpaksa mendekat. Ia tidak ingin menjadi pusat perhatian. Sungguh, langkah kakinya terasa lemas. Gadis itu menghindari tatapan Vernon. Pria itu jelas mengintimidasinya. "Kenapa kau sulit sekali dipanggil, Hmm?" tanya Maxent. Memanjakan Savana. Mengusap punggung gadis itu penuh kasih sayang. "Aku harusnya masuk ke kelas, dad!" jelas Savana. Setelah menunduk sopan ke arah Marck. "Daddy tahu. Professor Vernon sudah memberitahu ku. Tapi, ada yang ingin daddy bicarakan!" papar Maxent. Membuat curiga. "Kenapa tidak bicarakan di mansion?" bisik Savana. "Kau tahu kenapa daddy tidak bisa membicarakannya di mansion." Maxent menyindir. Menatap Savana dengan mata mengecil. Savana tersenyum, mengulum bibir. "Kau memiliki putri yang cantik, Mr. Morgan!" celetuk Marck. Membuat Vernon lekas mengangkat dagu. Membenarkan kerah pakaian. "Ya. Kau sangat benar Mr. Resseauo. Pandanganmu masih bagus," papar Vernon. Membuat Savana membidik mata ke arahnya. "Tentu. Aku masih sangat sehat membedakan," kekeh Marck. Menepuk pundak Vernon. "Jika di lihat begini. Kalian sangat mirip. Seperti ayah dan anak," sela Savana. Cukup peka. Menatap Vernon dan Marck bergantian. "Ah. Aku dan Vernon memang...." "Sedikit mirip. Banyak yang mengatakan itu padaku!" sela Vernon. Panik. Nyaris ketahuan. Ia tahu, Marck tidak suka jika Vernon melepas nama Resseauo. Akan berdampak buruk jika diketahui publik. Marck tertawa. Terpaksa mendukung kebohongan Vernon. Ia menunjuk seperti mengancam. Maxent turut tertawa. Mengikuti jokes yang sebenarnya tidak menarik. "Oh ya. Apa yang mau daddy katakan?" timpal Savana. Ketika mengingat arah obrolan mereka. "Kau ingat kalau mommy ingin kau memiliki pengajar private yang baru, 'kan?" tanya Maxent. "Ya. Aku tahu. Kenapa?" "Aku bicara dengan pemilik kampus. Dia merekomendasikan seseorang yang tepar untuk menggantikan tutor mu!" "Siapa?" tanya Savana. Santai. "Dia di depanmu. Vernon Zeke." "What?" pekik Savana. Membulatkan mata. Melangkah mundur, nyaris jatuh. Untung, ia sigap menahan diri. "Kenapa kau sangat terkejut?" keluh Marck, menahan senyum. "Jika dia yang menjadi tutor baru, aku tidak akan belajar. Tapi malah...." Savana memukul mulutnya. Oh God. Ia hampir membeberkan fakta gila yang pasti membuat Marck atau Maxent jantungan. "Sudah di tetapkan. Mulai besok, kau akan belajar dengannya di mansion." "Dad. Tapi." Savana berdecak. Lalu bungkam tanpa suara. Melirik-lirik Vernon yang sama sekali tidak keberatan. Sekarang, mereka semakin terikat. Damn! "Sana pergi ke kelasmu!" dorong Maxent. Mengusir Savana. Ia menurut. Mengayun langkah pergi meninggalkan ketiga pria tanpa permisi. "Maaf. Putriku memang sedikit keras. Dia mirip kakeknya," ujar Maxent. Menjelekkan Alexander. "Tidak masalah. Nilainya bagus. Aku tidak akan kesulitan menghadapinya." Vernon tersenyum. Ramah. Menunduk hormat. "Terimakasih atas bantuan mu," papar Maxent. Melihat Vernon membalas dengan anggukan pelan. "Kalau begitu, aku harus segera pamit. Istriku mungkin sudah selesai belanja." "Ya. Aku juga harus pulang. Terimakasih atas kunjungannya, Mr. Morgan." Marck mengulurkan tangan. Membuat Maxent lekas menjabat dan menjauh. "Sekarang katakan kenapa daddy ingin aku menjadi tutor private Savana?" tanya Vernon. Memasang wajah serius. Memang, ia rela. Jelas mau jika lebih dekat bersama Savana. Hanya saja, hal seperti ini terlalu mendadak. Marck tersenyum lebar. Melipat kedua tangan di d**a sambil mengangkat kedua alis. Vernon mengerutkan kening. Aneh. "Gadis itu, 'kan?" tanya Marck. "Apa maksud daddy," bisik Vernon. Mengusap hidung. Menahan senyum. Malu. "Selamat bekerja!" papar Marck. Tidak memberi jawaban. "Dad!" "Bye. Aku di tunggu wanita cantik," tunjuk Marck. Tepat ke arah Naomi. Istrinya. Marck buru-buru pergi. Merangkul erat tubuh Naomi, turut berlalu. 'Heh!' leguh Vernon. Senyum-senyum sendiri. Bahkan mengabaikan beberapa mahasiswa yang menegurnya. Oh. Savana memang membuatnya gila. Otaknya penuh dengan Savana. Savana. Savana. Hanya Savana. Pesona gadis itu sulit di elakkan. Apalagi, saat mereka di ranjang. Liar. Vernon sangat panas ketika mereka bersatu. Sekarang, ia memikirkan sesuatu hal. Ah. Mungkin, besok akan mengotori ranjang milik Savana untuk kunjungan pertamanya ke mansion milik Maxent.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD