Part 3. We're Engaged

1047 Words
Malam itu juga dunia sosial media heboh dengan berita Danesh yang melamar Malini. Siapa lagi yang membuat heboh jika bukan teman mereka sendiri. Foto-foto yang dibagikan oleh Shiren, Mitha, Diaz, Andra dan juga Rafi di akun sosial media masing-masing dengan cepat beredar luas. Tidak perlu menunggu malam berganti pagi, berita bahagia itu seperti virus yang menyebar dengan sangat cepat di dunia maya. Kebahagiaan seketika itu pula melingkupi jagad **. Banyak sekali komentar dari para pengikut mereka yang turut berbahagia. "Wah... Congrats, kak @Daneshjazmi @Yash_malini" "Happy engaged you two" "Hari patah hati se-** @Yash_malini @Daneshjazmi" "Kawal sampai halal @Daneshjazmi" "Pasangan paling uwu. Kak @Yash_malini cantik pake banget nggak kaleng-kaleng." “Daneeeessshhh… Beruntunglah kamu. Selamat ya, kalian @Daneshjazmi @Yash_malini” “Ugh. Nggak sabar liat pernikahan mereka. Yang satu ganteng, yang satu cantik. Pasti anaknya cakep banget nanti.” Dan masih banyak lagi komentar-komentar masuk yang belum sempat terbaca oleh mereka. Sementara dunia sosial media sibuk dengan kehebohannya sendiri, Danesh dan Malini justru sedang terdiam. Malini sibuk memandangi cincin yang melingkar di jari manisnya. Cincin yang menunjukkan bahwa kini dia dan Danesh selangkah lebih serius membawa hubungan mereka. Danesh pun diam, mengamati dan mengagumi wajah cantik kekasihnya, yang kini telah setuju untuk menjadi calon istrinya. Istri? Membayangkan Malini menyandang status sebagai istrinya ternyata mampu membuat Danesh dipenuhi rasa bahagia, yang kemudian membuatnya menarik sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman. Suara klakson dari kendaraan di belakang mereka menyadarkan Danesh dan Malini yang sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Danesh pun melanjutkan perjalanan menuju ke apartemen Malini untuk mengantar kekasihnya itu pulang. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul dua belas malam. Namun karena suasana hati keduanya sedang diliputi kebahagiaan, maka tidak ada rasa kantuk sedikitpun yang mereka rasa. Mobil yang dikendarai Danesh sudah terparkir dengan sempurna di basement. Namun keduanya masih enggan untuk turun dari mobil. Mereka masih saling menggenggam jemari masing-masing. Berbagi kehangatan dan rasa nyaman. Hingga akhirnya entah siapa yang memulai, mungkin keduanya, Danesh dan Malini sudah saling berhadapan dan merapatkan diri tanpa jarak. Saling memberi dan menerima rasa lembut dan hangat dari kecupan demi kecupan yang membuat suasana di dalam mobil seketika menjadi gerah. Tentu saja seiring berjalannya waktu, kecupan itu berubah menjadi ciuman yang lebih dalam. Hingga akhirnya setitik kesadaran membuat Malini menarik wajahnya menjauh. “Dan…” Terengah-engah, Malini terlihat mengedarkan pandangannya dan Danesh pun paham. Sewaktu-waktu akan ada security yang berpatroli di sekitar area parkir itu. “Aku antar kamu ke atas, ya?” Ucap Danesh akhirnya, setelah berhasil mengembalikan kesadarannya. Malini mengangguk dan mereka pun beranjak menuju unit Malini yang berada di lantai tujuh belas. Unit yang ditempati Malini ukurannya tidak terlalu besar. Memang tipe apartemen untuk satu orang. Ada satu kamar tidur, kamar mandi, dapur kecil, ruang tamu dengan sebuah piano kesayangannya dan balkon yang menghadap ke arah kolam renang di bawah sana. Seperti tempat tinggal para gadis pada umumnya, unit itu terlihat bersih dan rapi. Dapurnya pun lengkap meskipun berukuran kecil. Malini memang suka memasak di sela-sela waktu sibuknya. Selama ini Malini memang tinggal sendiri, karena orang tuanya sudah tiada. Tidak ada harta atau peninggalan apapun dari kedua orang tuanya. Ibunya tiada saat melahirkan Malini, hingga dia dirawat oleh ayahnya. Malini hidup berdua saja dengan ayahnya yang bekerja sebagai pemain musik di kampungnya. Ayahnya adalah salah satu pemain musik yang sering disewa untuk mengisi acara hajatan baik itu pernikahan atau acara lainnya. Ayahnya tiada saat Malini kelas tiga SMA, saat itu beliau mendadak pingsan saat sedang mengisi acara di salah satu pernikahan kerabatnya. Saat itu pula ayah Malini menghembuskan nafas terakhirnya. Sejak itu Malini merantau ke Jakarta untuk bekerja. Suaranya yang indah, membuatnya diterima menjadi penyanyi dari kafe ke kafe. Sebelumnya dia hanya bekerja sebagai karyawan biasa, membantu mencuci piring, membersihkan meja, melayani pembeli. Sedikit demi sedikit, kehidupannya membaik saat sosial media mengangkat namanya hingga akhirnya menjadi terkenal seperti saat ini. Malini berusaha keras untuk menabung hingga akhirnya dia berhasil pindah dari kost-kost an dan membeli apartemen kecil ini, meskipun pembeliannya tidak cash, melainkan dengan sistem cicilan. “Mau aku bikinin kopi?” Tawar Malini pada Danesh yang sudah duduk dengan nyaman di sofabed yang terletak di ruang tamu, menghadap ke sebuah televisi. “Boleh. Aku mau temenin tunangan aku malam ini.” Ucap Danesh yang dibalas dengan senyuman oleh Malini. Setelah menghidangkan secangkir kopi untuk Danesh, Malini masuk ke kamar untuk berganti pakaian dan membersihkan wajahnya. Tidak butuh waktu lama, Malini kemudian kembali dengan piyama tidurnya. Dia lalu duduk di samping kekasihnya, yang kini menjadi tunangannya. “Senang?” Tanya Danesh saat melihat wajah Malini yang tidak pernah melunturkan senyumnya sejak tadi. Malini mengangguk sambil menyandarkan kepalanya di bahu Danesh. Kedua tangannya sudah melingkar erat di pinggang kekasihnya itu. “Nanti kalau ada waktu longgar, kita ke Bandung ya. Ketemu papi mami. Aku belum bilang lho, mau ngelamar kamu.” Ujar Danesh sambil terkekeh geli. Kedua orang tua Danesh memang tinggal di Bandung. Danesh tinggal di Jakarta berdua dengan adiknya yang sedang kuliah. Danesh sendiri memang belum menceritakan apapun perihal lamarannya pada kedua orang tuanya. Hal itu sontak membuat Malini terkejut. Dia lalu menegakkan tubuhnya. “DAN… Kalau papi sama mami nggak setuju gimana?” Pekik Malini panik. Danesh menggeleng, “Nggak akan. Mereka suka kok sama kamu, Sayang.” “Tapi… Kalau ternyata… Astaga Danesh. Hal penting kayak gini kamu nggak bilang sama orang tua kamu?” Danesh bergegas memeluk Malini yang terlihat frustasi, “Tenang, Lini sayang. Semua akan baik-baik aja. Kita pasti menikah. Orang tua aku pasti setuju.” Malini menarik nafas sedalam-dalamnya demi menenangkan dirinya yang mendadak panik. Dia memang sudah sering bertemu dengan orang tua Danesh yang sangat baik padanya. Namun tetap saja ada rasa takut yang menggelayuti pikirannya. “Dan… Kalau mereka nggak-” Ucapan Malini terhenti karena Danesh dengan sengaja melabuhkan sebuah ciuman di bibirnya. Demi menghentikan segala hal buruk yang terlintas di pikiran kekasihnya itu. “Jangan overthinking, Lin. Semua akan baik-baik aja.” Danesh berkata lirih, tepat di depan wajah Malini. Hembusan nafasnya pun masih dapat dirasakan oleh Malini yang kemudian mengangguk pelan. Mencoba untuk menghilangkan segala pikiran buruk yang menghampiri. Seraya berharap semua akan baik-baik saja. Karena setelah dipikir-pikir lagi, memang benar ucapan Danesh, kedua orang tuanya selalu bersikap baik padanya. Dan hal itu lebih dari cukup untuk menunjukkan bahwa mereka kemungkinan besar akan setuju memiliki calon menantu seperti dirinya. ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD