Part 2. Barbeque Party

1351 Words
Perjalanan dari apartemen Malini menuju ke rumah Diaz memakan waktu sekitar tiga puluh menit. Selama perjalanan, mereka saling bercerita tentang keseharian masing-masing. Tentang Danesh yang hari ini menghabiskan waktunya untuk pemotretan dan juga berolahraga di tempat gym yang mempercayainya sebagai brand ambassador. Sementara Malini yang hari ini tidak memiliki jadwal sibuk, memilih untuk menghabiskan waktu di unit apartemennya, bermain piano sambil bernyanyi. Tentu saja dia membuat rekaman video yang akan dia bagikan di sosial media miliknya nanti. Banyak sekali pengikutnya di ** yang menyukai bagaimana Malini bernyanyi sambil bermain piano. "Bulan depan jadwal kamu padat nggak, Lin?" tanya Danesh saat mereka terhenti akibat rambu lalu lintas yang menunjukkan warna merah. Malini terlihat mengerutkan keningnya untuk berpikir. "Kayaknya nggak deh. Ada photo shoot beberapa brand outfit. Selebihnya endorse kayak biasa, nggak terlalu banyak makan waktu kok. Kenapa emangnya?" "Mau liburan nggak? Udah lama kita nggak jalan-jalan nih." "Mau lah. Emang ada orang yang nggak mau liburan?” Ujar Malini sambil menggelengkan kepalanya. “Ya kali aja kamu sibuk. Makanya aku tanya dulu.” Sahut Danesh. “Trus ini rencana liburannya berdua atau rame-rame? Mau kemana?" Tanya Malini antusias. Malini, Danesh dan teman-temannya memang memiliki kegemaran yang sama, yaitu berlibur. Mengunjungi berbagai tempat yang indah. Menghabiskan waktu bersama untuk menikmati tempat-tempat wisata, baik yang belum pernah mereka kunjungi atau yang memang sudah sering kali mereka kunjungi. "Berdua aja ya? Soalnya kalo rame-rame capek nyesuaikan jadwal sama yang lain. Kamu maunya kemana?" Tawar Danesh sambil menaikkan alisnya. "Dalam negeri aja, Dan. Yang dekat, soalnya kalau pergi jauh dan cuma seminggu rasanya nanggung. Bikin capek aja." Danesh lalu berpikir lagi, "Oke, nanti kita pikirkan lagi kemana enaknya." Tidak terasa mereka berdua sudah tiba di rumah besar milik Diaz. Tidak hanya rumahnya yang besar, namun juga halamannya. Malam ini rencananya mereka akan barbeque party di halaman belakang. Sengaja mereka mengatur waktu agak malam, agar Reisa sudah tidur sehingga Diaz tidak terlalu kerepotan menjaga putri kecilnya itu. "NANESH..." Teriak Reisa ketika melihat sosok Danesh keluar dari mobil dan mendekat ke arah pintu. Rupanya gadis cilik itu belum tidur sekarang. Saat ini Reisa justru berlari sambil merentangkan tangannya, bersiap menerjang Danesh dengan pelukan tangan kecilnya. "Eca belum tidur?" Tanya Danesh saat kini Reisa berada di dalam pelukannya. Reisa menggeleng, lalu menoleh ke arah Malini yang sejak tadi dilupakannya. "Mamalini..." Sapa Reisa sambil tersenyum, namun kedua tangannya masih melingkar di leher Danesh. "Eca... Anak cantik belum tidur? Sudah malam ini, Sayang." Ucap Malini lembut, sambil mengelus rambut Reisa. "Nggak mau tidur dia, Lin. Kayak yang tahu aja mau ada Danesh kesini. Padahal aku nggak cerita sama dia." Diaz berkata, sambil menggelengkan kepalanya. Beberapa saat kemudian, teman-teman mereka yang lain mulai berdatangan. Maka Malini dan Diaz mulai mempersiapkan segala bahan dan perlengkapan yang akan mereka gunakan. Mereka bergerak menuju ke halaman belakang yang luas. Ada beberapa kursi dan meja sudah disiapkan oleh asisten rumah tangga Diaz. Alat pemanggang juga sudah siap. Diaz, Malini dan beberapa teman mereka yang lain sibuk menyiapkan daging, ayam, sosis dan bahan lainnya untuk diberi bumbu sebelum dipanggang. Sementara itu, Danesh masih sibuk bermain dengan Reisa yang tidak mau lepas darinya. Sekitar pukul sembilan, Danesh muncul sambil menggendong Reisa yang ternyata sudah tertidur. "Wah, anak mama sudah tidur. Pinter juga Nanesh jagain kamu ya." Diaz berkata dengan suara yang dibuat seperti anak kecil, yang membuat Danesh muak mendengarnya. "Nggak usah lebay. Bawa masuk gih, tar dia bangun gara-gara denger kita heboh bakar-bakar." Ujar Danesh sambil menyerahkan Reisa yang masih terlihat nyaman tidur di dalam pelukannya. Perlahan, Diaz membawa Reisa masuk untuk ditidurkan di kamarnya. "Udah selesai semua, Lin?" Tanya Danesh sambil mengamati beberapa makanan yang sudah terhidang di atas meja. "Belum sih. Tapi kalau mau makan duluan nggak apa-apa kok, Dan." Malini tahu dengan pasti bahwa kekasihnya ini paling tidak bisa menahan lapar. Danesh termasuk orang yang porsi makannya banyak. Dia juga bisa dibilang cepat lapar. Namun karena memang diimbangi dengan olahraga yang menjadi hobinya, maka postur tubuh Danesh yang ideal selalu terjaga dengan baik. "Nggak, nanti aja barengan." Tolak Danesh sambil membantu Malini membalik daging yang sedang dipanggang, agar tidak gosong. Pukul sepuluh malam, mereka sudah duduk mengitari meja untuk makan bersama. Sambil bertukar cerita, melepas rindu karena memang mereka cukup lama tidak bertemu. Kesibukan mereka pada pekerjaan dan tanggung jawabnya masing-masing memang membuat waktu untuk sekedar bertemu seperti saat ini bisa dibilang langka. "Dan, kapan-kapan gue ikut lo nge-gym ya?" tanya Rafi. Dia memang sudah mulai merasakan perutnya membuncit, karena jarang sekali berolahraga. Dia lebih banyak duduk di depan layar monitor, mengedit video-videonya agar selalu tayang tepat waktu di channel YouTube nya. Dia memang memiliki jadwal khusus untuk menayangkan vlog tentang review makanan. "Gue ngajakin lo nge-gym dari zaman batu. Baru bilang mau ikutnya sekarang. Ada apa nih? Curiga gue." "Eh... Eh... Jangan buruk sangka gitu. Gue beneran niatnya pengen olahraga kok." "Ya kali aja lo mau tebar pesona sama cewek-cewek di sana?" Rafi melempar sendok ke arah Danesh, namun berhasil dihindari oleh Danesh sambil tertawa. "Atau lo justru mau tebar pesona ke cowok-cowok di sana? Keren-keren lho. Sexy lagi, kalo pas mereka lagi olahraga gitu. Badannya besar, terus otot-otot lengannya yang berkeringat itu, beehhh... Keren." Kali ini Shiren yang mematahkan semangat Rafi. Astaga. Teman-temannya ini memang kompak sekali. "Gue masih lurus. Ingat itu." Seru Rafi sambil beranjak pergi untuk mengambil air minum di kulkas. Astaga. Apakah teman-temannya ini tidak bisa memberikan tuduhan lain yang lebih bisa diterima oleh akal sehatnya. Mana mungkin Rafi suka dengan sesama jenisnya sendiri. Dan ketika mereka sudah selesai makan, sedang bersantai menikmati malam, satu acara tambahan pun dimulai. Acara yang dipersiapkan diam-diam oleh Danesh dan tuan rumah, Diaz. Danesh sengaja menyiapkan beberapa kotak kembang api yang akan dinyalakan untuk memeriahkan suasana malam ini. Andra, suami Diaz, mendapat tugas untuk menyalakan kembang api. Maka ketika kembang api itu menyala, semua berpaling menatap ke arah langit malam yang tiba-tiba bercahaya indah dari letupan kembang api yang berwarna-warni. Sementara itu, tanpa mereka ketahui, Danesh sudah berdiri di belakang kekasihnya. Mengamati indahnya wajah sang kekasih saat diterpa pancaran cahaya dari kembang api. Belum lagi mata indahnya yang seakan tak berkedip, dan juga bibirnya yang tersenyum manis menambah kadar kecantikan Malini berkali-kali lipat di mata Danesh. Ketika letupan kembang api terakhir selesai, langit kembali gelap dan berhiaskan cahaya kecil dari bintang-bintang yang sedikit tertutup akibat kepulan asap dari sisa-sisa letupan kembang api tadi. "Ehm..." Suara deheman cukup nyaring terdengar, membuat kelima orang itu sontak berpaling. Malini, Diaz, Mitha, Shiren dan juga Rafi. Mereka mencari arah asalnya suara. Dan saat mereka berpaling, kelima pasang mata itu mendapati sosok Danesh lah yang ternyata bersuara tadi. Posisi Danesh sedang berlutut sambil memegang sebuah kotak kecil berwarna hitam yang berisi cincin berhias permata berwarna pink. Indah dan terlihat berkilauan. Malini membeku, sementara temannya yang lain menunjukkan berbagai ekspresi terkejutnya. Mitha dan Shiren kompak saling berpelukan. Sementara Rafi membuka mulutnya seakan tidak percaya. Mungkin jika bisa, Danesh rasanya ingin sekali menyumpal mulut Rafi dengan sepotong sosis berukuran besar. Wajahnya terlihat shock, tapi dengan kadar yang menyebalkan menurut Danesh. Tidak. Danesh harus fokus sekarang. Fokusnya harus pada Malini. Bukan Rafi. "Lin..." Malini masih terdiam, dengan posisi kedua tangannya menutup mulutnya. Masih terkejut dan tidak percaya. Matanya berkaca-kaca, lututnya lemas seakan tak berdaya. Terlebih saat mendengarkan suara Danesh yang bergetar. Jantungnya seakan berdetak dengan kecepatan maksimal. "Satu tahun yang lalu, aku merasa menjadi pria paling bahagia karena kamu. Kamu yang bersedia menjadi kekasih aku. Menyambut segenap rasa yang aku punya untuk kamu. Dan kamu tahu, sejak itu setiap hari aku selalu merasa beruntung memiliki kamu. Kamu yang mengerti dan menerima bagaimanapun keadaan aku hingga saat ini." Tatapan Danesh lurus ke arah kedua bola mata indah milik Malini. Tidak ada senyuman kali ini, karena Danesh diliputi rasa tegang dan juga gugup yang berlebihan. Danesh menarik nafas sebelum melanjutkan ucapannya. "Kamu tahu, aku cuma manusia biasa. Yang kadang-kadang merasa takut kehilangan. Aku takut, bagaimana jika ternyata ada orang lain yang menginginkan kamu seperti aku. Aku takut akan ada orang lain yang ingin memiliki kamu selain aku. Jadi hari ini, sekali lagi aku meminta kamu untuk jadi milik aku. Sepenuhnya." "So, Lini sayang, Will you marry me?" ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD