Bab 3

1195 Words
“Ma.. Ma..” teriak Papa Aji sambil menghampiri Istrinya yang sedang berada di dapur untuk menyiapkan beberapa bahan makanan untuk makan siang. Walau Mama Anna sudah punya banyak pelayan beliau selalu ingin terjun langsung ke dapur untuk menyiapkan semua hidangan yang akan mereka makan. Bukan karena tidak percaya dengan sang juru masak di dapurnya melainkan beliau selalu senang jika berada di dapur. Karena beliau bisa bereksperimen tentang banyak hal mengenai memasak. “Ada apa sih, Pa? Heboh banget deh kamu.” Mama Anna yang mendengar namanya di sebut segera menghampiri sang Suami yang baru saja sampai di meja makan. “Kamu tahu, kalau Wira bersedia untuk segera menjodohkan Anaknya dengan Bima.” Seru Papa Aji yang terdengar heboh yang membuat Mama Anna juga tersenyum bahagia saat mendapatkan kabar tersebut. Hingga tanpa sadar keduanya saling menggenggam tangan dan loncat- loncat kecil seperti Anak kecil yang sedang bahagia. Beberapa pelayan yang melihat keduanya tersebut itu menggeleng dan tersenyum geli melihat tingkah konyol sepasangan Suami- Istri paruh baya tersebut. “Tunggu, Pa.” Ucap Mama Anna yang membuat mereka terdiam, menghentikan aktivitasnya barusan. “Kalau Bima nanti nggak setuju bagaimana? Atau mungkin Anak Pak Wira nggak setuju.” tambah Mama Anna yang mulai khawatir karena pasalnya di jaman modern seperti ini mana mungkin mereka yang notabennya tergolong Anak muda mau menerima perjodohan ini. Mereka pun terdiam sejenak dan mulai memikirkan cara yang tepat agar keduanya mau menerima perjodohan tersebut. “Coba nanti Papa tanyakan lagi dengan Wira tentang cara terbaik agar mereka berdua mau menerima perjodohan ini. Aku juga akan mengatur janji untuk pertemuan keluarga kita dengan keluarga Wira lewat Danu.” Seru Papa Aji yang di ikuti anggukan oleh Mama Anna. Sementara itu, di tempat lain. “Halo Pa, Ada apa telefon aku pagi- pagi begini? Apa ada masalah?” tanya seorang wanita cantik tersebut kepada sang Papa dari balik ponselnya. Gadis itu sedang berjalan sambil membawa berkas yang ingin ia berikan ke ruangan Kakak Iparnya. “Sabtu dan Minggu kamu bisa datang ke Bandung sama kakak dan Kakak ipar mu?” tanya sang Papa. “Loh, ada apa, Pa? Papa sakit?” tanya gadis itu yang tak lain adalah Karina Afriani Wiratama, Anak dari Papa Wiratama, seorang pengusaha ternama yang menjalankan Bisnis Konstruksi kedua terbesar se-Asia setelah keluarga Papa Aji Prakasa. “Bukannya pekan lalu aku udah ke sana ya, Pa? Sekarang giliran Kak Clarissa sama Kak Wisnu.” Tambah Karin menjelaskan. “Jadi kamu mulai perhitungan buat bagi waktu untuk Papa?” tanya Papa Wira yang merasa sedikit tersinggung dengan jawaban sang Anak. “Bukan begitu, Pa. Tapi...” belum sempat gadis itu meneruskan ucapannya, sang Papa sudah memutuskan sambungan telefon tersebut. Ia mengendus kan nafas kesal dengan sikap sang Papa yang menutup obrolan di antara keduanya begitu saja. “Papa lagi kenapa sih? Nggak biasanya seperti ini.” Gerutunya dalam hati sambil meneruskan langkahnya menuju ruangan Direktur. Ia membuka pintu dan menutupnya dengan kasar sehingga Kakak Iparnya menoleh kaget dan Karin pun masuk dengan raut wajah di tekuk. “Kamu tuh, kalau tutup pintu pelan- pelan dong. Bisa rubuh nanti pintu Kantor.” Seru Wisnu Kakak Ipar sekaligus Suami dari Clarissa Wiratama. Ia berusaha menegur adik iparnya itu sambil meledeknya agar gadis itu tidak semakin kesal. “Maaf Mas, habis Papa minta aku datang lagi ke Bandung, Pas aku tanya ada apa malah di bilang aku perhitungan jadi Anak enggak mau bagi waktu untuk Papa, kan aku jadi kesel Mas mendengarnya.” Seru Karin sambil mengendus kesal. “Heemm, lagi tumben Papa minta kamu datang, Ada apa ya?” Wisnu kembali bertanya- tanya karena tak pernah sekali pun Papa Mertuanya bersikap seperti itu. “Bukan Cuma aku, tapi kalian juga di undang Mas. Aku juga bingung kenapa sikap Papa kayak Anak kecil.” Ucapnya lagi yang terdengar berputus asa. Tak lama ponsel Wisnu berdering terdapat panggilan dari Istrinya yang bernama Clarissa. “Siapa, Mas?” tanya Karin penasaran. “Clarissa, Rin, Sebentar ya.” Pamit Wisnu untuk menjawab panggilan dari Istrinya lalu menjauh dari Karin sedikit ke sisi yang lain. “Hallo Sayang, ada apa?” tanya Wisnu. “Tolong kamu bujuk Karin ya supaya besok sabtu dan minggu mau ikut kita ke Bandung untuk temui Papa.” Pinta sang Istri yang penuh harap. “Tapi, Clar..” ucapan Wisnu terhenti. “Aku mohon banget sama kamu, Mas. Kalau nggak nanti malam tidur di luar ya.” Ancam Clarissa yang membuat Wisnu menelan Saliva nya. “Oke akan aku coba ya tapi kamu juga harus bicara langsung sama dia. Kalian kan sama- sama wanita siapa tahu bisa bicara dari hati ke hati.” Kata Wisnu yang akhirnya menyerah dengan ancaman Clarissa. “Terima kasih Mas Wisnu Sayang, Kalau begitu aku lanjut masak lagi ya.” Clarissa menutup sambungan teleponnya. Wisnu mengambil nafas panjang dan membuangnya lalu kembali menghampiri Karin yang masih duduk di meja kerjanya. “Kak Clarissa pasti suruh Mas Wisnu buat bujuk aku ke tempat Papa ya?” Tebak Karin yang di jawab anggukkan olehnya. Gadis itu pun membuang nafas kasar lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. “Kalau saran Mas sih, lebih baik kamu ikut datang aja ke Bandung lagi pula juga ke Rumah orang tua sendiri bukan ke Rumah mertua.” Saran Wisnu sambil meledek Karin agar bisa membuat gadis itu tersenyum. Dan benar saja gadis itu tersenyum tapi dengan senyum terpaksa. “Ya sudah ya Mas, aku mau kembali ke ruang kerja ku dulu.” Pamit Karin sambil memainkan ponselnya. “Ingat Rin, Papa orang tua kamu satu- satunya loh. Jangan sampai nantinya kamu menyesal kaya Mas nggak bisa bahagiakan kedua orang tua Mas sendiri karena mereka lebih di sayang sama Allah.” Kata Wisnu memberi nasehat serius sebelum Karin pergi. “Iya, Mas terima kasih ya buat nasehatnya.” ucap Karin sambil tersenyum karena ia merasa tersentuh dengan nasehat Wisnu barusan. Ia pun meninggalkan ruangan Kakak Iparnya dengan kembali mengingat beberapa kenangannya bersama Papa, Mama, dan Kak Clarissa. Hingga kenangan itu beralih pedih saat ia kehilangan sosok Ibunya yang meninggal saat ia berusia sembilan tahun. Mulai saat itu ia dan Clarissa berjanji untuk saling menyayangi satu sama lain serta selalu menuruti perintah Papa Wira agar sang Papa tidak merasa kesulitan saat mengurus mereka. Walau dahulu umur Karin masih terbilang muda, tapi ia tumbuh lebih dewasa sebelum waktunya. Dewasa yang bukan terlihat dari umurnya melainkan dalam pemikiran dan sikapnya walau terkadang ia juga masih terlihat manja. Sesampainya di ruang kerja miliknya, Karin berusaha menghubungi Papa Wira lagi. Karena Gadis itu merasa bersalah telah menolak permintaan sang Papa. Namun saat ia berusaha menghubungi sang Papa, terdapat nada sibuk yang sepertinya Papa Wira sedang menghubungi orang lain. Ia pun meletakkan ponselnya di atas meja dan menyalakan televisi untuk sekedar melihat- lihat berita tentang dunia bisnis yang sedang naik- turun serta perkembangannya. Namun saat melihat profil Bima Aji Prakasa yang sedang di gosip kan dengan seorang model cantik papan atas tersebut membuatnya bergidik geli. Pasalnya lelaki yang sedang di gosip kan itu walau pun ia terlihat sukses tapi selalu berganti- ganti pasangan dekat. Dari kalangan bisnis dan juga artis yang sedang naik daun. “Amit- amit deh, jangan sampai aku dekat sama lelaki itu.” Batin Karin lalu mematikan televisinya tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD