Bab 2

1249 Words
Setelah memakaikan dasi Bima, keduanya segera turun untuk sarapan bersama di ruang makan. Papa Aji telah menunggu di meja makan sambil membaca koran. “Pagi, Pa.” Sapa Bima sambil duduk di kursi setelah Pelayan menarik kursi untuknya. “Pagi, Bim.” Sapa Papa Aji balik. “Oh ya, Danu mana? Ajak dia sarapan sekalian bareng sama kita.” suruh Papa Aji sambil melipat korannya. “Tolong panggil Danu sekarang.” Suruh Bima kepada Pelayan yang ada di dekatnya. Pelayan tersebut mengangguk pelan dan segera mencari Danu yang sedang ada di pintu utama. “Bagaimana bisnis keluarga kita, Bima?” tanya sang Papa sambil melahap nasi goreng yang ada di hadapannya. “Baik kok, Pa.” Jawab Bima. Tak lama Danu datang dengan nafasnya yang memburu. Karena lelaki itu berjalan dengan sedikit berlari. “Pak Aji memanggil saya? Apa ada yang di perlukan?” tanya Danu setelah mengambil nafas panjang lalu membuangnya perlahan. “Ikut sarapan bersama kami, Nu.” Jawab Papa Aji. Danu memang sudah dianggap seperti Anak kandungnya sendiri oleh Papa Aji. Walau terlihat seperti Sekertaris Bima, Papa Aji selalu mengajak Danu untuk turut serta menghadiri beberapa acara penting bersamanya agar nantinya Danu dan Bima bisa saling bertukar pendapat untuk kemajuan Bisnis miliknya yang kini sudah di wariskan kepada Bima. “Sini, duduk dekat saya, Nu.” Suruh Bima sambil menepuk kursi yang ada di sebelahnya. Walau menurut Bima hal itu terlihat biasa tapi menurut Mama Anna itu terlihat menggelikan mengingat kejadian beberapa menit lalu yang terjadi di antara keduanya. Walau sudah mendapatkan penjelasan dari Danu dan juga Bima, mata Mama Anna tak pernah teralihkan dari aktivitas yang di lakukan Bima dan Danu saat sedang sarapan bersama. Hingga membuat Papa Aji yang tanpa sadar memperhatikan Istrinya tersebut dan bertanya- tanya dalam hati. Setelah selesai sarapan, Bima dan Danu segera berangkat ke kantor. Sementara Mama Anna dan Papa Aji masih berada di meja makan sebelum melanjutkan aktivitas masing- masing. “Pa, bagaimana kalau kita segera cepat- cepat menjodohkan Bima dengan Anak teman Papa itu.” Seru Mama Anna dengan nada terdengar sangat khawatir. “Sama keluarga Pak Wiratama?” tanya Papa Aji yang dijawab anggukan oleh Istrinya tersebut. “Tapi kenapa Mama mau cepat- cepat menjodohkan mereka?” tanya Papa Aji yang penasaran. Mungkinkah ini terkait dengan sikap Istrinya barusan pada Anaknya tersebut. “Soalnya Mama khawatir kalau Bima sama Danu..” ucapannya terpotong saat menyadari para Pelayan yang masih menunggu di ruang makan dan terlihat sedang memperhatikan obrolan mereka. Karena menurut Mama Anna hal ini terdengar memalukan jika tebakannya itu benar. Ia tak ingin Anaknya menjadi bahan omongan seisi rumah atau mungkin bisa sampai keluar rumah. “Kalian boleh pergi ke dapur sekarang.” Suruh Mama Anna yang di jawab anggukan oleh para Pelayan. Mereka pun pergi meninggalkan sepasang Suami-Istri paruh baya tersebut. “Ada apa sih, Ma? Apa ada hubungannya dengan sikap Mama tadi yang memperhatikan Danu dan Bima? Apa jangan- jangan mereka itu...” Ucapan Papa Aji terhenti saat Mama Anna mengangguk seperti mengerti apa yang sedang di pikirkan sang Suami. “Mama jangan berpikir macam- macam ah.” Tambah Papa Aji yang menggeleng- gelengkan kepalanya, beliau seakan tak habis pikir dengan apa yang sedang Istrinya pikirkan saat ini. “Tapi, Pa. Tadi sebelum sarapan Danu pasangkan Bima dasi dan itu kelihatan mesra banget. Pokoknya Mama nggak mau ya kalau Bima jadi melenceng ke Danu.” Jelas Mama Anna yang merasa geli saat mengingat kejadian pagi ini hingga bulu kuduknya kembali merinding. “Tapi Mama tahu kan, selama ini Anak kita selalu di kabarkan dekat sama sih A, B, dan C.” Seru Papa Aji yang mencoba membela Anaknya tersebut. “Nggak ada kata tapi lagi, Pa. Pokoknya Papa segera hubungi keluarga Wiratama secepatnya atau nanti Mama yang akan mencari wanita lain untuk Bima.” Pinta Mama Anna kekeh yang tak ingin ada basa- basi lagi. Mungkin kalian sudah tak asing lagi dengan sikap Mama Anna yang tak jauh berbeda dengan Bima. Yang tak ingin ada penolakan di setiap perintah yang mereka buat. “Iya, Mama Sayang. Ya sudah Papa ke ruang baca dulu ya sekalian telepon Pak Wira dulu.” Pamit Papa Aji sambil mengecup kening Istrinya. Yang membuat Mama Anna luluh dan tersenyum. Duh begitu manisnya sepasang Pasutri ini, hingga membuat kalangan muda yang masih sendiri ingin rasanya segera menikah dengan romantisme keduanya. Sesampainya di ruang baca, Papa Aji segera mengambil ponselnya yang sempat ia minta kepada sang Pelayan. Ponsel yang memang ia letakkan di nakas dekat tempat tidurnya. Ia segera mencari kontak Papa Wira untuk menghubungi Sahabatnya itu. Papa Aji dan Papa Wira sudah saling berSahabat sejak mereka bertemu di taman kanak- kanak hingga saat ini. Dan mereka pernah berjanji akan menjodohkan kedua Anak mereka Bima dan Karin saat keduanya sudah sama- sama telah tumbuh dewasa. Agar tali silaturahmi di antara kedua keluarga besar tersebut tetap berjalan. Bima dan Karin juga sudah saling mengenal tapi dulu saat mereka masih kecil dan rumah keduanya masih saling bertetangga. Namun saat Ibunda Karin meninggal, Papa Wira sekelurga memutuskan untuk pindah ke Bandung agar keluarganya tak terjebak dengan rasa sedih serta kehilangan sosok sang Istri. Setelah itu keduanya sangat jarang malah hampir tak pernah bertemu lagi bahkan saat sekolah dan kuliah Karin di kirim keluarganya untuk bersekolah di London. Sementara Bima memutuskan untuk kuliah di Kanada. “Halo Wira, apa kabar?” tanya Papa Aji kepada seseorang yang ada di sana. “Hai Aji, kabarku baik. Bagaimana kabar kamu?” tanya Papa Wira balik dan merasa senang karena Sahabatnya menghubungi dirinya. “Kabarku juga baik, apa kamu sibuk Wira?” tanya Papa Aji basa- basi karena tak ingin mengganggu kegiatan Papa Wira. “Enggak ada lagi pula aku kan sudah Pensiun, bisnisku juga sudah di kelola oleh Menantu dan juga anak- anak. Ada apa, Ji?” Tanya Papa Wira yang kali ini sedikit penasaran. Karena pasalnya Papa Aji jarang menghubunginya jika tidak ada hal yang mendesak. “Aku mau membicarakan perjodohan anak- anak kita yang pernah kita buat dahulu, itu pun jika kamu masih berkenan.” Jawab Papa Aji dengan sedikit keraguan. “Oh iya, aku juga sebenarnya ingin membicarakan hal ini sejak kemarin tapi karena faktor usia aku selalu lupa untuk menghubungi mu.” Jelas Papa Wira yang membuat Papa Aji bisa bernafas lega. Seperti pucuk di cinta ulam pun tiba. “Kalau begitu kapan kita akan pertemukan kedua Anak kita? serta membicarakan perjodohan itu?” tanya Papa Wira lagi yang terdengar sangat antusias. “Bagaimana kalau akhir minggu ini? Nanti akan aku ajak anakku dan juga Istriku ke Bandung.” Usul Papa Aji karena ia juga ingin segera bertemu dengan sahabat beserta keluarganya tersebut. “Baiklah, nanti juga aku akan telefon anak- anakku untuk segera berkumpul di Bandung.” Kata Papa Wira. “Loh? Memang di mana anak- anak mu saat ini? Bukankah kalian tinggal bersama?” Papa Aji memburu Papa Wira dengan pertanyaan yang membuatnya terkejut. “Aku tinggal di Bandung sendiri. Sementara kedua anak- anakku tinggal di Jakarta mengurus bisnis mereka. Aku sengaja menetap di Bandung karena udara di sini masih sangat bersih dan nyaman. Besok kalian datang hari sabtu saja biar kalian bisa menginap semalam di sini.” Ajak Papa Wira setelah ia menjelaskan keadaannya dan anak- anaknya. “Boleh juga, sudah lama juga aku dan keluarga tidak menghirup udara segar. Kalau begitu sampai ketemu sabtu nanti ya.” Seru Papa Aji lagi lalu memutuskan pembicaraan mereka. Beliau menarik garis senyum di wajahnya karena rasa bahagia yang ia rasakan. Beliau pun keluar dari ruang baca tersebut untuk mencari keberadaan sang Istri.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD