Rasa Cemburu

1130 Words
“Baiklah, aku akan melepaskanmu tapi bisakah kamu berikan satu kecupan untukku,” pinta Davian dengan nada suara manja kepada Indira. “Kau benar-benar ingin aku di pecat dari perusahaan Ayahmu, hah?” kata Indira yang benar-benar gemas dengan sikap Davian yang seperti anak kecil baginya. Dengan berat hati, Davian melepaskan pelukannya dan menjauh dari tubuh Indira. “Sekarang, pakailah semua ini.” Indira memberikan satu setel pakaian kantor dengan sebuah kemeja berwarna hitam serta jas dan celana yang berwarna abu. “Aku akan menunggumu di luar,” tambah Indira lalu beranjak pergi meninggalkan Davian. Sungguh lelaki itu merasa bingung dengan perubahan sikap Indira yang berubah dalam semalam. Tapi konyolnya lelaki itu malah berpikir kalau Indira bersikap demikian karena servisnya semalam saat di ranjang tidak maksimal. Apalagi hal ini pertama kalinya bagi Indira yang sama sekali belum pernah melakukan hal tersebut. “Babe, kenapa kamu bersikap dingin seperti ini kepadaku?” tanya Davian saat wanita itu tengah memasangkan dasi untuknya. Wajah Indira terlihat datar dan hal itu membuat Davian semakin bingung. “Maafkan saya Pak Davian, saya hanya berusaha bersikap profesional agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.” “Oke baiklah, kalau seperti itu maumu, Indira Kinanti,” kata Davian yang menyerah dengan segala upayanya untuk menanyakan alasan sikap Indira yang berubah dalam waktu semalam. “Sudah selesai, Pak Davian, sekarang anda bisa sarapan sebelum pergi ke kantor,” kata Indira menepuk d**a lelaki itu secara perlahan. “Terima kasih.” Kini Davian bersikap sama seperti Indira cuek, jutek dan juga sedikit angkuh. Lelaki itu berjalan menuju ruang makan tanpa memperhatikan Indira yang mengikuti langkah kakinya dengan membawa tas dan juga jas milik Davian. Sesampainya di meja makan, Davian langsung disuguhkan dengan selembar roti isi telur beserta beberapa sayuran segar di tambah jus jeruk yang Fresh. Lelaki itu langsung menyantap makanannya tanpa melirik Indira yang baru saja sampai. “Indira, ayo sarapan bersama kami,” ajak ibu Gisella sambil tersenyum ramah ke arahnya. “Tidak perlu, Ma. Indira tidak terbiasa makan bersama kita karena dia tidak ingin ada kesalahpahaman ketika kita akrab dengannya,” potong Davian yang masih fokus menatap makanan di depannya. Indira tersenyum tipis dengan menganggukkan kepalanya pelan saat kedua orang tua Davian menoleh ke arahnya. “Kenapa berpikir seperti itu? Ayolah sarapan bersama kami, lagi pula kamu sudah aku anggap sebagai putriku sendiri.” Kali ini pak Bagaskoro yang menawarkan wanita itu untuk sarapan bersama karena merasa tidak enak. “Benar kata Bapak, kamu sudah kami anggap seperti putri kami sendiri jadi sarapan saja bersama kami ya, Nak,” pinta ibu Gisella memohon yang pada akhirnya membuat Indira luluh dan berniat untuk sarapan bersama tanpa menolak. Wanita itu mendekat ke arah meja makan lalu menarik kursi untuk duduk. “Kita berangkat sekarang, Indira,” kata Davian bangkit dari tempat duduknya setelah menyeka mulutnya dengan serbet. “Tapi Dav, Indira baru mau sarapan,” kata ibu Gisella. “Tidak apa-apa Ibu, mungkin Pak Davian sedang bersemangat bekerja hari ini, kalai begitu saya pamit ya, Bapak, Ibu,” pamit Indira seraya bangkit dari tempat duduknya lalu sedikit membungkuk sebelum pergi mengejar Davian. “Kalian hati-hati di jalan ya,” kata ibu Gisella dengan nada bicara sedikit berteriak. Sesampainya di kantor, Indira langsung mengikuti Davian berjalan menuju ruangannya. Lelaki itu meminta beberapa berkas yang ingin dikerjakan. Setelah selesai, Indira kembali ke mejanya yang berada di depan ruangan Davian. “Ini In, pesanan bubur yang lo minta enggak pak kacang, ‘kan?” tanya Anwar untuk meyakinkan setelah meletakkan kantung di meja Indira. Ya sebelum sampai di kantor, Indira sempat meminta tolong Anwar untuk membelikannya bubur ayam komplit tanpa kacang karena perutnya terasa lapar sebab belum sarapan. “Ya betul, makasih ya, War, ini duitnya,” kata Indira sambil memberikan beberapa lembar uang kepada Anwar. “Gue, enggak ada kembalian nih,” kata Anwar setelah menghitung kembali uang yang diberikan Indira tadi. “Kembaliannya ambil aja, sekali lagi makasih ya,” kata Indira yang membuat Anwar tersenyum senang. Lalu lelaki itu pergi meninggalkannya. Indira mulai menikmati bubur ayam miliknya sambil sesekali matanya menatap layar komputer di hadapannya. Namun ketenangan Indira tidak berlangsung lama karena Angela datang. “Eh... eh... jam berapa ini? Kenapa masih saja makan di kantor? Dasar karyawan tidak kompeten,” oceh Angela yang membuat kuping Indira memanas kala mendengarnya. “Maaf Bu Angela, saya belum sempat sarapan tadi di rumah jadi saya baru sarapan di kantor,” kata Indira yang langsung berdiri dan menundukkan wajahnya. “Baiklah, hari ini kamu dimaafkan tapi jangan pernah ulangi itu lagi,” kata Angela lagi. “Terima kasih, Bu Angela.” “Oh ya, apakah Davian ada di dalam?” “Ada, Bu. Beliau sedang menangani beberapa berkas di dalam,” kata Indira yang kini mengangkat kepalanya lalu tersenyum ke arah Angela yang menatapnya sinis. “Ya sudah, aku akan ke dalam sekarang tapi jangan lupa buatkan aku teh Chamomile untukku,” titah Angela sebelum wanita menyebalkan itu masuk ke dalam. “Baik, Bu.” Rasanya Indira ingin sekali menjambak rambut Angela karena sikapnya yang menyebalkan. Sikap Angela menurut Indira sanggatlah berlebihan seperti bos pemilik perusahaan tersebut. Entah apa jadinya jika wanita itu benar-benar menjadi istri Davian nanti. Indira beralih menuju pantri sambil membawa bubur ayam miliknya yang tinggal tersisa sedikit, sayang bukan kalau harus dibuang. Setelah selesai, wanita itu membuat teh Chamomile sesuai permintaan Angela, lalu mengantarkannya ke ruang kerja Davian. “Permi—“ Indira terkejut melihat posisi keduanya yang sedang asyik b******u tepat di meja kerja Davian hingga memutuskan membalik badannya. “Kau! Lancang sekali!” Amuk Angela yang berjalan ke arah Indira. Tangan wanita itu sudah bersiap ingin menampar wajah Indira, namun ditahan oleh Davian. “Hentikan, Angela!” Indira menoleh ke arah di mana Davian menahan tahan Angela yang ingin menamparnya. “Sungguh saya minta maaf, Bu Angela dan Pak Davian. Tadi saya sudah mengetuk pintu sebanyak tiga kali tapi tidak ada jawaban.” “Pecat dia, Dav! Wanita itu sudah membuatku marah karena sikap lancangnya,” kata Angela sambil menurunkan tangannya ke bawah. “Sudahlah jangan perpanjang urusan ini, lagi pula dia sudah minta maaf, ‘kan,” bela Davian yang tidak ingin terjadi hal apa pun kepada Indira. “Anggap saja kita memberikan tontonan gratis kepadanya karena ciuman yang memabuk yang kamu berikan kepadaku tadi,” rayu Davian agar Angela luluh dan melupakan masalahnya dengan Indira. Dan benar saja Angela langsung tersenyum lalu mendekatkan diri ke arah Davian. Wanita itu ingin mengulang aksinya yang sempat terputus barusan. “Sayang, tahan sebentar,” tahan Davian ketika Indira masih bergeming di tempat. “Indira, letakkan teh itu lalu kembali ke mejamu.” Indira menuruti ucapan Davian, dirinya kesal dengan sikap lelaki itu yang seakan sengaja melakukan hal itu di kantor untuk membalas sikapnya. Dengan kepala yang tertunduk menahan air matanya yang ingin tumpah, wanita itu meninggalkan Davian dan Angela.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD