Begin

2349 Words
Satu tahun kemudian “Ayah, kita akan pindah kemana?” Avar yang sudah berumur 3 tahun bertanya kepada Fahrian saat mereka sedang di atas sebuah mobil truk yang mengangkut barang-barang mereka. “Kita pindah ke daerah yang banyak teman-teman bermain Avar.” Jawab Fahrian sambil menggendong Aneira yang sedang tertidur pulas, tak terasa sudah satu tahun sejak kepergian istrinya. Kehidupan Fahrian benar-benar berubah, sejak satu tahun yang lalu Fahrian mengundurkan diri dari kantornya karena ia tidak bisa meninggalkan kedua anaknya di rumah. Dan hal itu menjadi alasan kepindahnnya kali ini, uang tabungannya sudah habis untuk memenuhi kebutuhannya selama ini, jika ia tidak segera bekerja maka bagaimana bisa ia menghidupi anak-anaknya. Maka dari itu ia pindah ke daerah yang jauh dari pusat kota, sehingga ia bisa meninggalkan anak-anaknya di rumah saat ia bekerja, apalagi kebetulan di daerah itu ada salah satu saudaranya yang bisa membantu menjaga anaknya saat ia sedang bekerja. Perjalanan dari rumah lamanya ke rumah baru yang akan ditempatinya kira-kira membutuhkan waktu empat jam perjalanan. Selama di perjalanan, untunglah kedua anaknya tidak banyak tingkah, mereka tertidur pulas, sampai tiba di tempat. Bisa dilihat bahwa di daerah ini masih banyak pohon pohon yang rindang yang mampu membuat daerah ini semakin sejuk dan asri. Rumah Fahrian kali ini tidak begitu besar, malah terkesan sangat sederhana, ia menyewa tempat itu kepada saudaranya. “Avar, sudah sampai Nak” Fahrian membangunkan Avar yang masih terlelap tanpa mengetahui bahwa mereka sudah sampai, avar menggeliatkan badannya pertanda bahwa dirinya sudah mulai sadar, Avar menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Segera Avar turun dari mobil truk dibantu oleh supir yang telah membukakan pintu sejak tadi. “Aneira, bangun Nak.” Setelah membangunkan Avar, Fahrian membangunkan Aneira yang masih tertidur pulas dipangkuannya “Akhh” Aneira bangun sambil menggosokkan matanya, Aneira melihat ke sekitarnya tanpa tahu ada di mana mereka. Setelah Fahrian melihat kalau Aneira sudah bangun, segera ia memberikan Aneira kepada supir yang tadi menolong Avar, kemudian ia turun dari mobil dan bersama-sama membantu menurunkan barang-barang mereka yang tidak begitu banyak. "Ayah ini dimana?" tanya Aneira kecil merasa heran dengan lingkungan di sekitarnya, lingkungan yang sama sekali belum pernah Aneira lihat. "Ini tempat baru kita, rumah baru kita Aneira, kak Avar, dan Ayah" ujar Fahrian tampak senang. "Ibu juga yah?" pertanyaan Aneira kecil mampu membungkam bibir Fahrian, Fahrian tidak tahu harus menjawab apa. *** Tiga tahun kemudian “Ayah hari ini pulang cepat kan?” tanya aneira yang kini sudah berumur 5 tahun, sudah hampir tiga tahun mereka sekeluarga menghuni rumah ini. Fahrian kini sudah bekerja sebagai pengawas quality control di sebuah pabrik yang ada di dekat rumah mereka, untunglah dengan keahlian yang dimiliki Fahrian, Fahrian bisa diterima di pabrik itu. Walaupun gajinya tidak sebesar gajinya dulu, tapi cukup untuk makan dan membiayai sekolah Aneira dan Avar yang sudah memasuki masa sekolah. Avar kini sudah menginjak bangku sekolah dasar sekarang dirinya berada di kelas 1, di sekolah dekat dengan rumahnya. Sedangkan Aneira kini sudah bersekolah di taman kanak-kanak. Dahulu setiap Fahrian pergi bekerja Avar dan Aneira di titipkan kepada tetanggannya untuk sekedar melihat-lihat apa yang mereka lakukan, apakah berbahaya atau tidak. Tapi, walaupun hanya pekerjaan ringan, Fahrian tetap memberikan uang terimakasih setiap bulannya, karena telah mau membantu dirinya menjaga anak-anak mereka. “Ayah usahakan ya Nak” jawab Fahrian, hari ini ia harus mengunjungi pabrik yang bekerja sama dengan pabrik tempatnya bekerja, ada beberapa barang yang harus ia lihat sebelum dikirim ke distributor. Pabrik ini terletak di daerah yang cukup jauh dari tempat tinggalnya kira-kira membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam, maka dari itu demi anaknya Fahrian akan menyelesaikan urusannya dengan tepat waktu, agar bisa merayakan ulang tahun Aneira bersama-sama. “Ayah tidak lupa kan ulang tahun adek kan yah?” Tanya Aneira sekali lagi dengan tampang polosnya “Tidak sayang ayah tidak lupa ulang tahun Aneira, nanti ayah bawakan kue untuk Aneira ya.” Sambil mengelus kepala anak perempuannya dengan lembut. Fahrian segera meletakkan sarapan yang telah ia siapkan hari ini, ada nasi goreng dan telur, makanan kesukaan kedua anaknya. “Ayo Avar dan Aneira kita makan.” Aneira dan avar segera berlari ke arah meja makan yang terletak di dapur “Jangan lari-lari, nanti jatuh loh.” Fahrian mengingati kedua anaknya ini agar tidak berlarian, apalagi rumah yang mereka tempati cukup kecil sehingga bisa saja jika sedang berlari tersendung dengan barang barang yang ada. “Ane mau duduk dekat ayah.” Teriak Aneira saat tidak mendapatkan kursi yang dekat dengan ayahnya. “Kakak yang dapat duluan, wek.” Sambil memeletkan lidahnya kepada Aneira, terkadang Avar dan Aneira sering kali bertengkar saat memperebutkan kursi yang paling dekat dengan ayahnya. Hal ini lah yang membuat Fahrian sering geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak-anaknya ini. “Ayah, lihat kakak tuh.” Rengek Aneira kepada Fahrian, akhirnya mau tidak mau Fahrian turun tangan agar kondisi kedua anaknya itu aman dan tentram. “Avar, ngalah ya sama adek.” Bujuk Fahrian kepada Avar. Avar menggeleng “Nggak mau ayah, Avar mau duduk dekat ayah.” Mendengar jawaban Avar, Aneira kembali menangis keras. Karena tidak ingin membuat kegaduhan pagi-pagi begini, akhirnya Fahrian mencari cara agar anaknya kembali tenang. “Yaudah, kalau nggak mau kita duduk di ruang TV aja ya, gimana?” Tanya Fahrian Serempak kedua anaknya menjawab “SETUJU”, Aneira akhirnya berhenti menangis. “Tapi ada syaratnya, bantuin ayah angkat piring dengan gelas ke ruang TV yah?” Fahrian kembali bersuara “Baik Ayah” “Oke Ayahnya Ane” kompak anaknya menjawab, Fahrian sangat senang melihat anak-anaknya ini, walaupun mereka kekurangan kasih sayang dari ibunya, tapi mereka tumbuh menjadi anak yang peduli akan lingkungan dan termasuk anak yang ceria dan mudah bergaul. Itulah yang disyukuri oleh Fahrian selama ini, dahulu ia sangat takut anaknya tumbuh menjadi orang yang acuh terhadap lingkungannya, tapi ketakutannya kini hilang. Fahrian harap dirinya bisa bersama dengan anak-anaknya sampai maut memisahkan mereka. Setelah semuanya terhidang akhirnya mereka makan, dengan posisi duduk vertical, dengan Fahrian di tengah-tengah, Aneira yang duduk disebelah kanannya, dan Avar yang duduk disebelah kirinya. Mereka bertiga makan dengan lahap. Jika Aneira ditanya oleh gurunya makanan apa yang menjadi kesukaan Aneira, dengan cepat Aneira akan menjawab “Nasi Goreng buatan ayah”, karena menurutnya nasi goreng buatan ayahnya sangatlah enak, banyak nasi goreng yang telah ia beli, tapi hanya nasi goreng buatan ayahnya yang paling dan paling enak sejagat raya. Tak berbeda dengan Avar, jika dalam satu minggu ia tak memakan nasi goreng buatan ayahnya, maka ia akan marah kepada ayahnya. Sebegitu sukanya dua bersaudara ini dengan nasi goreng buatan ayahnya. “Ayah asi reng nak.” Puji Aneira dengan mulut yang penuh, sehingga tidak terdengar jelas apa yang diucapkan gadis itu, yang sebenarnya artinya adalah Ayah nasi goreng enak. “Iya? Besok ayah buatkan lagi ya.” Fahrian yang mengerti dengan perkataan Aneira tersenyum senang, karena melihat betapa sukanya anak anaknya dengan nasi goreng buatannya, terkadang jika ada yang berlebih dengan hati Fahrian akan membungkuskannya sebagai bekal untuk anak-anaknya. Avar terlihat telah menyelesaikan makannya, disusul dengan Fahrian dan terkahir Aneira. Fahrian sudah membiasakan anak anaknya untuk meletakkan piring makannya masing-masing di tempat cucian piring. “Sudah siap semuanya?” tanya Fahrian terakhir kali sebelum mereka berangkat menggunakan sepeda motor, sepeda motor ini sudah bersama mereka sejak 6 bulan yang lalu, Fahrian membeli sepeda motor ini dari gaji yang Fahrian tabungan selama ia bekerja di pabrik. “Siap Ayah” jawab Avar Fahrian mengernyit heran, kenapa Aneira belum tampak batang hidungnya sejak meletakkan piringnya ke dapur. “Aneira” panggil Fahrian Tidak terdengar jawaban dari dalam rumah membuat Fahrian segera menyusul Aneira anak perempuannya itu. “Aneira” panggilnya sekali lagi. Fahrian mencari ke seluruh ruangan mulai dari kamar Aneira, ruang tv, dapur, tapi hasilnya nihil. Tapi tiba-tiba sosok anak perempuan yang adalah Aneira keluar dari kamar mandi, Fahrian akhirnya bernafas lega melihat putrinya tidak kenapa-napa. Aneira tersenyum melihat ayahnya “Ayah” Aneira berfikir pasti ayahnya sedang khawatir dan terus mencarinya. “Ane disini Ayah.” Jawaban yang menenangkan hati seorang Fahrian. “Ayah, fikir Ane kenapa-napa?” Aneira mendekati ayahnya sambil memegang tangan ayah “Ane tadi pipis ayah” jawab Aneira dengan lembut. Fahrian mengelus puncak kepala Aneira, Fahrian sangat kagum dengan kepribadian Aneira walaupun masih berumur 5 tahun tapi gaya pemikiran Aneira tidak seperti anak seumuran dirinya, Aneira sangat ceria, Aneira paling tahu jika Fahrian sedang dalam masalah. Saat Fahrian dan Aneira tiba di teras depan, mereka berdua bisa melihat bahwa Avar sudah memasang raut wajah cemberut sambil bersedekap. Avar sangat benci dengan kata menunggu, dan sekarang Avar harus menunggu ayah dan adiknya keluar dari rumah, padahal dari tadi ia sudah selesai memasang sepatu dan siap untuk berangkat. “Kak Avar, jelek deh.” Ledek Aneira melihat Avar cemberut. “Aneira diem deh.” Avar tak terima ia sedang dalam suasana hati yang jelek dan itu semua karena Aneira dan sekarang Aneira malah mengejeknya seperti itu. “Sudah sudah ayo kita berangkat” Fahrian menengahi seraya menaiki motornya yang sudah ia panaskan sejak tadi. Avar langsung bergegas naik ke motor Fahrian disusul dengan Aneira yang duduk di depan. Sepanjang perjalanan Avar hanya diam memeluk erat punggung ayahnya dari belakang sambil mendengarkan obrolan Aneira dengan ayahnya, entah kenapa hari ini Avar merasa tidak ingin berpisah dengan ayahnya, Avar sangat merindukan suara ayahnya yang padahal setiap hari Avar dengar. Selama 10 menit perjalanan, akhirnya mereka sampai di sekolah Aneira Taman Kanak Kanak Pertiwi, Aneira turun dari motornya, kemudian Aneira menyalami ayah dan kakaknya, biasanya setelah selesai menyalami keduanya Aneira akan langsung bergegas masuk ke sekolahnya, tapi kali ini berbeda Aneira berdiri di depan Fahrian, Fahrian bertanya kepada Aneira “Ada apa Ane, ada yang ketinggalan?” Aneira menggeleng “Hari ini Ane ulang tahun, ayah belum ngucapin.” Fahrian tertawa mendengar jawaban Aneira “Biasanya kan setiap malam di hari ulang tahun Aneira ayah ucapin, karena Aneira lahirnya malam jadi kalau pagi Aneira belum lahir.” “Aneira nggak mau, maunya sekarang nanti ayah lupa.” Jawab Aneira, Aneira ingin ayahnya memberinya ucapan selamat hari ini bukan nanti malam. “Yaudah.” Fahrian turun dari motornya mendekati Aneira yang sedang berdiri menunggu ucapan darinya. Fahrian mensejajarkan tubuhnya dengan tinggi badan Aneira kemudian memegang kedua tangan Aneira “Aneira anak ayah, Selamat Ulang Tahun ya, ayah harap Aneira selalu bisa memaafkan siapapun yang pernah mengecewakan dan menyakiti Aneira, Aneira janji?” entah kenapa hari ini Fahrian ingin sekali mengatakan hal itu kepada Aneira, padahal Fahrian tahu bahwa ucapannya tidak akan dimengerti oleh anak seumur Aneira. “Iya Janji ayah, Aneira selalu ingat pesan ayah, cium ayah.” Aneira dengan polos meminta ayah untuk menciumnya. Fahrian terkekeh mendengar permintaan Aneira, kemudian Fahrian menyuruh Avar mendekat ke arah Fahrian dan Aneira, kemudian Fahrian memeluk kedua anaknya erat, mereka tak peduli bahwa sekarang mereka menjadi tontonan wali murid yang lain. Fahrian mencium kening Aneira dan berlanjut kepada Avar. Kemudian Fahrian melepaskan pelukkan mereka dan mengelus kepala Aneira “Ayah pergi dulu ya Nak, doakan ayah.” Aneira melepas kepergian ayah dan kakaknya, setelah keduanya hilang dari penglihatannya Aneira seera berlari masuk ke dalam gerbang sekolahnya dan berbaur dengan teman temannya yang sudah asyik bermain. *** Jarak dari sekolah Aneira ke sekolah Avar tidak terlalu jauh, kira-kira hanya sekitar 400 meter. Selama diperjalanan Avar dan Fahrian hanya diam saja menikmati udara segar di pagi hari. Setelah 5 menit perjalanan, akhirnya mereka sampai di SDN 13 tempat Avar bersekolah. Kemudian Avar turun dan menyalami ayahnya, dan bergegas untuk masuk ke gerbang sekolah. “Avar” panggil Fahrian ketika melihat Avar ingin segera beranjak pergi. Avar berbalik menghadap ayahnya “Iya, ada apa yah?” tanyanya heran “Avar, nanti kalau ayah belum pulang Avar jemput ya kue ulang tahun Aneira di Bu Rahma, kemarin ayah memesan kue disana dan sudah ayah bayar.” Pesan Fahrian kepada Avar Avar heran “Loh, ayah emang kemana?” tanyanya balik, Fahrian memang belum memberitahukan bahwa Fahrian harus mengunjungi pabrik yang berkerja sama dengan pabriknya. “Ayah lupa memberitahu Avar, ayah hari ini ada kunjungan ke pabrik yang jauh itu Var.” Fahrian memberitahu Avar “Oh begitu yah, baiklah nanti Avar jemput.” Kemudian mendengar jawaban Avar, Fahrian tersenyum kemudian mengusap kepala anaknya. “Avar nanti kalau malam ayah belum pulang kamu rayakan ulang tahun adikmu dulu ya tanpa ayah, jangan tunggu ayah, oke?” Sekali lagi Avar berpesan kepada anak laki lakinya. “Oke ayah, ayah tenang saja pesan ayah akan selalu Aavar ingat.” Jawab Avar sungguh-sungguh. “Avar.” Sekali lagi Fahrian memanggil Avar. Avar sebenarnya heran ada apa dengan ayahnya pagi ini , sebenarnya ada perasaan mengganjal dihatinya bahwa ia akan merindukan wajah ayahnya ini, tapi cepat cepat Avar menghilangkan perasaan itu, dan berdoa semoga ayahnya selalu baik-baik saja. “Iya ayah” jawab Avar “Jagain Aneira ya, apapun yang terjadi, jangan pernah tinggalkan Aneira sendiri, Avar harus selalu sehat ya.” Pesan ayahnya sebelum ayahnya menghidupkan motornya kembali untuk bersiap-siap melaju ke tempat tujuannya. “Baik ayah, Avar tidak akan lupa pesan ayah, Avar akan selalu menjaga Aneira apapun yang terjadi, dan berjanji akan rajin belajar, supaya jika Avar sukses nanti ayah tidak perlu bekerja di pabrik lagi, dan kita bisa kembali ke rumah kita yang ada di kota.” Jawaban Avar sukses membuat hati Fahrian menghangat, anak-anaknya benar tumbuh menjadi anak-anak kuat dan luar biasa. Fahrian sekali lagi mengusap kepala anaknya dan tersenyum bangga. “Ayah pergi dulu ya Var.” pamit Fahrian. Avar memandangi kepergian ayahnya, baru kali ini ia merasa sedih saat ayahnya akan berangkat bekerja, padahal biasanya tidak pernah ada perasaan seperti ini. Setelah Ayahnya menghilang diujung jalan, Avar beranjak memasuki lingkungan sekolah tempatnya menuntut ilmu. “Ayah pasti baik-baik saja, Tuhan kan sayang ayah.” Batinnya dalam hati. *** Aneira sedang menunggu Avar pulang dari sekolah, karena jam pulang sekolah Aneira dengan Avar jauh berbeda, jadi hampir setiap hari Aneira sampai di rumah duluan dibanding Avar. Hari ini hari spesial untuknya, Aneira tidak sabar untuk merayakan ulang tahunnya seperti tahun tahun sebelumnya. Bersama ayah dan kakaknya. Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka, segera Aneira berlari menghampiri orang yang membuka pintu rumahnya, Aneira tersenyum sumringah melihat bahwa Avar lah yang membuka pintu rumahnya. “KAKAK”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD