Kutukan, atau?

2072 Words
“Apa niat kamu itu tidak bisa diurungkan? Ella itu bukan gadis baik-baik, ibu khawatir kalau kutukan itu akan berimbas pada kamu juga, Nak.” Kim menoleh sebentar ke arah Sheilla yang berdiri di samping mobil saat Bu Sarinah memberi nasihat. Dia tahu kutukan yang melekat pada Sheilla sudah tersebar hingga ke desa seberang. Setiap lelaki yang mendekatinya terkena musibah hingga berakhir mengerikan, dan semua orang terutama lelaki kini menjaga jarak. “Kalau kutukan itu benar adanya, lalu apa yang terjadi padaku dan Anita adalah hal yang sama?” tanya Kim. Bu Sarinah lantas terdiam. “Percayalah, Bu. Aku hanya ingin membantunya. Kalau Nenek Murti memang hilang, biar kuserahkan semuanya pada Ella dan polisi.” “Maaf, bukannya ibu ingin turut campur atas hidupmu. Tapi kau harus lebih memikirkan baik-baik setiap tindakan yang kau ambil, Woo Jin masih sangat kecil, dan orang tuanya hanya kamu.” Kim mengangguk. “Aku mengerti.” Dia pun memutuskan menitipkan Woo Jin kepada mertuanya selama dia pergi. Sheilla yang masih setia menunggu di samping mobil memberi senyum lebar ketika Kim datang padanya. “Akang, Ella kira tidak jadi.” “Masuklah,” perintah Kim pada Sheilla, sehingga gadis itu menurut saja. Sheilla mengatakan kemungkinan besar Nenek Murti pergi ke desa sebelah. Sebab di sana, adalah tempat tinggal mereka dulu sekaligus pemakaman anak menantunya. Tidak lain, adalah orang tua Sheilla. Gadis itu melihat ke arah Kim yang fokus menyetir, pria dengan tinggi badan sekitar 185 cm tersebut tidak seperti kebanyakan orang asing yang sering dia lihat di konter-konter ponsel. Potongan rambut yang rapi dengan setelan kemeja cokelat sudah menggambarkan kepribadiannya yang cukup sopan. “Akang, sejak tadi kita bicara, tapi aku enggak tahu nama Akang siapa?” tanya Sheilla membuka percakapan mereka. “Apa itu penting?” “Jelas penting! Mana mungkin Ella bisa berterima kasih kalau nama Akang saja enggak tahu? Ella bukan lagi bicara sama hantu, ‘kan?” Kim hanya tersenyum tipis, sifat Sheilla yang banyak bicara begini mengingatkannya dengan Anita. “Kenalan dulu. Sheilla Khairina, tapi panggil saja Ella.” Sheilla mengulurkan tangan ke arah Kim. Pria tersebut sedikit mengernyit. Sebelum membalas jabatan tangan Sheilla, dia menoleh sebentar. “Sheilla ... namamu seperti nama merek keju di kota,” katanya dengan gelengan kepala pelan. Sheilla tertawa renyah. “Nah, itu. Mimi bilang dulu almarhumah mama pernah ke kota dan makan keju! Tapi sayang sekali di desa ini enggak ada yang jual, keju itu jadi makanan pertama dan terakhir kali. Sebenarnya, Ella juga penasaran rasa keju itu seperti apa. Apa Akang pernah memakannya?” “Pernah, anak saya juga sangat menyukainya.” “Ah, Ella jadi semakin penasaran bagaimana rasanya ... eh, terus nama Akang siapa? Apa Akang orang China asli?” Pertanyaan Sheilla berhasil membuat Kim mengernyit. “China? Kenapa kamu bisa menyimpulkan itu?” “Ya, lihat saja. Wajah dan warna kulit Akang berbeda dari orang sini, yang Ella tahu kalau ada orang seperti Akang pasti dari China kebanyakan.” Kim kembali tersenyum dibuatnya. “Nama saya Kim Hyun Soo, dan saya bukan orang China. Mungkin, nenekmu lebih cermat memperhatikan asal-usul orang lain.” Mata Sheilla terbelalak, dia menutup mulut dengan tangan. Malu karena sudah salah menebak. Dia pikir, semua orang bermata sipit di sini berasal dari China. Karena itu yang Sheilla tahu. *** Sesampainya di Desa Ranting, pandangan Kim menyusuri setiap sudut tempat ini. Mereka melewati persawahan luas, setelahnya ada bendungan besar di sepanjang jalan membuat muda-mudi menjadikan tempat ini sebagai tongkrongan yang nyaman. Para pedagang kaki lima berjejer rapi di bawah pohon, suasana di sini sangat ramai. Sheilla bergegas turun dari mobil dan berlari menyusuri gang sempit. Sementara Kim menunggu di tepi jalan yang cukup sepi dari keramaian itu. Dalam pencariannya, Sheilla berjalan ke arah sebuah rumah dekat sebuah sungai kecil di pinggir desa. Sebab di sanalah seharusnya Nenek Murti berada. Neneknya itu, Sheilla tidak dapat menyalahkan atau marah ketika dia hilang seperti ini. Ingatan tentang anaknya masih melekat, dan rumah yang sempat ditinggali mereka adalah kenangan terbanyak baginya. Sekarang rumah itu sudah ditempati orang lain, karena hutang yang ditinggalkan orang tuanya tidak terbayar. Sheilla sudah melihat kerumunan warga di depan rumah. Tampak si pemilik baru rumah tersebut marah-marah terhadap seseorang, dan itu neneknya. “Mi .. Mimi teu kunananon?” tanya Sheilla seraya memeriksa tangan yang sempat ditarik paksa keluar dari rumah. [Mi ... Mimi tidak apa-apa?] “Ari maneh saha, Cu? Teu kunanaon ieu mah, ngan rada nyeri sakedik.” [Kamu siapa, Cu? Ini tidak apa-apa, cuma agak sakit sesikit] Kedua mata Sheilla mulai basah, Nenek Murti tidak mengingatnya lagi. Namun, dia berusaha mengerti keadaan neneknya yang sudah berusia lanjut ini. “Kenapa kalian bersikap begini terhadap orang tua?” Gadis itu mencegah seorang lelaki yang ingin bertindak kasar terhadap Nenek Murti. Dia adalah Pak Ramli—Pria berusia 45 tahun, rentenir yang terkenal dengan kekejamannya menggencet orang-orang tidak mampu—seorang yang amat Sheilla benci di dunia ini. Karena dia, Sheilla kehilangan rumahnya. “Saya tidak akan begini kalau orang ini tidak lancang masuk ke rumah orang lain! Kalian berdua harus ingat, rumah beserta sertifikat sudah berada di tangan saya, dan sudah sah menjadi milik saya!” kata Pak Ramli keras membentak Sheilla. “Saya ingat, Pak. Tapi tolong mengertilah, nenek saya ini sudah tua. Ingatannya kurang bagus, apa harus bersikap kasar mengusirnya begitu? Kalau Bapak masih punya hati, Bapak bisa cari saya! Biar saya menyusul ke sini,” jawab Sheilla. Pria itu ingin membalas perkataan Sheilla, tapi seorang warga yang berada di dekat mereka mencoba menahan. “Sudahlah, Ella. Tidak ada gunanya berdebat dengan Pak Ramli. Rumahmu juga tidak akan kembali.” Gadis itu terdiam, kemudian mengajak Nenek Murti pergi meninggalkan rumah lama mereka. Wanita berusia senja dengan ingatan yang mulai rapuh itu kembali berbicara kepada Sheilla. “Ari ieu rek dibawa ka mana atuh? Imah emak mah aya di ditu. Kuanon diajak angkat? Ke si Neng uih milarian emak kumaha?” [Ini mau dibawa ke mana? Rumah emak ada di sana. Kenapa diajak berangkat? Nanti si Neng mencari emak bagaimana?] “Mi ....” Sheilla menghentikan langkah mereka, dia menggenggam erat tangan neneknya. Berharap bisa sedikit lebih tenang menghadapi situasi ini. “Mimi tenang saja, ya. Ella bukan orang jahat. Justru Ella ke sini mau menjemput Mimi bertemu sama si Neng. Kan, si Neng rumahnya sudah pindah." “Pindah? Pindah ka mana?” “ Ke rumahnya Ella. Sekarang Mimi ikut saja sama Ella, ya?" Nenek Murti tidak menjawab, tapi dia menurut saja ketika Sheilla menuntunnya menuju mobil Kim yang pasti sudah menunggu mereka sejak tadi. Sementara di tempat lain, Kim sendiri berulang-kali mengecek jam di tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 sore. Semua orang yang nongkrong di tepi bendungan mulai membubarkan diri sehingga tempat ini semakin sepi. Sekali lagi, pandangan Kim menyapu sekeliling. Dia yang berada di pinggir bendungan itu merasa sudah cukup menunggu, dan memutuskan menyusul Sheilla. Bug! Belum sempat Kim berbalik arah, dia mendapat hantaman keras di belakang kepala. Pandangannya seketika buram, dan tubuhnya seakan di dorong ke arah air tenang yang cukup dalam di hadapannya. Kim merasakan sesak di dadanya, dingin air bendungan meresap sampai di setiap persendian. Di sisa kesadaran itu, Kim berusaha bertahan untuk tetap mengapung, hingga sekilas pandangannya bertemu seorang lelaki yang berdiri di tepian bendungan. “Tolong, saya tidak bisa berenang!” teriaknya, tapi suara Kim jadi terputus-putus karena tubuhnya mulai tenggelam. Sementara lelaki itu tetap berdiri kokoh dan malah pergi. Napas pria tersebut semakin sesak, dia yang semula panik mendadak tenang karena hampir kehabisan sisa oksigen untuknya bernapas. Sampai pada akhirnya, tubuh tersebut mulai tenggelam tanpa adanya perlawanan lagi. Terjebak dalam kegelapan di sekelilingnya beberapa saat, dua kali sentuhan hangat di bibirnya, membuat Kim lebih tenang walau diselimuti dingin di sekujur tubuh. Napas yang semula sesak, perlahan normal. Samar-samar Kim melihat penampakan seorang wanita dengan rambut hitam yang terurai. Senyum yang terukir dari bibir wanita tersebut sangat familier di matanya. “Anita?” Batin Kim mulai bisa menebak. “Tenanglah, kau sudah aman.” Wanita itu mengusap lembut pipi Kim. “Ya, benar begitu. Tetaplah bernapas, bertahanlah untukku.” Sosok yang menyerupai Anita tersebut berkata, Kim sungguh ingin membalas semua itu. Dia ingin mengatakan dan bertanya lebih banyak tentang perasaannya selama ini. Namun, semua tidak terwujud dengan mudah. Pandangan Kim semakin kabur, dan hanya menyisakan kabut-kabut tipis yang menjadi pembatas antara dia dan Anita. *** Kedua mata Kim mulai dipaksa terbuka ketika telinganya dipenuhi suara bising dari orang-orang. Silau dari cahaya lampu di atas membuat mata pria tersebut mengerjap sesekali hingga memperjelas pandangan. “Syukurlah, Akang sudah bangun.” Sheilla tersenyum tipis di samping tempat tidur Kim. “Kau? Ini di mana?” tanya Kim. Dia heran sendiri kenapa bisa berada di tempat cukup tidak asing ini. Sebuah tempat di mana orang-orang sakit berada. Bau dari racikan obat, serta pewangi lantai yang tengah dipel petugas kebersihan di dekatnya cukup menyengat. Tubuhnya masih terasa lemas ditambah pening yang melekat ketika Kim memaksa untuk duduk. Pakaian yang dia kenakan hampir mengering, dalam sekejap dia telah teringat kejadian yang menimpanya beberapa saat lalu. “Di klinik. Akang hampir saja kehilangan nyawa di bendungan itu,” kata Sheilla. Dia pun mengambilkan sebotol air mineral untuk pria tersebut. “Sudah Ella katakan, jangan pernah berurusan dengan Ella. Sekarang begini jadinya, Ella hanya bisa bersyukur Akang masih selamat.” Kim terdiam sejenak. Dia berpikir keras kenapa musibah ini bisa terjadi? Padahal, sudah jelas sekali kalau kejadian tadi bukanlah sebuah kecelakaan, melainkan percobaan pembunuhan. Seseorang berusaha mencelakainya ... tapi siapa? Kim merasa tidak memiliki musuh, bahkan desa itu saja baru didatanginya hari ini. “Ini bukan sebuah kebetulan,” gumam Kim. “Maksud Akang apa?” “Tidak ... saya hanya sedikit tidak enak badan.” “Akang mau langsung pulang? Apa sudah bisa menyetir? Kalau belum, Sheilla minta bantuan orang untuk mengantar sampai ke rumah, ya.” Sheilla beranjak dari kursi, tapi tangannya lebih dulu ditahan oleh Kim. Pria yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Sheilla, menyadari bahwa pakaian gadis berambut hitam panjang itu juga basah. Suhu dingin juga meresap di tangan Kim ketika memegangnya. “Apa kau yang sudah menyelamatkan saya?” Sheilla buru-buru melepas tangan Kim, dia tertunduk dengan kedua pipi bersemu kemerahan. Sesekali matanya melirik ke arah bibir yang tengah berbicara, mana mungkin Sheilla lupa kalau itu anggota tubuh pertama yang tersentuh olehnya sore tadi. “Jawablah ....” “I-iya.” Sheilla hanya menjawab singkat. “Jadi itu adalah halusinasi.” Kim membatin, dia sedikit kecewa bahwa pertemuannya dengan Anita hanya bayangan saja. Karena postur tubuh Sheilla semuanya hampir menyerupai Anita, yang sedikit membedakan adalah warna kulitnya. Sheilla memiliki warna kulit putih, tapi sedikit lebih gelap. Mungkin karena terlalu banyak terkena sinar matahari. “Oh ....” “Cuma oh saja?!” Sheilla hampir berteriak keras kalau mulutnya tidak ditutup telapak tangan sendiri. Keterkejutannya berasal dari ekspresi datar Kim, padahal itu adalah ciuman pertama baginya. “Sebelum menyelamatkan saya, apa kau melihat seorang lelaki di pinggir bendungan itu?” “Enggak!” jawab Sheilla cepat dan sedikit kesal. “Ella membantu Akang karena ada beberapa gadis yang berteriak. Mereka bilang enggak sengaja mendorong Akang ke sana karena Akang berusaha menggoda mereka. Ah, Ella enggak menyangka ternyata Akang orang yang seperti itu. Bahkan Akang sama sekali enggak merasa bersalah pada Ella.” “Tunggu ... kamu bilang saya menggoda gadis?” tanya Kim heran. “Iya. Walaupun Akang itu tampan dan banyak uang, tapi jangan mempergunakan itu sama hal yang kurang baik. Gadis di desa ini masih menjaga nama baik desa dan keluarganya.” Sheilla sedikit mengutuk mulutnya yang menyebut Kim tampan. “Tapi saya tidak pernah menggoda siapa pun.” Napas Kim sedikit tersendat, pandangannya menyisir ke berbagai arah. Ada beberapa orang berlalu-lalang di sekitarnya ... tidak, apa ini sebuah jebakan? Pikiran pria tersebut mulai diracuni pertanyaan besar. Dia pun bergegas turun dari bed stretcher, lalu berlari kecil keluar klinik. Siapa tahu lelaki misterius itu membuntutinya sampai ke mari. Sialnya, tidak ada yang menyerupai pria yang dimaksud oleh Kim. “Akang, kenapa lari-lari? Kalau Akang mencari sesuatu Ella bisa bantu. Ella sudah hafal betul daerah sini, kok.” “Kau ... katakan yang sebenarnya. Apa semua musibah yang menimpa calon suamimu dulu adalah benar kutukan, atau perbuatan manusia yang tidak menginginkanmu menikah?” tanya Kim. Dia menggenggam erat tangan Sheilla untuk memastikan kebenarannya. Kalau ini benar kutukan, mungkin Kim akan memakluminya. Namun, lelaki yang berdiri di tepian bendungan setelah berhasil mendorongnya ke air itu dirasa nyata. Kim benar-benar tidak akan mengampuni itu. “A-apa? Ella enggak mengerti maksud Akang.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD