Nasib Buruk Sheilla

1867 Words
“Maaf, Kang. Ella enggak bermaksud mengatai Akang tukang tahu atau gedebong pisang, tapi Ella bingung harus memberi penjelasan apa ke nenek supaya percaya dan enggak memarahi Akang lagi,” kata Sheilla seraya memegang tangan Kim. Dia cemas pria tersebut marah padanya. “Hah, Akang?” Woo Jin kembali tertawa. Kali ini lebih keras karena mendengar sebutan yang tersemat pada ayahnya. “Cocok sekali jadi akang ... Kang Tahu,” ledeknya kemudian. “Eh, bukan begitu maksudnya—“ “Berhenti tertawa. Ayo, pergi dari sini.” Kim melepas pegangan gadis itu dan menuntun Woo Jin pergi menjauh darinya. Tanpa peduli sedikit pun pada teriakan Sheilla yang terus meminta maaf. “Akang, maafin Ella! Akang!” Dia pun masuk mobil dan menyalakan mesin, tapi Sheilla menyusul seraya mengetuk-ngetuk kaca mobilnya di luar. Kim berusaha tidak peduli, dia cukup risi dengan kecerewetan gadis itu sejak tadi. “Akang? Jadi Akang sudah memaafkan Ella, belum? Nanti Ella enggak bisa tidur kalau Akang masih marah,” kata Sheilla. Namun, Kim keburu menancap gas dan pergi. “Akang! Akang, maafin Ella dulu!” Melihat mobil Kim semakin menjauh, bibir Sheilla mengerucut. Padahal dia belum mendapatkan maaf dari pria itu. “Ih, kumaha sih. Kasep-kasep ambekkan,” gumam Sheilla. [Ih, bagaimana sih. Ganteng-ganteng suka ngambek] *** Kim memarkirkan mobilnya di tepi jalan dekat area persawahan. Sebab ternyata Bu Sarinah dan Pak Parman masih belum selesai bekerja. Sepasang suami istri yang berusia kurang lebih 60 tahunan itu tampak masih bersemangat untuk bekerja. “Nenek, Kakek!” teriak Woo Jin seraya melambaikan tangan ke arah Pak Parman yang tengah menyirami tanaman bawang merah. Di tempat ini, setiap tiga bulan sekali dalam setahun. Setelah panen padi, lahan persawahan akan ditanami bawang merah. Setiap hari mereka pergi ke sana untuk menyirami tanaman itu. Bu Sarinah yang berada di dekat suaminya segera beranjak dari tengah lahan dan mencuci tangan sebelum menghampiri cucunya. “Ujang! Akhirnya datang juga ke rumah nenek! Sudah dari tadi pagi nenek tunggu kalian datang ke sini,” kata Bu Sarinah sesampainya di tempat Kim. “Ih, Nenek kebiasaan. Namaku Woo Jin, bukan Ujang. Ujang lagi, Ujang lagi. Nenek suka begitu, ih!” protes Woo Jin yang membuat Kim dan Bu Sarinah tersenyum. “Ujang itu nama anak laki-laki yang ganteng, cocok sekali buat kesayangan nenek yang satu ini,” jawab Bu Sarinah. Kemudian melihat ke arah Kim. “Sudah lama datangnya?” “Baru saja. Tadi sempat datang ke rumah, tapi Ibu katanya ada di sini.” “Oh, begitu. Iya, pekerjaan ibu memang belum selesai. Paling sebentar lagi, masih banyak yang belum disiram.” “Kalau begitu, biar aku bantu—“ “Eh, jangan! Pakaian kamu nanti kotor, biar ibu sama bapak saja. Kalian tunggulah di saung dulu, sebentar lagi kami menyusul.” “Tapi, Bu—“ “Tidak apa-apa, Nak.” Bu Sarinah bersikukuh melarang Kim membantunya, sampai pria itu menyetujui. Dia pun berbalik arah hendak ke lahan bawang untuk melanjutkan pekerjaan. Namun, dua pasang mata itu dibuat terbelalak ketika melihat Woo Jin sudah menceburkan diri di tengah-tengah lahan bersama kakeknya. Tinggi air yang sepaha orang dewasa itu menjadi sepinggang di tubuh Woo Jin. “Appa! Ayo, turun sini!” teriak Woo Jin di sana. Napas Kim tertahan, dia ingin marah, tapi anak itu telanjur basah dan kotor. Sampai dia hanya bisa mengelus d**a dan kembali ke saung untuk menunggu mereka selesai. *** Karena terlalu bosan menunggu bersama cuaca cukup panas, Kim memutuskan pergi ke sebuah warung yang berada di pinggir desa tidak jauh dari tempatnya tadi. Warung ini adalah satu-satunya tempat yang menyediakan berbagai jenis makanan dan minuman cukup lengkap. Bahkan ada juga kulkas es krim. Dia pun membeli beberapa botol minuman dingin dan satu es krim cokelat, ditambah camilan kecil untuk Woo Jin nanti. “Mi! Mimi ...!” “Gadis itu lagi,” gumam Kim ketika mendengar teriakan keras dari luar warung. Kim ingat, gadis itu menyebut dirinya Sheilla. Sepertinya dia sedang mencari seseorang yang dipanggil Mimi, itu pasti sang nenek. “Teh, maaf. Lihat mimi aku enggak?” tanya Sheilla pada seorang wanita. “Maaf, teteh enggak lihat. Coba cari lagi ke gang lain.” Sheilla bertanya ke setiap orang yang dia temui di jalan, keringat sudah membasahi wajah dan lehernya. Langkahnya sedikit dipaksa, terlihat sekali kalau dia sudah mencari neneknya cukup lama. Sheilla sangat khawatir, bagaimana tidak. Sang nenek yang berusia hampir 90 tahun itu menghilang sejak dua jam lalu saat Sheilla sedang pergi mengantar pesanan jualannya. Apalagi ditambah neneknya sudah mengalami Alzheimer cukup parah dan tidak mengingat apa-apa lagi. Gadis berusia 22 tahun tersebut pun menangis, dia cukup lelah berjalan kaki dari rumahnya sampai ke ujung desa. Namun, perjalanan melelahkan itu belum membuahkan hasil juga. “Eh, Akang. Kita ketemu lagi,” sapa Sheilla saat berpapasan dengan Kim yang baru saja keluar dari warung. Dia menyeka sisa air matanya seolah tidak terjadi apa-apa. “Habis belanja, Kang?” Kim hanya mengangguk dan memberi seulas senyum tipis. “Oh, ya. Kalau begitu Ella pergi dulu, masih ada urusan. Tapi, Ella ingat masih punya hutang maaf ke Akang, kok. Nanti kalau kita ketemu lagi, Ella minta maaf lagi ke Akang, ya.” “Apa?” Kim mengernyit. Belum sempat bertanya lebih jauh, gadis itu sudah pergi. Sheilla kembali berteriak memanggil neneknya yang hilang entah ke mana. Pria tersebut masuk ke mobilnya hendak kembali ke tempat Woo Jin, tapi niatnya tertunda lagi ketika pandangannya bertemu dengan tubuh Sheilla yang sudah tergeletak di atas tanah. Reaksi Kim yang berada tidak jauh dari tempat Sheilla sangat cepat, beberapa orang juga datang menghampiri gadis itu dan memeriksa keadaannya. Namun, yang tercetak jelas adalah wajah lelah Sheilla di sana. Suhu tubuhnya pun tinggi ketika Kim berusaha membantu. “Bisa antar ke puskesmas dulu, Mas? Kasihan, sepertinya Ella lagi sakit,” kata si ibu pemilik warung. “Baiklah. Tapi, apa di sini ada keluarganya? Tolong segera hubungi supaya bisa menemaninya nanti.” “Enggak ada, Mas. Ella cuma tinggal berdua sama neneknya.” Mendengar itu, Kim segera mengangkat tubuh Sheilla tanpa bertanya lagi. Dia menuju satu-satunya tempat yang memiliki tenaga kesehatan. Kim sudah cukup hafal desa ini karena sering mengantar Bu Sarinah. Sesampainya di puskesmas, gadis itu masih belum siuman. Dokter jaga yang memeriksanya mengatakan kalau Sheilla terkena demam ringan dan kelelahan saja. Hanya tinggal menunggu dia siuman untuk mengantarnya pulang. “Kalau boleh tahu, Mas kenal di mana sama Ella?” tanya salah seorang wanita kepada Kim yang sedang membayar administrasi. “Saya tidak mengenalnya, hanya kebetulan lewat.” Wanita itu mengangguk. “Saya kira calon suami barunya lagi,” ujarnya kemudian. “Apa Mbak mengenalnya?” tanya Kim. Dia heran juga, karena setiap orang di desa ini hampir semuanya mengenal Ella. “Di desa ini, tidak ada yang tidak mengenal Ella dan Nenek Murti. Karena kutukan yang melekat pada Ella, semua orang harus mengenalnya untuk jaga-jaga,” jawab wanita tersebut. “Kutukan?” “Iya!” jawab wanita itu lagi menegaskan. “Ella itu sudah terkena kutukan tidak akan mendapat jodoh dengan lelaki mana pun. Walau dia cantik dan memiliki tubuh bagus, tapi setiap ada laki-laki yang dekat dengannya, pasti akan tertimpa kesialan. Dia sudah gagal menikah sebanyak 3 kali, calon mempelai laki-lakinya kalau tidak kecelakaan dan cacat, dia meninggal karena sakit. Bahkan yang terakhir, calon suaminya gila.” Kim terdiam menanggapi penuturan tersebut. Dia ingin tidak peduli dengan urusan orang lain, cukup membantunya sekarang, lalu pergi. Namun, dia juga bukan tipe pria yang buta keadaan. Melihat si gadis yang dibicarakan mereka sudah berdiri di dekat mereka, Kim segera menyelesaikan administrasi. Dia menyusul Sheilla yang berjalan lebih dulu keluar dari puskesmas dengan wajah sendu. “Tunggu—“ Sheilla menghindari pegangan Kim di lengannya. “Jangan dekat-dekat. Memangnya, Akang enggak takut tertimpa kesialan kalau bareng sama Ella?” “Apa begitu caramu berterima kasih?” Gadis itu baru berhenti melangkah, kemudian berbalik arah disertai wajah tertunduk. Dia sungguh malu berhadapan orang asing dengan cara seperti ini. Tangan Shieilla kembali tersentuh oleh Kim saat dipaksa menerima obatnya. “Terima kasih,” kata Sheilla singkat. Dia pun merogoh saku roknya untuk membayar tagihan puskesmas yang tadi dibayar Kim. Namun, uang yang dikeluarkan Sheilla hanya sebesar lima ribu rupiah. “Tidak perlu. Saya tidak menerima itu.” “Ini hutang, Ella enggak bisa mengabaikan kebaikan Akang sekarang. Tapi uangnya ketinggalan di rumah, kalau kita bertemu lagi pasti dibayar ... janji. Ella enggak pernah bohong,” kata Sheilla. Dia menoleh ke sana-kemari, menyadari hari semakin gelap dan neneknya belum ditemukan juga. “Sekali lagi, terima kasih banyak buat bantuannya. Ella harus pergi lagi mencari nenek, Ella khawatir.” Melihat gadis itu berbalik arah dan pergi lagi dengan keadaan sakit. Sekali lagi, Kim merasa ini bukan tanggung jawabnya. Sheilla adalah orang lain, yang baru ditemuinya tadi siang. Berpikir semacam itu tampaknya bukan sebuah kesalahan. Dia pun memasuki mobil hendak kembali ke tempat Woo Jin ... ya, dia harus melakukan itu! Kim meyakinkan diri saat mobilnya melewati Sheilla yang berjalan sangat pelan. “Bodoh sekali,” gumam pria tersebut. Entah kenapa dia malah menginjak rem dan berhenti sepenuhnya sampai Sheilla berhasil menyusul. Gadis itu tidak menoleh sama sekali sebenarnya, tapi Kim yang cukup risi dengan keteguhan niatnya. “Masuklah ...,” kata Kim saat dia menyusul Sheilla di depan. Gadis berambut hitam panjang itu mengernyit. “Kenapa, Kang?” “Kamu mau mencari nenekmu, ‘kan? Jadi masuklah, saya akan mengantarmu.” “Ah, enggak usah, Kang. Ella bisa cari sendiri, enggak mau merepotkan siapa pun!” kata Sheilla tegas menolak tawaran Kim padanya. “Apa kamu yakin bisa menemukannya dengan berjalan selambat itu? Saya yakin nenekmu sudah pergi jauh nanti malam.” Sheilla berpikir sejenak, dia menoleh ke sana-kemari khawatir akan ada yang menyaksikan ini dan menyebar gosip baru tentangnya. Namun, kekhawatiran terhadap sang nenek lebih besar tentunya. Bagaimana kalau yang dikatakan pria tersebut benar? Sheilla tidak bisa membayangkan kehilangan satu-satunya anggota keluarga. Dia pun memutuskan masuk mobil milik Kim walau ragu-ragu. “Baiklah. Sebelum mengantarmu, kita ke tempat anak saya dulu.” “I-iya. Terserah Akang saja, Ella sudah cukup beruntung dapat pertolongan.” Sebelum meninggalkan puskesmas, gawai Kim berdering. Sebuah panggilan masuk dari Rin di layar datar tersebut. “Ya, ada apa?” tanya Kim. “Kamu masih belum kembali? Ini malam minggu. Ayo, kita pergi jalan-jalan. Bukankah kamu sudah berjanji?” Kim menoleh ke arah Sheilla sebentar, dia lupa kalau sudah membuat janji dengan Rin bahwa mereka akan pergi ke sebuah pameran di kota. Walau begitu, dia juga tidak bisa membatalkan pertolongan untuk Sheilla sekarang. “Maaf, Woo Jin ingin menginap di rumah neneknya. Aku tidak bisa menolak,” jawab Kim pada akhirnya. “Hmh, kamu mengabaikanku lagi. Ya, sudahlah. Aku memang selalu kalah oleh anakmu.” “Bukan begitu maksudku—“ “Akang, itu di belakang ribut sekali. Mobil Akang kayaknya menghalangi jalan. Maju dulu sedikit biar mereka diam,” kata Sheilla ketika mendengar klakson mobil dari arah belakang. “Itu siapa?” tanya Rin begitu cepat setelah mendengar jelas suara Sheilla. “Bukan siapa-siapa. Hanya orang lewat, aku mau menyusul Woo Jin dulu. Nanti kuhubungi lagi.” Kim mematikan telepon sebelum mendapat pertanyaan lebih jauh dari gadis itu. Suara klakson di belakang mereka semakin keras, sampai dia harus segera melajukan kendaraan ke tempat tujuan tanpa ada pertanyaan lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD