Kepergian Mimi ....

2250 Words
“Kau ... katakan yang sebenarnya. Apa semua musibah yang menimpa calon suamimu dulu adalah benar kutukan, atau perbuatan manusia yang tidak menginginkanmu menikah?” tanya Kim. Dia menggenggam erat tangan Sheilla untuk memastikan kebenarannya.  “Akang tolong jangan mengada-ada, kita ini baru ketemu sehari. Tapi Akang sudah berpikiran buruk begitu. Ella enggak suka, mending Akang urus saja urusan Akang sendiri. Ella mau pulang sama Mimi.” Sheilla berkata dengan nada kecewa, dia melepaskan pegangan tangan Kim. Kemudian melangkah menuju mobil Kim yang terparkir tidak jauh dari Klinik. Kim menghela napas pelan, mungkin saja sekarang memang bukan waktunya untuk bertanya langsung kepada Sheilla tentang siapa yang berdiri di pinggir bendungan tadi. Kim merasa butuh sebuah rencana agar orang itu kembali muncul, dan membuktikan kepada semua orang bahwa tidak ada yang namanya kutukan Ella. Kim pun melangkah menghampiri Sheilla yang tengah berusaha membangunkan neneknya dalam mobil. “Baiklah, baiklah. Saya bersalah ... maaf. Tidak seharusnya saya berkata seperti itu terhadap kamu,” ujar Kim. Sheilla masih merengut, dia tidak menjawab perkataan Kim walau sempat melihat ke arah pria tersebut. “Mimi, Mimi bangun. Ini Ella, kita pulang, yu.” Sheilla masih berusaha membangunkan Nenek Murti, tetapi tidak ada respons. “Jangan dibangunkan, biarkan nenekmu beristirahat di sana. Saya yang akan mengantarkan kalian pulang,” ujar Kim menawarkan bantuannya. “Enggak perlu.” “Tapi di sini sepertinya tidak ada angkutan umum yang lewat lagi. Kalian akan pulang naik apa?” “Apa saja! Asal enggak sama Akang yang suka berpikiran buruk—“ Sheilla belum sempat menyelesaikan perkataannya, dia mendadak bersin di hadapan Kim dan menggigil kedinginan. Pakaian tipisnya menyerap udara dingin di sekitarnya. “Sepertinya kau terserang flu.” “Enggak perlu pedulikan Ella!” Sheilla tetap berkata sinis. Kim pun membuka pintu mobilnya untuk mengambil sebuah jaket yang selalu menjadi persediaan di saat tidak terduga seperti ini. Sesampainya di dekat Sheilla, Kim memakaikan jaketnya di tubuh gadis itu hingga merasa hangat. “Obatmu yang tadi siang masih ada, ‘kan? Kita harus cepat pulang agar kau dan nenekmu bisa beristirahat di rumah,” ujar Kim penuh perhatian kepada Sheilla. Sheilla yang semula emosi, menjadi luluh seketika. “Kenapa Akang tiba-tiba baik sama Ella?” “Apa saya terlihat seperti orang jahat di matamu?” Sheilla menggelengkan kepala pelan. “Baiklah, sekarang kita harus pulang. Hari juga sudah malam,” ujar Kim seraya membukakan pintu mobil untuk Sheilla. Gadis itu terlihat masih ragu, tetapi akhirnya menurut juga. ***  Dalam perjalanan, Kim sesekali melihat ke arah Sheilla di sampingnya. Kim merasa gadis ini penuh dengan misteri, terutama misteri kutukan yang melekat padanya. Kim sangat yakin, tidak ada kutukan di dunia ini. Yang ada hanya orang-orang yang terlalu banyak mengeluh dan mudah terpengaruh oleh suatu berita. Kebanyakan berita-berita tersebut bernada negatif, dan menyebabkan kerugian kepada korban. Kim bisa melihat seulas kesedihan di wajah cantik Sheilla yang hanya menghadap ke arah luar kaca mobil ... tunggu. Apa Kim baru saja mengakui bahwa Sheilla cantik? “Tidak mungkin.”  “Apa? Apa Akang mengatakan sesuatu?” tanya Sheilla yang langsung menoleh karena ucapan pelan Kim. “Tidak ada,” jawab Kim. Dia pun kembali fokus menyetir, mengabaikan perasaan sesaatnya tadi. Kim merasa tidak seharusnya dia begitu karena sudah ada Rin sekarang. Beberapa waktu kemudian, mereka sampai di rumah Sheilla. Kim keluar dari mobil dan menyaksikan rumah gadis itu untuk beberapa detik.  Ini seperti bukan rumah yang layak dihuni oleh manusia. Sebuah gubuk berdinding bilik kayu itu sebagian kecil sudah memiliki lubang, kayu-kayu penyangga yang rapuh, dan atap yang bisa bocor jika terkena hujan. “Apa dia serius?” Kim heran. Di zaman yang sudah serba modern ini masih saja ada orang yang keadaan ekonominya di bawah rata-rata. Seharusnya Nenek Murti dan Sheilla berhak mendapatkan bantuan sosial atau bedah rumah untuk tinggal dengan layak. “Mimi! Mimi! Mimi, bangun!” Tiba-tiba teriakan Sheilla terdengar nyaring dan bernada panik. Kim langsung menghampiri ke arah sumber suara. Sheila tampak menangis di kursi belakang yang diduduki neneknya, sebab tidak berhasil membangunkan Nenek Murti. “Akang, tolong. Kenapa nenek Ella enggak mau bangun? Nenek Ella kenapa?”  Kim pun langsung membuka pintu mobil di samping Nenek Murti untuk memeriksa kondisinya. Baru setengah jam berlalu, seharusnya tidak terjadi apa-apa. Namun, pemeriksaan denyut pada titik nadi Nenek Murti tidak ditemukan, embusan napas pun menghilang. Kim pun melihat ke arah Sheilla yang sejak tadi menangis. “Kenapa? Kenapa Akang melihat Ella begitu?” tanya Sheilla. “Nenekmu sudah tiada.” “Ha?” Pandangan Sheilla mendadak kosong, dia menatap Kim tidak percaya. “Akang jangan bohong! Mimi enggak mungkin tega meninggalkan Ella sendiri!” Sheilla mendorong tubuh Kim dari dekat neneknya. “Mimi! Mimi, jangan tinggalkan Ella! Ella sama siapa kalau Mimi pergi?! Cuma Mimi yang Ella punya.” Kim terdiam melihat Sheilla menangis sesenggukan sambil memeluk tubuh tidak bernyawa Nenek Murti. Sepertinya dalam perjalanan tadi mereka merasa baik-baik saja, siapa sangka kejadian seperti ini akan terjadi. ***  Keesokan harinya para warga datang ke rumah Sheilla untuk membantu proses pemakaman Nenek Murti. Gadis malang itu masih menangis walau kedua matanya sudah sembap, sejak semalam dia tidak tidur dan memilih berada di dekat jenazah Nenek Murti sebelum dikuburkan.  Kim dan Woo Jin pun datang, tidak terkecuali mertuanya juga ikut menghadiri pengurusan jenazah almarhumah Nenek Murti. Melihat kedatangan Kim, para warga berisik-bisik entah membicarakan apa. Kim membiarkan semua itu karena memang dia datang ke tempat ini ada tujuannya, yaitu memancing pria misterius yang dia lihat kemarin sore. Pria itu pasti datang hari ini, sebab dia mengenal Sheilla. “Akang ....” Sheilla berdiri menyambut kedatangan Kim. “Saya turut berduka cita atas meninggalnya nenekmu, Sheilla. Semoga kamu bisa mengikhlaskannya agar nenekmu bisa pergi dengan tenang,” ujar Kim. Untuk pertama kalinya dia menyebut nama Sheilla, itu pun bukan Ella dan memanggil nama sebenarnya. Mungkin dia satu-satunya orang di sini yang memanggil Sheilla dengan nama lengkapnya. “Siapa yang bisa ikhlas menerima kepergian orang yang paling berarti buat kita hanya dalam satu hari, Kang? Apalagi Mimi adalah satu-satunya keluarga yang Ella punya. Ella enggak tahu ke depannya Ella harus apa,” jawab Sheilla, dia menangis lagi seraya tertunduk menyembunyikan wajah sedihnya dari Kim. “Jangan sedih lagi, Nuna.” Woo Jin bersuara untuk Sheilla. “Nuna? Namaku bukan Nuna,” jawab Sheilla polos. “Anak saya sedang memanggilmu kakak dalam Bahasa Korea.” “Oh, Ella kira apa. Maaf, Ella enggak tahu.” Sheilla menyeka air matanya sendiri demi melihat ke arah Woo Jin. “Makasih, ya.” Woo Jin mengangguk, kemudian menggenggam tangan Sheilla. “Nanti Neneknya Nuna pasti ketemu sama mamaku, mamaku juga pergi, tapi aku enggak menangis karena aku yakin mama sudah bahagia,” ujarnya. “Apa?” Hati Kim tersentuh, bukan hanya karena ucapan polos Woo Jin saja, tetapi untuk pertama kalinya Woo Jin mau berbicara dengan seorang wanita. Biasanya anak itu akan marah, atau setidaknya berbuat jail kepada wanita yang berada di sekitar Kim. Sheilla bertekuk lutut di hadapan Woo Jin, air matanya kembali keluar karena ternyata anak ini sudah kehilangan ibunya. “Ibu kamu pasti senang melihat kamu tumbuh jadi anak yang baik seperti ini. Kakak juga akan seperti kamu dan berhenti menangis, tapi—“ “Tapi Nuna masih menangis.” Woo Jin memeluk Sheilla dengan kedua lengan kecilnya yang melingkar di tengkuk gadis itu. “Appa selalu memelukku kalau lagi menangis, dan aku langsung berhenti menangis. Jadi Nuna enggak boleh kalah sama aku, dong. Masa sudah besar masih menangis?” Sheilla malah semakin sesenggukan mendapat pelukan dari seorang anak yang baru ditemuinya. Dia sedih, tetapi lebih menyedihkan lagi jika sampai dia tenggelam terlalu dalam. Anak ini bahkan jauh lebih tegar, dan kehidupan juga akan terus berlangsung ke depannya. “Kakak tidak akan menangis lagi,” jawab Sheilla seraya melepaskan pelukan Woo Jin.  “Bagus, deh. Nuna lebih cantik kalau berhenti menangis.” Sheilla hanya tersenyum tipis, sampai dia memastikan air matanya benar-benar mengering. Dia pun mencoba menegakkan tubuh kembali, di sekelilingnya ada cukup banyak orang. Sumbangan-sumbangan uang dan beras dari para pelayat mengalir, mereka begitu tahu kalau Sheilla tidak memiliki banyak uang untuk biaya pemakaman. Ini begitu menyedihkan bagi Sheilla dari segala kemalangan yang pernah menimpanya. Sementara itu, Kim sama sekali tidak melihat siapa pun lelaki yang dapat dia curigai sebagai pelaku kemarin. Semua orang tampak seperti warga kebanyakan, tidak ada satu pun yang paling mencolok dari mereka. “Nak, apa kamu akan langsung pulang sekarang? Mumpung matahari masih belum tinggi, dan kalian tidak akan kepanasan di jalan,” ujar Bu Sarinah sekaligus mengingatkan Kim tentang rencana kepulangannya hari ini. “Jangan pulang dulu, Pa. Nanti saja pulangnya kalau sudah dari makam, boleh nggak?” ujar Woo Jin. “Loh? Kenapa? Bukannya kemarin kamu meminta pulang cepat?” tanya Kim. “Tidak jadi. Aku mau di sini dulu sebentar,” ujar Woo Jin kembali mengutarakan keinginannya. “Boleh kan, Pa? Sebentar lagi saja sampai pemakamannya selesai.” Kim berpikir sebentar, dia bukan hanya melihat permintaan sederhana Woo Jin. Nyatanya wajah murung Sheilla cukup mengganggunya. Karena kemarin gadis itu telah menyelamatkan nyawanya, Kim merasa dia perlu membalas kebaikan Sheilla sekarang. “Baiklah, kita di sini sampai pemakamannya selesai.” Akhirnya Kim memberikan izin kepada putranya. Woo Jin kelihatannya puas sekali degan izin yang diberikan Kim, hingga proses pemandian hingga pemakaman jenazah selesai dilaksanakan dengan baik. Mereka masih setia menemani Sheilla. Gadis itu memang sudah tidak menangis lagi, mengering air matanya tergantikan dengan tatapan kosong ke arah pusara sang nenek. Satu tangan Sheilla pun mengusap pelan nisan yang bertuliskan nama neneknya di sana. Kim bisa melihat betapa hancurnya hati gadis itu walau Sheilla tidak berkata banyak. Kim tidak perlu lagi mendengar berita orang, sebab yang terlihat nyata adalah orang yang berjongkok di samping pusara Nenek Murti. Dialah seorang gadis yatim piatu, dengan segala keterbatasan ekonomi, pengalaman pahit tentang cinta, juga perjuangan untuk bertahan dari ganasnya kehidupan. “Sekarang Ella harus bagaimana, Mi? Ella hilang arah, hilang pegangan, ke mana Ella harus berlabuh jika sudah lelah menghadapi semuanya? Cuma Mimi yang Ella punya, tapi kenapa Mimi malah pergi meninggalkan Ella sendirian?” Gadis itu berkata lirih, tapi tetap terdengar ke telinga Kim. Seorang wanita bernama Asti di sebelahnya pun ikut menemani Sheilla di sana, berada di sampingnya dan mengusap bahu sang gadis. “Sabar, Ella. Ini sudah takdir yang tidak bisa dihentikan oleh siapa pun. Kamu yang kuat, Mimi sudah tenang bersama almarhum kedua orang tuamu.” “Ella Cuma masih nggak menyangka, Bi. Kenapa harus begini? Sekarang Ella sendirian, nggak tahu lagi harus berbuat apa ke depannya. Dulu Ella bekerja dan berusaha membahagiakan Mimi, karena memang Cuma itu yang bisa bikin Ella bahagia.” Sheilla menahan tangis lebih kuat, sebab tidak ada lagi alasan baginya untuk mengukir kebahagiaan. Hidup sebatang kara tanpa siapa pun adalah sebuah musibah sekaligus ujian terberat baginya. “Iya, bibi mengerti. Sekarang kita pulang dulu saja, ya. Tenangkan diri kamu di rumah, itu lebih baik daripada kamu menangis di sini, Ella.” Wanita itu menuntun Sheilla untuk berdiri. Dengan pandangan yang terus mengarah ke makam Nenek Murti, air mata Sheilla kembali membuncah. Dia pun tidak bisa berdiri tegak, hingga hampir terjatuh. Beruntung, Kim yang berdiri di belakangnya sigap menangkap tubuh gadis itu. Sheilla terkejut ketika melihat siapa orang yang memegangi tubuhnya bukan Bi Asti. Kedua matanya terbulat sempurna beberapa detik sebelum Kim mendadak melepaskan pegangannya hingga Sheilla benar-benar terjatuh ke tanah. “Aduh!” Sheilla merintih kesakitan di tanah sambil memegangi pinggangnya. “Kenapa Akang lepas pegangannya, sih?!” tanyanya kemudian kepada Kim yang bahkan tidak menolongnya lagi. Dia pun kembali berdiri berkat bantuan Bi Asti, dan seketika menatap sinis ke arah Kim. Air matanya lagi-lagi mengering, teralihkan oleh rasa kesal. “Apa kamu baik-baik saja?” tanya Bi Asti. “Tadi Ella sempat sedikit pusing, tapi nggak jadi. Malah sakit pinggangnya,” jawab Ella. “Masih sakit ya?” tanya Woo Jin yang juga masih berada di sana. “Sedikit.” “Maafin Appa, ya. Appa memang suka iseng, apa perlu dibawa ke dokter?” “Nggak perlu, Cuma sakit sedikit saja. Nggak perlu dibawa ke dokter. Sekarang kakak mau pulang, kalian juga pulang. Makasih karena sudah datang sampai ke sini,” ujar Sheilla. Dia pun melangkah pergi meninggalkan Kim dan juga Woo Jin bersama Bia Asti—tetangga yang tinggal tidak jauh dari rumahnya. “Appa, kok nggak minta maaf tadi?”  Woo Jin bertanya ketika dia dan Kim mulai melangkah menuju mobil mereka yang terparkir di pinggir jalan besar. Anak itu mendongak, menatap sang ayah bersama kernyit di kening, heran dan cenderung marah terhadap sikap Kim barusan. “Appa sudah menjatuhkan Nuna, kenapa malah diam saja? Kalau aku yang usil ke orang disuruh minta maaf.” Woo Jin berbicara lagi. “Iya, iya. Nanti Appa minta maaf sama dia.” Sejenak Kim melihat Sheilla yang mulai menghilang dari pandangan, dia tahu kesalahannya. Tapi juga tidak bisa mengakui kalau dia juga sangat terkejut, respons tubuhnya menangkap Sheilla begitu cepat. Juga respons sesudahnya yang mendadak melepas pegangan karena tidak bisa bertahan melihat tatapan Sheilla padanya. Kedua mata bulat besar dengan lensa hitam pekat membuat Kim teringat kembali kepada Anita. Sangat langka dia menemukan sepasang mata seindah milik Anita lagi, satu hal pertama yang menarik cinta dalam diri Kim muncul untuk wanita itu. Sesaat setelah Kim dan Woo Jin masuk mobil. Mereka melihat Sheilla bertemu dengan seorang pemuda berpakaian begitu rapi. Pemuda yang mengenakan motor tersebut berbicara sebentar dengan Sheilla, sebelum gadis itu menaiki jok belakang motor di hadapannya. Tidak tampak wajah pemuda itu, sebab arah mereka berlawanan. Namun, Kim jadi penasaran kembali, apa dia orangnya? Atau, pemuda itu adalah calon suami Sheilla yang selanjutnya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD