bc

My Baby CEO

book_age18+
3.3K
FOLLOW
23.8K
READ
love after marriage
arrogant
goodgirl
journalists
drama
sweet
female lead
city
realistic earth
like
intro-logo
Blurb

"Tubuhmu itu benar-benar candu untukku, Dinda. Aku selalu ingin menghabiskan malam bersamamu."

Bingung dengan siapa yang sudah menghamilinya Dinda terus mencari tahu kebenaran tentang siapa ayah dari janin yang dikandungnya.

Sampai akhirnya, dia bertemu dengan Firdaus. Pria yang mengaku sebagai ayah dari janin yang dikandungnya. Pria yang bukan hanya memberikan cinta, kekayaan, perhatian, dan juga kenikmatan, tetapi juga menorehkan luka yang begitu dalam saat ternyata sebuah kenyataan terkuak hingga membuat Dinda merasa dibohongi untuk kedua kali.

Kebohongan yang lebih menyakitkan dari apa yang dilakukan Arga, calon suaminya yang tega menjualnya demi sebuah jabatan dan uang.

Dinda merasa Firdaus hanya memanfaatkan tubuhnya sebagai penghangat ranjangnya setiap malam hingga ia pun mulai merencanakan sesuatu untuk membalas rasa sakit hatinya.

Bagaimana akhir cerita Dinda dalam pembalasan dendamnya? Sebenarnya siapa yang telah menghamili Dinda jika ternyata pria itu bukanlah Firdaus?

Follow IG: ekapradita_87

chap-preview
Free preview
Anak Siapa Ini?
Selamat membaca! Sebuah tamparan keras terdengar setelah menghantam sebelah pipiku. Tamparan yang diberikan oleh ibu Sarah yang tengah berdiri di depan pintu rumah sambil menggenggam sebuah koper yang aku dapat lihat jika itu adalah koperku. Ibu Sarah lantas mendorong koper itu menuruni anak tangga di teras rumah setelah menabrak tubuhku dengan kasar. Membuatku seketika limbung dibuatnya. "Ternyata kamu masih memiliki wajah untuk kembali ke rumah ini! Nama baik keluarga saya telah tercoreng karenamu!" Ibu Sarah menunjuk hidungku dan berteriak dengan keras setelah menghempas koperku begitu saja ke halaman rumah. "Pergi sejauh-jauhnya dari hidup saya dan jangan pernah sekalipun kamu berpikir untuk datang lagi ke rumah saya!" Perintah itu sekali lagi membuat jiwaku terguncang. Belum hilang rasa sakit akibat tamparan keras itu, kini kata-kata dari wanita itu benar-benar meluruhkan air mata yang seketika menetes membasahi kedua pipiku. Aku tahu betul jika memang Ibu Sarah tidak pernah menyukaiku. Hal itu dipicu karena memang aku dan Arga belum menikah, walau kami sudah pernah merencanakan pernikahan itu. "Bu ...." Dengan terbata aku memanggil calon ibu mertuaku. Namun, bukan belas kasihan yang aku dapat darinya. Melainkan jawaban yang lebih menyakitkan dan itu semakin melukai hatiku. "Jangan berkhayal! Memang siapa ibumu? Saya tidak pernah mengakui kamu sebagai calon menantu saya, kamu itu bukan siapa-siapa di rumah ini! Sekarang saya minta kamu pergi dari sini! Cepat!" Teriakan itu terdengar lantang menggema di telingaku. "Tidak mau. Aku tidak akan pergi dari rumah ini, Bu. Aku ingin bertemu dengan Arga dulu. Lagi pula aku adalah calon istri dari putra Ibu, tapi kenapa Ibu tega sekali mengusirku?" Suaraku semakin terdengar lirih. Air mata tak dapat lagi kubendung untuk terus jatuh membasahi wajahku. Namun, sorot mata yang sejak tadi tajam melihatku itu, tetap tak berubah sedikit pun. Menunjukkan kebencian yang begitu besar padaku. “Ingat ya, Dinda! Kamu itu baru jadi calon istri Arga. Jadi jangan pernah bermimpi bahwa saya akan menerimamu sebagai menantu saya. Sekarang kamu pergi karena saya tidak menginginkan kamu ada di sini!” Tubuh Sarah yang lebih tinggi dan besar, kini sudah kembali berdiri di depan pintu. Menghalangi saat tubuhku ini terus merangsek masuk ke dalam rumah. Aku bahkan tidak bisa melihat apakah Arga ada di dalam dari celah-celah pintu. "Tolong minggir, Bu! Aku hanya ingin bertemu dengan Arga." Permintaan sederhanaku hanya ditanggapi dingin oleh calon ibu mertuaku yang masih bergeming di depan pintu. Ia malah semakin erat menggenggam sisi kiri dan kanan pintu agar aku tetap tak bisa menerobos masuk ke dalam rumah. Semakin amarahku meluap, pikiranku terus meminta agar aku tetap bersabar. Terlebih saat ini aku sedang berhadapan dengan wanita yang memang seharusnya aku hormati. Betapa kurang ajarnya aku jika sampai membalas setiap perlakuan kasarnya padaku. Maka itu, aku hanya bisa diam, walau sesekali aku masih coba mendesaknya agar dapat masuk ke dalam rumah. "Tapi aku sama sekali tidak mendengar suara Arga di dalam, Bu. Apa dia tidak ada di rumah? Apa dia sedang ada perjalanan bisnis ke luar kota?" tanyaku penasaran dengan keberadaan Arga. "Memangnya kenapa? Jika dia ada di luar kota, kamu bisa pergi dengan pria lain! Kamu itu tadi sengaja, kan? Mengenakan topi agar tidak ada satu orang pun yang mengenalimu di luar sana!" Ibu Sarah memberi isyarat, mengingatkan tentang kepergianku hari ini ke rumah sakit. "Bu, tolong dengarkan penjelasan saya! Ibu tidak bisa memfitnah saya seperti itu." "Saya memfitnahmu? Sekarang saya tanya, apakah hari ini kamu pergi ke rumah sakit dan menemui dokter kandungan?" Seketika aku pun terdiam. Saat itu, aku benar-benar bingung bagaimana ia tahu jika hari ini aku pergi ke rumah sakit. "Kamu tidak perlu menjawabnya! Jika tadi saya tidak melihat dengan mata kepala sendiri, mungkin saya tidak akan tahu. Kamu ini memang tidak tahu malu, putra saya belum pernah menyentuh kamu, tetapi kamu sudah hamil duluan. Pria mana yang sudah menaruh benih dalam perut kamu itu? Dasar w************n!" Bersamaan dengan itu, tiba-tiba kilatan petir terdengar keras di langit. Membuat Ibu Sarah berteriak ketakutan. "Apa kamu dengar itu? Tuhan pun benar-benar marah dengan semua yang kamu lakukan! Kamu ini memang wanita yang tidak tahu malu, kamu ingin menikah dengan putra saya, tapi kamu hamil anak pria lain!" Ibu Sarah mendorongku lagi, kali ini lebih kuat hingga aku terjatuh ke lantai. Tanpa melihat kondisiku, ia langsung menutup pintu dengan membantingnya sangat keras. "Kenapa semua jadi seperti ini? Kenapa Ibu Sarah tidak mau sedikit pun mendengar penjelasanku?" gumamku coba bangkit dari posisiku sambil menahan rasa sakit pada kedua kakiku yang terbentur lantai. Saat itu akan turun hujan, langkah kakiku telah sampai di anak tangga yang mulai aku tapaki menuju halaman rumah. Aku dapat melihat kilatan petir masih menghiasai langit, disertai dengan suara-suara letupan yang menggema. Pertanda bahwa sebentar lagi rintik hujan akan segera datang untuk berpesta. Sementara aku, hanya merintih dalam hati sambil membiarkan air mataku terus jatuh tiada henti. Apa yang dikatakan Ibu Sarah tak dapat aku bantah. Faktanya semua itu benar. Aku memang hamil. "Ya Tuhan, ke mana aku harus pergi? Kota ini terlalu besar untukku? Aku tidak punya siapa-siapa di sini?" gumamku coba menguatkan langkah, walau kedua kakiku terasa lemah untuk terus menyeret koperku yang berat ini. Dalam setiap langkahku, aku terus mengingat tentang hubunganku dengan Arga. Aku dan pria itu memang saling jatuh cinta selama satu tahun ini, tapi kami masih belum meresmikan hubungan kami, walau Arga berencana akan menikahiku dalam waktu dekat. Saat itu, aku memang terlalu polos. Ketika bulan ini menstruasiku terlambat, aku tidak peduli akan hal itu. Sampai akhirnya, karena penasaran dengan kondisiku, aku pun memutuskan pergi ke rumah sakit untuk memeriksanya. Hasilnya sungguh mengejutkan. Ternyata aku hamil. Aku sendiri tidak tahu bagaimana semua ini bisa terjadi padaku. Bagaimana mungkin benih ini bisa ada dalam perutku, sementara aku dan Arga memang belum pernah melakukan hal yang teramat jauh seperti hubungan suami-istri di atas ranjang. Aku ini juga bukan hermaprodit yang bisa hamil sendiri. Di tengah pikiranku yang semakin kacau, suara petir kian bersahutan bersamaan dengan derasnya hujan yang mulai membasahi tubuhku. Aku tidak bisa berlari dengan membawa koperku yang berat ini. Melangkah ke mana pun di sekelilingku tampak hujan dan penuh kabut. Tak ada tempat berteduh yang dapat melindungiku. Aku pun terus melangkah dengan perlahan di jalan seperti orang gila di bawah hujan yang terus mengguyur tubuhku. "Ya Tuhan, kenapa semua ini harus terjadi padaku?" Isak tangisku semakin tak tertahan. Ditambah rasa dingin yang kian membuat tubuhku menggigil. Bahkan suara gemeletuk dari barisan gigi putihku pun semakin melengkapi kondisiku saat ini. Benar-benar kedinginan dan membuatku hampir menyerah untuk terus melangkah. Di tengah keputusasaanku, tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti tepat di sampingku. Tak lama kemudian, seorang pria berjas turun dari mobil, memegangi payung dengan motif kotak-kotak kuning yang cerah. Dia terlihat berjalan ke arahku. Setelah tiba di dekatku, pria itu pun langsung memayungiku dan menatap sambil tersenyum: "Nona Dinda?" Aku hanya dapat mengangguk dengan tatapan kosong. Aku sama sekali tidak mengenalinya, tapi pria itu benar memanggil namaku. "Siapa kamu?" tanyaku penasaran. "Silakan masuk ke mobil, Nona!" Dia menunjuk ke mobil dengan sopan, "Lagi pula hujan di luar terlalu deras tidak baik untukmu," sambung pria itu menjelaskan situasi yang ada di sekitar kami. "Tapi saya tidak mengenalmu," jawabku masih merasa bingung. Walaupun aku coba mengingat dengan memutar otak sangat keras, tetap saja aku tidak bisa mengenalinya. "Saya tahu kamu tidak mengenal saya. Jangan khawatir, saya bukan orang jahat." "Apakah orang jahat mengatakan mereka jahat?" timpalku dengan pertanyaan apa adanya. Dia pun tersenyum dan menatap tubuhku yang tengah menggigil kedinginan dan basah kuyup. "Kondisi kamu seperti ini sekarang, menurutmu apa yang saya inginkan darimu?" Aku tetap tidak peduli dengan semua perkataannya. Bagiku yang terpenting aku tidak menerima tawaran pria asing itu untuk masuk ke dalam mobilnya. Aku pun mulai melanjutkan langkahku dengan kembali menyeret koper. Berjalan terus ke depan, tanpa memedulikan pria yang ternyata masih mengikutiku dengan payungnya. Tak hanya pria itu, mobil mewahnya juga melaju perlahan mengiringi langkahku. “Nona Dinda, apakah Anda hamil?” Pertanyaan itu seketika menghentikan langkahku dan membuatku mulai menatapnya dengan heran. "Apa, semua orang tahu tentang kehamilanku?" gumamku bertanya pada diri sendiri, mencerna keterkejutan dari apa yang aku dengar. Keterdiamanku disambut dengan senyuman singkat oleh pria itu. Dia terus menatapku dengan wajahnya yang benar-benar asing di mataku. "Apakah kamu tidak ingin tahu, siapa ayah dari anak itu?" Mendengar pertanyaan dari pria itu, aku semakin tersentak. Mulutku bungkam seribu bahasa dengan beragam pertanyaan yang mulai mendesak pikiranku. "Apakah dia tahu siapa ayah dari anak yang sedang aku kandung ini?" batinku semakin dibuat bingung akan maksud dari pria itu. Setelah berpikir beberapa detik, logikaku masih sulit untuk memahami semua ini. Aku pun tak begitu saja percaya dengan semua perkataannya. "Saya saja tidak tahu tentang hal itu. Bagaimana Anda bisa lebih tahu dari saya?" "Kamu bisa ikut dengan saya. Lagi pula, bukannya kamu juga tidak punya tujuan untuk pergi saat ini?" Aku terdiam sejenak. Berpikir keras, coba meyakinkan diri untuk menerima tawarannya. "Mungkin tidak ada salahnya aku ikut dengan dia. Saat ini, aku benar-benar ingin tahu siapa ayah dari anak yang aku kandung ini dan bagaimana mungkin aku bisa hamil? Aku harus menemukan jawaban itu. Setidaknya aku tidak akan lagi penasaran setelah mengetahuinya semuanya," batinku terus bergelut dengan keraguan yang membuat langkahku terhenti. Lamunanku pun buyar seketika di saat pria itu mengambil alih koperku dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil yang sudah dibuka oleh sang sopir. Setelah pintu terbuka, pria itu mempersilahkanku masuk dengan seulas senyum di wajah. Sangat sopan, pikirku. Membuat rasa takutku akan pria asing ini sedikit berkurang. "Baiklah, saya masuk." Aku pun melangkah ke dalam mobil yang mulai terasa hangat. Pakaianku sangat basah hingga membuat mobil mewah itu penuh dengan air, tetapi pria itu tidak keberatan sama sekali. Ia malah memberikanku secangkir air panas sambil tersenyum. "Ambillah, Nona harus tetap hangat! Apalagi Nona sedang hamil." Aku pun memegang gelas itu, tetapi tiba-tiba ketakutanku kembali muncul hingga membuatku ragu untuk meminumnya. "Jangan-jangan air ini sudah dicampur obat tidur? Sebaiknya aku tidak meminumnya," gumamku yang hanya memegangi gelas itu tanpa meminumnya. Coba menghangatkan telapak tanganku yang sudah keriput karena terlalu lama kedinginan di terpa guyuran hujan. Mobil mewah itu terus melaju, meninggalkan keraguan yang sempat menguasai diriku. Kini aku hanya bisa pasrah. Mengikuti entah ke mana takdir akan membawaku. Setelah lebih dari sepuluh menit berada di dalam mobil, kini aku dapat melihat jika mobil mewah ini mulai memasuki kawasan perumahan elite di pusat kota Jakarta. Kawasan di mana Arga pernah mengatakan jika harga tanah semeternya sangatlah tinggi. Mobil mulai berhenti di pintu masuk rumah mewah dengan pelataran luas dan ada taman besar di depannya. Pria itu pun turun dari mobil untuk membantuku membuka pintu, menunjuk ke gerbang dan berkata kepadaku, "Kamu akan tinggal di sini sampai anak itu lahir." "Apa yang kamu katakan?" Spontan pertanyaan itu aku lontarkan dengan kedua mata yang membulat. Namun, pria itu hanya tersenyum. "Nanti juga akan ada beberapa pelayan yang akan mengurus dan melayani Anda selama tinggal di rumah ini. Segala keperluan Anda mulai dari makanan dan semua kebutuhan hidup Anda sehari-hari." Perkataan itu membuatku semakin terkejut hingga lidahku terasa kelu tak dapat mengatakan sepatah kata apa pun. Bersambung ✍️

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tergoda Rayuan Mantan

read
24.3K
bc

CINTA ARJUNA

read
12.1K
bc

Istri Tuan Mafia

read
17.1K
bc

Takdir Tak Bisa Dipilih

read
3.5K
bc

Pembalasan Istri Tersakiti

read
8.2K
bc

Ayah Sahabatku

read
20.5K
bc

Dipaksa Menikahi Gadis Kecil

read
21.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook