Misterius

1028 Words
Melihat banyak wartawan memadati area depan apartemen Sasha, ia tak yakin akan masuk ke dalam. Bahkan, menyembulkan kepala saja tak berani. Dave tidak peduli, memilih menunggu wanita di sampingnya turun dan tugasnya selesai. Semakin malam, Bali semakin membuatnya kedinginan. Dan sayangnya, Dave mudah terserang flu. "Dude, kamu bawa uang banyak gak?" "Namaku Dave, bukan Dude, Nona." "Pinjami aku, please, aku harus cari hotel terdekat. Gak mungkin aku menerobos kerumunan itu kan?" Bahkan Sasha sudah membuka kedua telapak tangannya, seolah pria itu akan segan memberinya pinjaman. Dave memang tahu seberapa terkenalnya Sasha sekarang. Wajahnya sering muncul di cover utama majalah remaja. Wanita yang baby face dan menggemaskan. Stop! Dia bukan siapa-siapa dan tak tak akan pernah jadi siapa-siapa. "Turun! Cepatlah, aku harus pulang. Urusan kita sudah selesai, Nona." Pusing, berhadapan dengan wanita populer memang akan berakhir seperti ini. Dikejar-kejar wartawan, banyak sorot kamera, juga pertanyaan-pertanyaan yang sama. Dave pernah mengalaminya dan cukup, tidak ingin berurusan lagi dengan wanita yang sama. "Kau pasti tahu kalau aku tidak bisa berlama-lama di sini bukan?" "Bawa aku bersamamu, Dude. Ke mana saja, aku tidak punya alasan apa-apa berhadapan dengan mereka." Tangis Sasha hampir pecah, entah drama atau nyata. Wanita itu terlalu pintar berakting di depan siapa pun, menangis bukanlah drama yang sulit diperani. Tak tahan dengan rengekan menyebalkan dari Sasha, Dave memilih memutar mobil, pergi dari apartemen Sasha dan menuju ke suatu tempat. Sasha bertanya-tanya dalam hati, akan ke mana mereka. Tapi tidak jadi karena pria bernama Dave itu sedang fokus dengan jalanan. Jujur, baginya Dave super misterius. Tidak banyak bicara, tenang, terlihat arogan tapi cukup perhatian. Sedikit sih, setidaknya pria itu tidak berperilaku jahat kepadanya. Mereka sudah sampai di depan rumah retro, gelap dan seperti di kerumuni bunga sedap malam yang berakar sampai ke bawah. Wangi. "Ini rumahmu? Unik sekali." Tapi, Sasha ragu-ragu. Bukan karena tempat yang ia datangi buruk atau apa, hanya saja melihat penampakan rumah Dave, seakan tak percaya pria itu kaya raya. Terlalu kecil untuk ukuran yang memakai tuksedo seharga under 100 juta apalagi Dave mengemudi mobil model Rolls-Royce yang harganya saja hampir 200 milyar. "Dude, kamu sejenis Tarzan?" "Maksudmu?" Sasha menunjuk beberapa tanaman yang mengakar, melintang, menutupi pagar dan sekitarnya. Bagus sih, hanya saja tidak cocok dengan perawakan sangar Dave. Memilih masuk dan melihat-lihat, rumah ini memang hanya ditempati Dave saat ingin menjauh dari keramaian, tumpukan pekerjaan di perusahaan, menghilang dari rapat dan hiruk-pikuk orang-orang di hidupnya. Memesan hotel sepertinya lebih gampang, ia punya banyak uang. Masalahnya, pasti orang-orang yang ia temui nanti juga sama saja. Mereka pasti berbaik hati mengungkapkan ada tamu spesial yang menginap di hotel mereka. "Ya kulihat, rumah ini banyak akar dan dedauan. Bagus sih, tapi pasti kayak tinggal di hutan." Dave memilih tidak menggubris cibiran Sasha tentang rumahnya. Ia hanya ingin istirahat dengan tenang. Masalahnya, hanya ada satu kamar saja dan tempat tidur. Tidak mungkin juga Dave merelakan punggungnya sakit-sakitan tidur di lantai bukan? Pusing memikirkan jalan keluar akan tidur di mana, Dave melihat apa saja yang tersedia di dapurnya. Tidak buruk, setidaknya Josh selalu patuh untuk menyediakan stok makanan dan kopi bubuk. "Kau mau minum?" "Of course. Tapi, kamu tidak berniat menipuku kan? Yeah, seperti yang ada di film-film. Para pria selalu memberikan obat tidur untuk tamu secantik aku." "Tidak minat, Nona. Terima kasih." Semakin ke sini, Sasha makin penasaran. Kenapa Dave begitu dingin dan pemilih, padahal di luar sana banyak pria yang mengantri untuk bisa tidur dengan Sasha. Yeah, masa lalunya dengan begitu panjang dan sampai hari ini, Sasha masih mengubur semua kenangan tentang pria itu. "Masih panas, tapi kurasa tubuhmu akan baikan setelah minum kopi ini." Angguk-angguk, pelan tapi pasti, Sasha mulai menyeruput kopi yang tak terlalu pekat. Ia memuncratkan kopi yang baru saja tersentuh lidahnya, luar biasa pahit. "Dude, enggak enak." "Itu kopi tradisional, ada rempah-rempah di dalamnya. Setidaknya perutmu akan baik-baik saja. Minum lagi." Dih, jahatnya. Bagi Sasha, obat paling mujarab atas rasa sakitnya adalah tidur. Tapi karena menghargai jerih payah Dave yang membuatkan minuman untuknya, ia pasrah dan menelan secara paksa minuman yang ia cicipi lagi. Sudah habis, barulah Sasha masuk ke ruangan yang ia yakini adalah kamar tidur. Luas, tidak bertema, hanya bercat putih, ya, semuanya serba putih macam seperti lukisan di buku dongeng. "Ah, empuknya. Rasanya seperti tidak tidur selama bertahun-tahun." Dave ikut berbaring, membuat Sasha kaget dan menghindar. "Kenapa kamu ada di sini, Dude?" "Lalu, maksudmu aku tidur di mana? Hahya tempat ini yang layak untuk aku tidur." "Tapi..?" "Tenang saja, yang kubutuhkan hanya tidur, Nona. Tidak yang lainnya. Gantilah pakaianmu, di lemari itu ada banyak setelan santaiku. Setidaknya kau bisa istirahat dengan nyaman." Sasha menggigit bibir bawahnya, ia bahkan baru sadar kalau Dave sudah berganti pakaian yang lebih manusiawi. Pria itu memiringkan tubuhnya, tidak peduli dengan Sasha yang masih ragu-ragu untuk sekedar berbaring. Akhirnya, Sasha memilih membuka lemari yang ditunjuk Dave, mengambil asal kaos kedodoran yang bisa menutupi tubuhnya sampai di atas paha. Ia masuk ke kamar mandi, buru-buru ganti pakaian. Dave sepertinya sudah terlelap, apakah terlalu capek? Ya, dan sekarang Sasha memilih berbaring, menjaga jarak dengan membatasi guling di antara dirinya dengan Dave. Berhati-hati semisal pria itu akan melakukan yang macam-macam dengannya. "Good night, Dave." ucapnya teramat pelan. Padahal, Dave masih bisa mendengarnya. Ya, siapa yang bisa tidur jika seranjang dengan wanita. Lebih-lebih, Dave memang tak mengenal Sasha. Hanya sekilas tahu namanya saja. *** Tuk. Tuk. Tuk. Suara itu membuat telinga Sasha cukup sensitif untuk mendengar. Seperti ada seseorang yang sengaja membangunkannya. "Gina, Rendy lagi ngapain sih? Berisik banget." Lagi dan lagi, akhirnya Sasha memilih membuka mata dan sadar dia ada di mana. Sasha menyadari bahwa tidak ada Gunanya ataupun Rendy di sini. "Di mana pria itu?" Lagi-lagi suara ketukan itu membuat Sasha terpaksa berjalan dan mencari sumber suara. Ya, ada pria yang tengah sibuk memotong sesuatu, sepertinya sayuran. "Kamu, akan memasak?" "Bukankah terlalu sia-sia bertanya hal yang sudah bisa kau tebak?" "Aku kan hanya tanya." "Aku tidak suka ditanya." Sasha mengangkat bahu, tak peduli atas rasa keberatan Dave. Dilihatnya pria yang kini menunjukkan betapa lihainya Dave memotong sayur, mencincang daging, menghaluskan bumbu. Ia merasa sedang melihat Chef Juna di depannya. Bibirnya terangkat sedikit, di balik sifat Dave yang dingin dan sulit ditebak, sepertinya pria itu punya sifat yang hangat dan mendamaikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD