Bertemu manusia

1095 Words
“Aaaa!” Gita berteriak. Ia memejamkan mata. Batu besar itu pasti akan memecahkan kepalanya hanya dalam satu pukulan. “Dor! Dor!” Suara tembakan terdengar nyaring. Batu besar itu jatuh mengenai Gita. Tapi untungnya bukan jatuh di kepalanya. Jatuh mengenai pahanya. “Aaa!” teriak Gita sakit. Tapi saat membuka mata, ia masih bersyukur batu besar itu tidak jadi mengenai kepalanya. Pria berkaos abu-abu itu tergeletak di samping dengan luka tembak tepat di kepala. Kedua matanya pun mendelik menatap Gita. Dua teman Sumanto itu panik. Ia melihat ke sekeliling. Pandangan mata mereka sangat tajam, hingga bisa melihat lebih jauh dengan jelas dari pada manusia normal pada umumnya. Mereka melihat seorang pemuda sedang memasukan peluru ke dalam senapan laras panjang. Amarah menyelimuti dua Sumanto itu. Mereka bergegas berlari menuju pria yang sudah menembak kawannya. Marah. Gita beranjak dari tempatnya. Namun ia tidak sanggup berlari dengan kaki pincang. Sepasang matanya mengikuti ke mana dua Sumanto itu menuju dan ingin tahu apa yang terjadi. Tapi sayang, ia tidak dapat melihat dengan jelas dalam kegelapan malam dan hanya sinar rembulan yang menjadi bantuan penerangan. Lucas secepatnya mengarahkan senapan laras panjang pada dua orang yang berlari ke arahnya penuh amarah. “Dor! Dor!” Satu di antaranya tepat mengenai kepala. Dan satunya lagi hanya mengenai d**a bagian kanan. Mereka jatuh seketika. Lucas pun berlari menuju ke arah Gita secepatnya. “Ayo cepat lari!” perintahnya segera. Gita masih tergugu. “Cepat lari! Jangan diam saja! Sebentar lagi mereka akan segera sadar!” seru Lucas kembali. Dan benar saja belum juga Lucas berhasil mengajak Gita untuk segera kabur dari tempat itu. Pria yang tadi hanya tertembak di d**a sanggup bangkit dan bergegas mengejar Lucas dan Gita penuh amarah. “Kaliaaaan!” teriaknya menyeramkan. Gita menelan ludahnya. Wajahnya panik dan bersamaan dengan Lucas melihat ke arah sumber suara. Lucas menarik tangan Gita. “Ayo cepat! Jangan diam saja! Kenapa kamu diam saja begitu!” teriaknya kesal. Gita menganggukkan kepala dan segera berlari. Tapi dia lupa jika pahanya tertimpa batu besar tadi. Sulit sekali digerakkan, apa lagi untuk berlari. “Apa lagi?!” tanya Lucas kesal karena Gita tidak segera bergegas berlari. “Maaf, kakiku ...,” jawab Gita lirih dan sambil menengok ke belakang. Dilihatnya pria kanibal itu sudah semakin dekat. Lucas kembali mengarahkan senjatanya. “Dor! Dor!” Tapi lagi-lagi pria kanibal itu mampu menghindar. Sehingga tembakan Lucas tidak mengenainya. Tembakan kedua diarahkan. “Dor! Dor!” Kini timah panas dari senapan laras panjang milik Lucas mengenai bahu kiri pria kanibal berkumis hitam lebat itu. Tangan Gita gemetar. Ia sangat takut. Walau setiap sisa hari-harinya kini selalu dihiasi rasa takut semenjak pandemi virus ini melanda dunia. Tapi Gita tetap saja takut jika ia akan menjadi santapan para kanibal ini. Atau mungkin ia digigit dan kemudian menjadi salah satu dari kanibal tersebut. Air liur para Sumanto ini menular jika bercampur dengan darah. Sehingga jika manusia normal yang hidup dan digigit para Sumanto maka mereka akan menjadi salah satu dari komunitas kanibal tersebut. Belum lagi manusia yang hidup harus memproteksi diri dari virus yang menyebar lewat udara dan penularannya sangat cepat dari mahluk hidup yang satu ke manusia yang lainnya. “Hei, jangan diam saja! Cepat lari!” tegur Lucas lagi. Tangan dan kaki Gita gemetar. “Ka-kakiku ...,” jawabnya cemas dan terlihat mimik muka menahan sakit saat menggerakkan kakinya. Tidak usah berpikir dua kali, Lucas langsung menarik Gita dan menggendongnya. Ia membopong Gita sambil berlari meninggalkan tempat itu. Gita terkejut saat Lucas dengan ringannya membopongnya. Kedua tangannya melingkar di leher Lucas yang kekar. Menatap rahang tegasnya dan sepasang mata tajamnya. Netra Lucas memandang lurus. Hidung mancung menambah rupawan wajahnya yang sangat tampan. Gita tidak berasa dibawa lari sejauh berapa kilometer. Sepanjang perjalanan ia begitu nyamannya dibopong oleh Lucas. “Sudah sampai!” ucap Lucas sambil menurunkan Gita. Gita melihat ke sekeliling saat kakinya memijak lantai sebuah gubuk yang berada di atas pohon. Gubuk yang seperti rumah pohon. Ia tidak menyadari, bagaimana bisa Lucas melompat hingga naik ke atas pohon begini. “Aku tidak tahu di mana rumahmu. Lebih baik sementara kamu tinggal di sini saja. Di rumahku,” kata Lucas dengan muka datarnya. Gita merapikan helaian rambutnya yang berantakan. Menyematkan helaian rambutnya itu ke belakang telinga. “Padahal, harusnya kita mampir ke mini market tadi. Sepertinya mini market itu masih buka. Jika tutup pun kita bisa mencuri beberapa makanan instan,” ucapnya lirih. Lucas membuka pintu gubuknya dan kemudian masuk ke dalam. Gubuk ini tidak ada benda berharga apa pun. Bahkan lampu pun tidak ada. Hanya satu lilin yang baru dinyalakan. Lilin itu beralaskan piring tembikar dan ditaruh di bawah lantai gubuk yang juga terbuat dari kayu. “Ayo masuk! Jangan di luar saja. Jangan sampai para Sumanto itu mengetahui keberadaan kita di sini! Tidak usah mendatangi mini market tadi. Apa kamu tidak tahu, jika mini market tadi sudah tutup dan dijarah?” “Lampunya menyala. Makanya aku kira, mini market tadi masih beroperasi,” jawab Gita sambil berjalan masuk ke dalam gubuk. Mendengar apa yang dikatakan Gita, membuat Lucas tertawa. “Tidak ada yang beroperasi saat matahari sudah tenggelam. Apa kamu lupa pemerintah telah membatasi mobilitas? Jam delapan pagi sampai jam enam malam.” Gita menelan ludahnya. “Aku jarang menonton berita,” jawabnya jujur. “Aku tidak mempunyai tempat tinggal. Aku sudah berjalan jauh dari Kota J menuju Kota B. Ponselku saja sering kehabisan baterai.” Lucas membalikkan badan, memberikan satu masker dan juga satu bungkus roti berukuran besar pada Gita. “Ini makanlah. Aku punya banyak persediaan makanan di sini,” katanya sambil menunjukkan satu peti besar yang terbuat dari papan, berisikan banyak makanan. Dari buah, roti, camilan dan yang lainnya. “Jika kamu masih lapar dan ingin makan berat. Kita bisa berburu rusa atau kelinci untuk di makan di hutan ini.” Gita menelan ludah. Lalu menggelengkan kepalanya. “Tidak. Terima kasih. Nafsu makanku masih normal. Ini saja sudah cukup,” jawabnya sambil membuka bungkus roti dan dengan lahap menyantapnya. Lucas mengamati Gita yang sedang memakan roti seperti orang kelaparan. “Kenapa melihat aku begitu? Sungguh, demi Tuhan, aku tidak bermutasi dan menjadi orang yang memiliki nafsu makan berlebih,” ujar Gita lagi. Lucas tersenyum tipis sambil menatap wajah manis Gita. “Kenapa tidak memakai masker? Apa kamu sudah lupa, udara yang kita hirup, mungkin saja terjangkit virus.” Gita menurunkan roti yang dipegangnya dari depan mulutnya. Lalu mengunyah lebih pelan dari pada yang tadi. Terlihat wajah ragunya saat ingin menjawab. Lucas masih menunggu jawaban Gita. “Aku ... Aku kebal terhadap virus itu,” jawab Gita yang membuat Lucas terkesiap. “Apa kamu kebal?!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD